Monday, 19 March 2012

RPG-7 Senjata yang tak ada matinya





Masa-masa keemasan RPG-7 memang telah lewat, perkembangan pesat dalam teknologi rancang bangun Tank dan sistem proteksi telah mematikan fungsi asasi dari keluarga roket anti-tank buatan Bazalt. Namun tidak berarti RPG-7 mati. Kehadirannya malah menjadi paradoks hebat di berbagai wilayah konflik di dunia.

Negara-negara NATO, AS, maupun Rusia tidak kekurangan nama di dalam daftar ini. Sebut saja Javelin, MILAN, ERYX, Metis, dan Kornet. Memang tidak adil membandingkannya dengan rudal AT berpemandu. Namun, dibandingkan dengan roket anti-tank konvensional modern, RPG-7 tetap saja ketinggalan zaman. Bahkan generasi lanjutan RPG-7, yakni RPG-18 dan 29 menampilkan hulu ledak yang tersimpan di dalam, membuktikan bahwa filosofi roket AT yang dianut Amerika Serikat pun sebenarnya ada benarnya.




Pada awalnya memang perdagangan dan peredaran senjata ini dianggap sebagai fenomena sesaat, namun ternyata, satu dekade kemudian, lalu lintas perdagangan senjata ilegal ternyata tidak lantas surut, malah menjadi bisnis perdagangan yang sangat menggiurkan. Walaupun arsenal Rusia yang ditengarai menjadi sumber utama pemasok senjata telah berhasil dikendalikan.

Negara-negara yang menjadi penyuplai utama seperti; Korea Utara, Iran, Irak, RRC. Terkait masalah RPG-7, senjata yang satu ini memang tidak ada matinya. Cukup memliliki hulu ledak, peluncurnya bisa dibuat sendiri dari berbagai macam material. Bila perlu ada pipa besi atau pipa PVC seperti yang dilakukan kelompok gerilyawan Hamas di jalur Gaza. Perdagangan senjata khususnya RPG-7, juga semakin merebak di Afrika. Inspektur PBB yang mengamati arus masuk peredaran senjata ke Sierra Leone tahun 2000 menemukan 25 peluncur RPG-7 dengan rute masuk dari Yaman, menuju Somalia, Liberia, Kongo, Sierra Leone, Chad dan di wilayah-wilayah titik panas lainnya.

Pelakunya tak lain dan tak bukan adalah para warlord, yang juga menggunakan RPG-7 untuk membajak kapal-kapal dagang asing yang melewati perairan Somalia. Ini juga belum termasuk suplai yang didapatkan dari para tentara bayaran, atau yang dikenal dengan istilah PMC (Private Military Contractor). Satu kasus yang pernah tertangkap media adalah, Sandline International yang dipimpin Tim Spicer. Pada 1998, ia menyuplai rezim Presiden Kabbah dengan berbagai senjata, satu di antara senjata tersebut adalah roket RPG-7 sebanyak 180 senjata.

Di negara-negara yang tergolong hot spot tersebut. Bukan Tank yang menjadi lawan RPG-7, yang ada hanyalah kendaraan ringan dan 'tentara', namun sebutan 'tentara' bagi mereka agaknya kurang tepat, mereka sebenarnya lebih tepat disebut preman (thugs) yang dipersenjatai. Mereka juga tak tunduk pada kode kemiliteran dan tak tercakup dalam konvensi Jenewa. Orang-orang ini, banyak diantara mereka tentara anak-anak, terlibat di dalam pertempuran tak beraturan yang mengerikan. RPG-7 diarahkan dan ditembakkan ke semua target bergerak. Di Sierra Leone, pasukan Inggris yang pernah menegosiasikan pembebasan kontingen prajurit Inggris yang ditahan Small Boys Unit, sebelum melancarkan operasi pembebasan sandera; operasi Barras, juga mengalami sendiri pengalaman yang mengiris hati. Pergerakan mereka diawasi seorang anak perempuan kecil yang menenteng RPG-7 dan mampu mengukur jarak sasarannya dengan akurat.

Bahkan di negara-negara yang tergolong maju seperti Meksiko, perdagangan senjata gelap malah semakin parah lagi. Para kelompok geng obat bius mampu mendatangkan peluncur roket; RPG-7 dan M72 LAW, yang membuat perang melawan obat bius di negara tersebut menjadi all-out war antara polisi setempat, tentara, bergabung melawan kelompok kartel.








Disadur dari; Majalah Commando. Rocket Propelled Grenade- Simple & Deadly- RPG7 yang paling menakutkan. War Machines Series. Cetakan Juli 2011

No comments:

Post a Comment