Pada tangal 23 Mei 1977,
Kereta Ekspres 747 dalam perjalanan dari Assen (Belanda), ke
Groningen, dibajak didekat jembatan sungai Drentsche Aa di Du Pont
(di kota kecil Glimmen), yang terletak antara perbatasan provinsi
Groningen dan Drenthe, Belanda timur-laut. Sembilan orang bersenjata
menarik rem darurat kira-kira pukul 09.00 pagi waktu setempat.
Pembajakan kereta api di Du Pont yang terkenal itu pun dimulai. “Ini
adalah Pembajakan.” Teriak para pembajak.
Janneke Wegers, 19
tahun, yang menumpang Kereta api itu untuk pergi ke Akademi
Pengajaran di Groningen melihat 9 orang Maluku- 8 orang pria dan
seorang wanita- menguasai kereta. Pada menit-menit pertama
pembajakan, terjadi kepanikan. Masih segar dalam ingatan mereka
peristiwa pembajakan Kereta api di Wijster, yang juga dilakukan oleh
orang-orang Maluku. Banyak penumpang, yang tidak mau mengambil resiko
menjadi sandera, dengan segera mereka melompat ke luar dan berhasil
meloloskan diri.
Untuk mencegah kaburnya
sandera, para pembajak melepaskan tembakan ke lantai dan
langit-langit Kereta api untuk mengintimidasi para penumpang yang
masih berada didalam Kereta agar tidak mengikuti teman mereka yang
berhasil meloloskan diri. 54 orang tang tersisa digiring semuanya ke
gerbong depan. Namun kemudian para pembajak membebaskan semua orang
Maluku, orang lanjut usia, dan orang-orang non-pribumi Belanda
(imigran). Akhirnya, hanya tersisa 45 orang penumpang Kereta yang
disandera oleh pembajak.
Pada saat yang hampir
bersamaan, 4 orang pemuda bersenjata lainnya menyerang sebuah sekolah
dasar di Desa Bovensmilde, dimana mereka mengambil 105 anak-anak dan
5 orang guru sebagai sandera.
Dengan tindakan nekat
para pembajak tersebut yang membajak Kereta dan Menyerang Sekolah di
Bovensmilde, mereka bertekad untuk memaksa Pemerintah Belanda untuk
menjaga jani-janjinya terhadap RMS (Republik Maluku Selatan),
memutuskan hubungan diplomatik dengan Negara Indonesia, dan
melepaskan 21 orang tahanan Maluku yang terlibat dalam aksi
penyanderaan di tahun 1975. ultimatum ditetapkan berakhir tanggal 25
Mei pukul 14.00, dimana pembajak mengancam akan meledakkan Kereta Api
dan Sekolah. Para Sandera dipaksa untuk membantu untuk menyilaukan
semua jendela Kereta sehingga tidak ada orang luar yang tahu apa yang
terjadi didalam.
Maluku Selatan adalah
gugusan 150 pulau yang terletak di Laut Banda. Kepulauan penghasil
rempah-rempah ini telah diperebutkan bangsa-bangsa Eropa pada zaman
imperialisme. Ketika Belanda berhasil menguasainya, banyak penduduk
setempat yang berhasil di-kristenkan lalu direkrut kedalam Tentara
kolonialnya, KNIL.
Pada saat Belanda
mengakui Kedaulatan Indonesia pada 1949, Maluku Selatan merupakan
bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT). Namun ketika Presiden
Soekarno membubarkan Republik Indonesia Serikat dan membentuk Negara
Kesatuan (NKRI). Menteri Luar Negeri NIT, Dr. Chris Soumokil, menolak
keputusan tersebut lalu memproklamasikan pembentukan Republik Maluku
Selatan (RMS) dengan Mr. Johanis manuhutu sebagai Presiden nya.
Pemerintah Pusat di Jakarta yang tidak terima dengan keputusan
tersebut menanggapinya dengan mengirimkan Pasukan dan menindas aksi
separatisme tersebut.
Untuk mencari
dukungannya di luar negeri, Pihak RMS membentuk sebuah misi permanen
di Belanda dibawah Ir. Johan Manusama. Di Belanda sendiri terdapat
sekitar 12.500 orang bekas prajurit KNIL dan keluarganya yang berasal
dari Maluku Selatan. Sejak Indonesia merdeka, mereka diperintahkan
tinggal disana sementara hingga keadaan aman pasca-penarikan mundur
Belanda dari Indonesia.
Keluarga dari warga Maluku mantan anggota KNIL turun dari kapal yang membawa mereka
ke Belanda pasca pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Mereka mengira pengungsian mereka
di Belanda bersifat sementara, sebagian besar dari mereka akhirnya tercabut dari kampung
halamannya (di Indonesia) setelah pembubaran RIS.
di Belanda bersifat sementara, sebagian besar dari mereka akhirnya tercabut dari kampung
halamannya (di Indonesia) setelah pembubaran RIS.
Ketika pemberontakan RMS
dipatahkan TNI (Tentara Nasional Indonesia) setelah ditangkapnya Mr.
Manuhutu dan Dr.Soumokil, kepemimpinan RMS diambil alih oleh Ir.
Manusama di Negeri Belanda. Namun sekalipun memiliki hubungan baik
dengan bekas penguasanya, Belanda tidak mengakui secara resmi
Pemerintahan RMS di pengasingan itu. Sikap Pemerintah Belanda itulah
yang mengundang kekecewaan diantara para perantauan Maluku tersebut,
mereka merasa dikhianati oleh bekas majikannya.
Tak dapat pulang ke
kampung halamannya (Indonesia), kekecewaan orang Maluku Selatan
semakin bertambah karena merasa kondisi mereka terabaikan dan
di-diskiriminasi oleh bekas majikannya. Orang-orang tersebut
ditempatkan di kamp-kamp kecil, yang sekalipun membuat mereka dapat
berkumpul bersama dengan keluarga mereka, namun secara sosial dan
fisik mereka terpisahkan dari orang-orang Pribumi Belanda lainnya.
Karena pengungsian mereka pada mulanya dianggap hanya bersifat
sementara, tidak mengherankan apabila Pemerintah Belanda hanya
menyediakan kebutuhan hidup ala kadarnya. Apalagi, Belanda sendiri
masih berusaha memulihkan perekonomiannya setelah bencana Perang
Dunia II dan kegagalan usahanya dalam membentuk kekuasaannya di
Indonesia.
Sementara itu, setelah
ditangkap dan dihukum matinya Dr.Soumokil oleh Pemerintah Indonesia,
gerakan RMS di Belanda berubah yang sebelumnya menjadi sebuah gerakan
pendukung Nasionalis menjadi gerakan Nasionalis di pengasingan. Orang
Maluku Selatan di Belanda percaya bahwa mereka harus membebaskan
kampung halamannya (di Indonesia), dengan cara berjuang di luar
negeri. Gerakan RMS sendiri mengalami perpecahan dan perubahan,
dimana kepemimpinan Manusama ditantang oleh para tokoh Maluku Selatan
lainnya. Yang terkemuka diantara mereka adalah Isaac Tamaela, seorang
bekas perwira tentara RMS yang berhasil memperoleh satu dukungan
diplomatik bagi kelompok separatis tersebut dari Pemerintah Benin.
Ditengah-tengah
perselisihan dan perebutan kekuasaan didalam kubu RMS ini, jatuhnya
Pemerintahan Soekarno yang Anti-Barat dan berkuasanya rezim Soeharto
yang Anti-Komunis di Indonesia membuat hubungan Belanda-Indonesia pun
mulai membaik. Akibatnya, tidak ada terobosan lebih lanjut mengenai
masalah RMS, dan sepertinya generasi pertama orang Maluku di Belanda
telah melepaskan harapan mereka untuk memerdekakan Maluku Selatan di
Indonesia. Bahkan Pemerintahan Maluku Selatan di pengasingan, hanya
dimulut saja memperjuangkan aspirasi lama nya.
Dalam situasi tersebut,
muncul generasi kedua gerakan RMS. Kebanyakan terdiri dari
orang-orang yang tidak pernah mengenal tanah leluhurnya, mereka mulai
menyusun diri sendiri serta menjadi semakin radikal dan ekstrem dalam
metodenya. Generasi kedua ini mendapatkan inspirasi dari gerakan
radikal-separatis seperti Black Panthers di Amerika Serikat maupun
Organisasi teroris PFLP Palestina, serta Kuba pimpinan Fidel Castro.
Beberapa dari mereka membentuk Front Pembebasan RMS dan South
Moluccan Youth, sementara yang lainnya menyebut diri sebagai South
Moluccan Panthers.
Aksi ancaman terorisme
pertama yang dilakukan RMS di Negeri Belanda terjadi pada tahun 1970
ketika Kediaman Duta Besar Indonesia di Wassenaar diserang sekelompok
orang. Serangan tersebut dilancarkan hanya dua hari sebelum kunjungan
Presiden Soeharto yang telah dijadwalkan, yang juga merupakan
kunjungan pertama seorang Kepala Negara Indonesia ke Negeri Belanda.
Para pemuda Maluku Selatan sendiri melihat kunjungan tersebut sebagai
suatu kesempatan untuk memaksa agar masalah RMS dibicarakan dalam
tingkatan yang lebih tinggi antara Presiden Indonesia dan Maluku
Selatan. Karena Pemerintah Belanda menolak menjadi perantara (sebab
mereka tidak pernah secara resmi mengakui RMS), para Pemuda Maluku
tidak mampu membangun komunikasi. Itulah alasan mereka menduduki
Kediaman Dubes Indonesia yang ada di Belanda, dimana mereka membunuh
seorang Polisi Belanda dan menyandera istri sang Duta Besar beserta
para staf-nya.
Warga Maluku di Negeri Belanda menyuarakan aspirasi mereka. Dalam spanduknya mereka
mengecam Pemerintah Indonesia yang memperbudak mereka, mereka ingin kemerdekaan,
dan membuat Maluku Selatan agar terlepas dari NKRI.
mengecam Pemerintah Indonesia yang memperbudak mereka, mereka ingin kemerdekaan,
dan membuat Maluku Selatan agar terlepas dari NKRI.
Insiden inilah yang
benar-benar mempermalukan Belanda, yang akhirnya berhasil membujuk
para penyandera untuk menyerahkan diri ke Polisi. Yang mengejutkan,
ketika diadili, para penyandera hanya mendapat hukuman ringan. Bisa
jadi hal ini merupakan bagian dari persyaratan penyerahan diri
mereka.
Di antara orang-orang
yang direkrut terdapat seorang wanita bernama Hansina Uktolseja. Anak
seorang bekas KNIL, Hansina sebenarnya dikenal sebagai seorang gadis
yang tidak berpolitik. Adapun alasannya ia terseret dalam kegiatan
teroris RMS ialah karena Rudi Lumalessil. Keduanya saling jatuh
cinta. Namun cinta mereka merupakan cinta terlarang karena keduanya
sebenarnya masih memiliki hubungan kerabat dekat- suatu hal yang tabu
dalam adat Maluku. Sepertinya, suatu aksi “perjuangan”
untuk membajak Kereta Api diharapkan gadis itu dapat membuat dirinya
mendapatkan rasa “hormat” dari komunitasnya sehingga
membuat “dosa adat” dari
hubungan terlarang itu dapat termaafkan.
Kelompok tersebut
berhasil mendapatkan senjata dari satuan pengamanan Maluku, sebuah
Organisasi paramiliter yang diizinkan Pemerintah Belanda membawa
senjata untuk menjaga keamanan di permukiman warga Maluku. Rudi juga
berhasil membeli sepucuk pistol otomatis Uzi dari seorang Suriname,
sementara 3 orang rekan lainnya memperoleh senjata ilegal mereka dari
sebuah Bar di Amsterdam.
Sementara, gerak-gerik
Rudi sudah dicurigai oleh Pihak Berwajib Belanda, yang sejak
peristiwa terorisme RMS sebelumnya telah melakukan pengintaian dan
penyusupan ke dalam komunitas-komunitas Maluku di tempat pengungsian.
Namun lantaran kurangnya pengawasan dari para pemimpin Komunitas
Maluku terhadap kelompok-kelompok pemuda radikal, mereka dan Aparat
Belanda tidak menyadari betapa jauhnya proses radikalisasi itu telah
berlangsung. Akibatnya, sekali lagi, pihak Belanda kecolongan dengan
aksi Pembajakan Kereta di Du Pont dan penyanderaan anak-anak di
Sekolah Dasar Bovensmilde yang dilakukan kelompok Rudi.
Sekalipun Perdana
Menteri den Uyl menginginkan penyelesaian konflik secara damai,
rakyat Belanda pun semakin tidak sabar menghadapi drama pembajakan
Kereta yang sudah berlangsung selama hampir tiga minggu, dan akhirnya
menuntut pemerintah Belanda bertindak keras dalam menghadapinya.
Akhirnya pada 10 Juni 1977, diputuskanlah untuk mengambil tindakan
keras guna mengakhiri drama penyanderaan. Apa yang kemudian terjadi
adalah suatu perubahan dari tindakan psikologis menjadi sebuah
tindakan yang mengandalkan teknologi.
Selama penyanderaan
Kereta, sementara di lokasi kejadian telah dikepung oleh 2.000
Tentara dan Polisi Belanda, pasukan Khusus Marinir Belanda yang
disebut BBE (Bijzondere Bijstandseenheden, Unit Pendukung Khusus),
serta polisi militer dan Polisi Keamanan di negeri tersebut telah
berlatih menyerang sebuah replika Kereta Api kosong di pangkalan
Udara Gilze Rijn di dekat lokasi penyanderaan. Delapan orang perenang
tempur BBE juga telah berenang menyeberangi sebuah terusan didekat
Kereta Api dan menempelkan peralatan “penyadap” yang sensitif
yang dapat memonitor pembicaraan didalam Kereta Api. Mereka juga
menempatkan bahan peledak didepan Kereta untuk digunakan sebagai
pengalihan pada saat serangan akan dilancarkan.
Radar Khusus yang mampu
mendeteksi perbedaan permukaan panas-dingin juga dikerahkan,
perangkat ini juga mampu membuat Unit Khusus BBE memonitor pergerakan
para pembajak RMS di kereta lewat logam senjatanya. Dengan demikian
pihak BBE memperoleh suatu gambaran rinci mengenai berapa banyak
teroris yang ada, senjata yang mereka bawa, serta berbagai
spesifikasi mengenai Kereta itu sendiri.
Saat itu menunjukkan
pukul 04.35 pagi. Beberapa menit sebelumnya. 19Km di Selatan Glimmen
(di Pembajakan Sekolah), seorang Prajurit Belanda melepaskan tembakan
dari kendaraan lapis baja yang telah menerobos pintu utama gedung
sekolah dimana terdapat 4 orang guru yang disandera.
Terdengar sebuah ledakan
ketika tembok di kedua sisi pintu itu hancur berkeping-keping. Para
Prajurit kemudian melepaskan tembakan dari pistol otomatis Uzi mereka
ketika memasuki gedung tersebut. Kemudian, orang-orang Maluku yang
melakukan penyanderaan digiring satu per satu dengan tangan terangkat
ke atas. Keempat guru yang disandera dibawa keluar secara diam-diam
melalui pintu belakang.
Dalam waktu yang hampir
bersamaan di tempat lainnya, 6 unit jet F-104 Starfighter milik
Angkatan Udara Belanda menukik tajam ke arah Kereta Api yang dibajak,
melepaskan ledakan keras dari Afterburner-nya. Gemuruh suara mesin
pesawat-pesawat tersebut sangat memekakkan telinga.
Sementara
pesawat-pesawat jet melesat naik dengan suara gemuruhnya, seluruh
Kereta bergetar hebat akibat guncangan getaran dari pesawat-pesawat
F-104 itu, dan para sandera pun mencari perlindungan. Pasukan BBE
Belanda keluar dari lubang-lubang perlindungannya, memberondongkan
senjata otomatis mereka. Para penembak jitu dikerahkan untuk
melindungi pergerakan pasukan BBE dari balasan tembakan para
pembajak.
Bahan-bahan peledak yang
telah dipasang sebelumnya berledakan, menimbulkan asap-asap tebal di
sekeliling Kereta. Orang-orang yang menonton kejadian itu mengira
pesawat-pesawat jet itu yang mengembom Kereta Api yang dibajak.
Dua Tim BBE Belanda-
semuanya berjumlah 30 prajurit- mendesak maju menerobos asap
disekeliling Kereta. Saat mereka melakukan hal tersebut, pengeras
suara memerintahkan para sandera yang ada didalam Kereta untuk
tiarap. Para petugas lalu mengatakan bahwa dua orang sandera tewas
dalam aksi baku tembak.
Saat mencapai Kereta,
anggota BBE meledakkan pintu Kereta Api dengan bom plastik yang
ditempelkan di kedua ujung penyangganya. Tembakan senapan mesin
otomatis diarahkan ke arah kabin masinis, yang digunakan sebagai
markas oleh para pembajak didalam Kereta. Ribuan peluru pun menyobek
bagian depan kereta.
Tembak-menembak didalam
Kereta Api hanya berlangsung satu menit. Dua orang sandera, Ansje
Monsjou dan Rien Van Baarsel, serta enam pembajak, yakni; Max
Papilaya, Hansina Uktolseja, Ronnie Lumalessil, George Matulessy,
Mingus Rumahporry, dan Mateus Tuny- tewas tertembak. Tiga orang
teroris lainnya berhasil ditangkap. Salah seorang pembajak yang masih
hidup melompat dari atas kereta, berusaha menyelamatkan diri, namun
ia kemudian tewas dihantam rentetan peluru oleh senapan otomatis dari
pasukan Belanda yang bergerak maju.
Pasca Operasi Pembebasan sandera oleh pihak Belanda. Terlihat gerbong kereta bagian depan yang
diberondong peluru-peluru senapan otomatis. Sebagian berspekulasi bahwa Operasi
penggempuran Militer yang dilakukan Pemerintah Belanda (termasuk menggunakan pesawat-pesawat jet) dinilai terlalu berlebihan. Namun sebagian lagi mengatakan bahwa
kekerasan "wajib" diperlukan jika menghadapi ancaman terorisme.
diberondong peluru-peluru senapan otomatis. Sebagian berspekulasi bahwa Operasi
penggempuran Militer yang dilakukan Pemerintah Belanda (termasuk menggunakan pesawat-pesawat jet) dinilai terlalu berlebihan. Namun sebagian lagi mengatakan bahwa
kekerasan "wajib" diperlukan jika menghadapi ancaman terorisme.
para Prajurit dan
Kepolisian Belanda berdiri dengan waspada sementara sandera keluar
dari Kereta Api, dimana orang pertama muncul pada pukul 05.15. Mereka
pun menginjakkan kakinya dibumi untuk pertama kalinya sejak hampir
tiga minggu lamanya drama penyanderaan itu berlangsung. Banyak yang
terlihat kebingungan dan terlihat bermasalah untuk menggerakkan
anggota tubuhnya yang kram agar berfungsi kembali.
Di gedung Sekolah, Drama
pembebasan sandera hanya memerlukan waktu 10 menit sejak kendaraan
lapis baja pengangkut Pasukan menerobos gerbang utama hingga seorang
pemuda Maluku yang terakhir tertangkap, diseret dari gerobak
pertanian.
Sekitar pukul 06.00,
kira-kira satu jam sejak dimulainya Operasi Pembebasan, Kereta yang
menjadi pusat perhatian dunia selama 20 hari itu pun ditarik ke depo
Kereta Api.
Tak jauh dari tempat
kejadian perkara, bendera-bendera RMS dikibarkan diseluruh pemukiman
Maluku di Bovensmilde dan Assen yang berada didekat lokasi.
Apabila ada yang tidak
tahu apa arti pengibaran bendera tersebut, pernyataan dari sekelompok
pemuda di Assen membuatnya menjadi jelas. “Kematian rekan-rekan
kami memang menyakitkan,” kata mereka, “tetapi kami tidak
meratapi kematian mereka. Revolusi kami mungkin akan merenggut lebih
banyak korban lagi diantara anak-anak laki-laki dan perempuan kami,
tetapi hal ini tidak akan menghentikan kami untuk mewujudkan
kebebasan kami.” ujar pemuda tersebut dengan marah yang
meletus-letus.
Sayangnya, pada tahun
1978 Parlemen Belanda memutuskan untuk menutup masalah Maluku
Selatan. Tiga pemuda Maluku berusaha memprotesnya dengan menduduki
Gedung Pemerintah Provinsi di Assen pada 13 Maret 1978, dan menembak
seorang pegawai pemerintahan. Pada hari berikutnya, Unit BBE Belanda
langsung menyerbu Gedung Pemerintah Provinsi dan membebaskan sandera.
Dalam baku tembak, seorang sandera tertembak di perut dan meninggal
dunia tak lama sesudahnya. Para pelaku dijatuhi hukuman lima tahun
penjara dan sejak itu tak ada lagi kontak resmi antara Pemerintah
Belanda dan Pihak RMS.
Sementara itu, 3 orang
pembajak Kereta di Du Pont yang selamat sendiri divonis hukuman
antara 6 hingga 9 tahun penjara. Pada tahun 2007, masyarakat Maluku
di Negeri Belanda mengadakan sebuah upacara peringatan bagi rekan
mereka yang tewas pada insiden tahun 1977 itu.
Masyarakat Maluku di
Negeri Belanda sendiri tidak pernah menyampaikan permintaan maaf
mereka atas aksi terorisme yang pernah terjadi. sekalipun ada kritikan
bahwa Pemerintah Belanda melakukan kekerasan yang berlebihan untuk
mengakhiri drama penyanderaan tersebut, serangan tersebut
memperlihatkan bahwa Belanda bersedia melakukan tindakan kekerasan
jika diperlukan untuk menghadapi ancaman terorisme. Hal ini sangatlah
penting bagi Pemerintah Belanda sebab adanya keyakinan diantara
orang-orang Maluku bahwa sikap kekerasan tidak akan diambil oleh
Belanda, betapa pun parahnya orang Belanda ditekan. Dan sebagaimana
yang terlihat dalam aksi terorisme terakhir yang dilancarkan RMS di
tahun 1978, Pemerintah Belanda memastikan bahwa aksi terorisme apapun
tidak akan terlepas dari hukuman pengadilan.
No comments:
Post a Comment