.do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none; }

Sunday, 12 January 2014

Teror RMS di Negeri Belanda- Pembajakan Kereta Du Pont


Pada tangal 23 Mei 1977, Kereta Ekspres 747 dalam perjalanan dari Assen (Belanda), ke Groningen, dibajak didekat jembatan sungai Drentsche Aa di Du Pont (di kota kecil Glimmen), yang terletak antara perbatasan provinsi Groningen dan Drenthe, Belanda timur-laut. Sembilan orang bersenjata menarik rem darurat kira-kira pukul 09.00 pagi waktu setempat. Pembajakan kereta api di Du Pont yang terkenal itu pun dimulai. “Ini adalah Pembajakan.” Teriak para pembajak.

Janneke Wegers, 19 tahun, yang menumpang Kereta api itu untuk pergi ke Akademi Pengajaran di Groningen melihat 9 orang Maluku- 8 orang pria dan seorang wanita- menguasai kereta. Pada menit-menit pertama pembajakan, terjadi kepanikan. Masih segar dalam ingatan mereka peristiwa pembajakan Kereta api di Wijster, yang juga dilakukan oleh orang-orang Maluku. Banyak penumpang, yang tidak mau mengambil resiko menjadi sandera, dengan segera mereka melompat ke luar dan berhasil meloloskan diri.

Untuk mencegah kaburnya sandera, para pembajak melepaskan tembakan ke lantai dan langit-langit Kereta api untuk mengintimidasi para penumpang yang masih berada didalam Kereta agar tidak mengikuti teman mereka yang berhasil meloloskan diri. 54 orang tang tersisa digiring semuanya ke gerbong depan. Namun kemudian para pembajak membebaskan semua orang Maluku, orang lanjut usia, dan orang-orang non-pribumi Belanda (imigran). Akhirnya, hanya tersisa 45 orang penumpang Kereta yang disandera oleh pembajak.

Pada saat yang hampir bersamaan, 4 orang pemuda bersenjata lainnya menyerang sebuah sekolah dasar di Desa Bovensmilde, dimana mereka mengambil 105 anak-anak dan 5 orang guru sebagai sandera.

Dengan tindakan nekat para pembajak tersebut yang membajak Kereta dan Menyerang Sekolah di Bovensmilde, mereka bertekad untuk memaksa Pemerintah Belanda untuk menjaga jani-janjinya terhadap RMS (Republik Maluku Selatan), memutuskan hubungan diplomatik dengan Negara Indonesia, dan melepaskan 21 orang tahanan Maluku yang terlibat dalam aksi penyanderaan di tahun 1975. ultimatum ditetapkan berakhir tanggal 25 Mei pukul 14.00, dimana pembajak mengancam akan meledakkan Kereta Api dan Sekolah. Para Sandera dipaksa untuk membantu untuk menyilaukan semua jendela Kereta sehingga tidak ada orang luar yang tahu apa yang terjadi didalam.

Maluku Selatan adalah gugusan 150 pulau yang terletak di Laut Banda. Kepulauan penghasil rempah-rempah ini telah diperebutkan bangsa-bangsa Eropa pada zaman imperialisme. Ketika Belanda berhasil menguasainya, banyak penduduk setempat yang berhasil di-kristenkan lalu direkrut kedalam Tentara kolonialnya, KNIL.

Pada saat Belanda mengakui Kedaulatan Indonesia pada 1949, Maluku Selatan merupakan bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT). Namun ketika Presiden Soekarno membubarkan Republik Indonesia Serikat dan membentuk Negara Kesatuan (NKRI). Menteri Luar Negeri NIT, Dr. Chris Soumokil, menolak keputusan tersebut lalu memproklamasikan pembentukan Republik Maluku Selatan (RMS) dengan Mr. Johanis manuhutu sebagai Presiden nya. Pemerintah Pusat di Jakarta yang tidak terima dengan keputusan tersebut menanggapinya dengan mengirimkan Pasukan dan menindas aksi separatisme tersebut.

Untuk mencari dukungannya di luar negeri, Pihak RMS membentuk sebuah misi permanen di Belanda dibawah Ir. Johan Manusama. Di Belanda sendiri terdapat sekitar 12.500 orang bekas prajurit KNIL dan keluarganya yang berasal dari Maluku Selatan. Sejak Indonesia merdeka, mereka diperintahkan tinggal disana sementara hingga keadaan aman pasca-penarikan mundur Belanda dari Indonesia.





 Keluarga dari warga Maluku mantan anggota KNIL turun dari kapal yang membawa mereka
ke Belanda pasca pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Mereka mengira pengungsian mereka
di Belanda bersifat sementara, sebagian besar dari mereka akhirnya tercabut dari kampung
halamannya (di Indonesia) setelah pembubaran RIS.




Ketika pemberontakan RMS dipatahkan TNI (Tentara Nasional Indonesia) setelah ditangkapnya Mr. Manuhutu dan Dr.Soumokil, kepemimpinan RMS diambil alih oleh Ir. Manusama di Negeri Belanda. Namun sekalipun memiliki hubungan baik dengan bekas penguasanya, Belanda tidak mengakui secara resmi Pemerintahan RMS di pengasingan itu. Sikap Pemerintah Belanda itulah yang mengundang kekecewaan diantara para perantauan Maluku tersebut, mereka merasa dikhianati oleh bekas majikannya.

Tak dapat pulang ke kampung halamannya (Indonesia), kekecewaan orang Maluku Selatan semakin bertambah karena merasa kondisi mereka terabaikan dan di-diskiriminasi oleh bekas majikannya. Orang-orang tersebut ditempatkan di kamp-kamp kecil, yang sekalipun membuat mereka dapat berkumpul bersama dengan keluarga mereka, namun secara sosial dan fisik mereka terpisahkan dari orang-orang Pribumi Belanda lainnya. Karena pengungsian mereka pada mulanya dianggap hanya bersifat sementara, tidak mengherankan apabila Pemerintah Belanda hanya menyediakan kebutuhan hidup ala kadarnya. Apalagi, Belanda sendiri masih berusaha memulihkan perekonomiannya setelah bencana Perang Dunia II dan kegagalan usahanya dalam membentuk kekuasaannya di Indonesia.

Sementara itu, setelah ditangkap dan dihukum matinya Dr.Soumokil oleh Pemerintah Indonesia, gerakan RMS di Belanda berubah yang sebelumnya menjadi sebuah gerakan pendukung Nasionalis menjadi gerakan Nasionalis di pengasingan. Orang Maluku Selatan di Belanda percaya bahwa mereka harus membebaskan kampung halamannya (di Indonesia), dengan cara berjuang di luar negeri. Gerakan RMS sendiri mengalami perpecahan dan perubahan, dimana kepemimpinan Manusama ditantang oleh para tokoh Maluku Selatan lainnya. Yang terkemuka diantara mereka adalah Isaac Tamaela, seorang bekas perwira tentara RMS yang berhasil memperoleh satu dukungan diplomatik bagi kelompok separatis tersebut dari Pemerintah Benin.

Ditengah-tengah perselisihan dan perebutan kekuasaan didalam kubu RMS ini, jatuhnya Pemerintahan Soekarno yang Anti-Barat dan berkuasanya rezim Soeharto yang Anti-Komunis di Indonesia membuat hubungan Belanda-Indonesia pun mulai membaik. Akibatnya, tidak ada terobosan lebih lanjut mengenai masalah RMS, dan sepertinya generasi pertama orang Maluku di Belanda telah melepaskan harapan mereka untuk memerdekakan Maluku Selatan di Indonesia. Bahkan Pemerintahan Maluku Selatan di pengasingan, hanya dimulut saja memperjuangkan aspirasi lama nya.

Dalam situasi tersebut, muncul generasi kedua gerakan RMS. Kebanyakan terdiri dari orang-orang yang tidak pernah mengenal tanah leluhurnya, mereka mulai menyusun diri sendiri serta menjadi semakin radikal dan ekstrem dalam metodenya. Generasi kedua ini mendapatkan inspirasi dari gerakan radikal-separatis seperti Black Panthers di Amerika Serikat maupun Organisasi teroris PFLP Palestina, serta Kuba pimpinan Fidel Castro. Beberapa dari mereka membentuk Front Pembebasan RMS dan South Moluccan Youth, sementara yang lainnya menyebut diri sebagai South Moluccan Panthers.

Aksi ancaman terorisme pertama yang dilakukan RMS di Negeri Belanda terjadi pada tahun 1970 ketika Kediaman Duta Besar Indonesia di Wassenaar diserang sekelompok orang. Serangan tersebut dilancarkan hanya dua hari sebelum kunjungan Presiden Soeharto yang telah dijadwalkan, yang juga merupakan kunjungan pertama seorang Kepala Negara Indonesia ke Negeri Belanda. Para pemuda Maluku Selatan sendiri melihat kunjungan tersebut sebagai suatu kesempatan untuk memaksa agar masalah RMS dibicarakan dalam tingkatan yang lebih tinggi antara Presiden Indonesia dan Maluku Selatan. Karena Pemerintah Belanda menolak menjadi perantara (sebab mereka tidak pernah secara resmi mengakui RMS), para Pemuda Maluku tidak mampu membangun komunikasi. Itulah alasan mereka menduduki Kediaman Dubes Indonesia yang ada di Belanda, dimana mereka membunuh seorang Polisi Belanda dan menyandera istri sang Duta Besar beserta para staf-nya.




 Warga Maluku di Negeri Belanda menyuarakan aspirasi mereka. Dalam spanduknya mereka
mengecam Pemerintah Indonesia yang memperbudak mereka, mereka ingin kemerdekaan,
dan membuat Maluku Selatan agar terlepas dari NKRI.





Insiden inilah yang benar-benar mempermalukan Belanda, yang akhirnya berhasil membujuk para penyandera untuk menyerahkan diri ke Polisi. Yang mengejutkan, ketika diadili, para penyandera hanya mendapat hukuman ringan. Bisa jadi hal ini merupakan bagian dari persyaratan penyerahan diri mereka.

Di antara orang-orang yang direkrut terdapat seorang wanita bernama Hansina Uktolseja. Anak seorang bekas KNIL, Hansina sebenarnya dikenal sebagai seorang gadis yang tidak berpolitik. Adapun alasannya ia terseret dalam kegiatan teroris RMS ialah karena Rudi Lumalessil. Keduanya saling jatuh cinta. Namun cinta mereka merupakan cinta terlarang karena keduanya sebenarnya masih memiliki hubungan kerabat dekat- suatu hal yang tabu dalam adat Maluku. Sepertinya, suatu aksi “perjuangan” untuk membajak Kereta Api diharapkan gadis itu dapat membuat dirinya mendapatkan rasa “hormat” dari komunitasnya sehingga membuat “dosa adat” dari hubungan terlarang itu dapat termaafkan.

Kelompok tersebut berhasil mendapatkan senjata dari satuan pengamanan Maluku, sebuah Organisasi paramiliter yang diizinkan Pemerintah Belanda membawa senjata untuk menjaga keamanan di permukiman warga Maluku. Rudi juga berhasil membeli sepucuk pistol otomatis Uzi dari seorang Suriname, sementara 3 orang rekan lainnya memperoleh senjata ilegal mereka dari sebuah Bar di Amsterdam.

Sementara, gerak-gerik Rudi sudah dicurigai oleh Pihak Berwajib Belanda, yang sejak peristiwa terorisme RMS sebelumnya telah melakukan pengintaian dan penyusupan ke dalam komunitas-komunitas Maluku di tempat pengungsian. Namun lantaran kurangnya pengawasan dari para pemimpin Komunitas Maluku terhadap kelompok-kelompok pemuda radikal, mereka dan Aparat Belanda tidak menyadari betapa jauhnya proses radikalisasi itu telah berlangsung. Akibatnya, sekali lagi, pihak Belanda kecolongan dengan aksi Pembajakan Kereta di Du Pont dan penyanderaan anak-anak di Sekolah Dasar Bovensmilde yang dilakukan kelompok Rudi.

Sekalipun Perdana Menteri den Uyl menginginkan penyelesaian konflik secara damai, rakyat Belanda pun semakin tidak sabar menghadapi drama pembajakan Kereta yang sudah berlangsung selama hampir tiga minggu, dan akhirnya menuntut pemerintah Belanda bertindak keras dalam menghadapinya. Akhirnya pada 10 Juni 1977, diputuskanlah untuk mengambil tindakan keras guna mengakhiri drama penyanderaan. Apa yang kemudian terjadi adalah suatu perubahan dari tindakan psikologis menjadi sebuah tindakan yang mengandalkan teknologi.

Selama penyanderaan Kereta, sementara di lokasi kejadian telah dikepung oleh 2.000 Tentara dan Polisi Belanda, pasukan Khusus Marinir Belanda yang disebut BBE (Bijzondere Bijstandseenheden, Unit Pendukung Khusus), serta polisi militer dan Polisi Keamanan di negeri tersebut telah berlatih menyerang sebuah replika Kereta Api kosong di pangkalan Udara Gilze Rijn di dekat lokasi penyanderaan. Delapan orang perenang tempur BBE juga telah berenang menyeberangi sebuah terusan didekat Kereta Api dan menempelkan peralatan “penyadap” yang sensitif yang dapat memonitor pembicaraan didalam Kereta Api. Mereka juga menempatkan bahan peledak didepan Kereta untuk digunakan sebagai pengalihan pada saat serangan akan dilancarkan.






Radar Khusus yang mampu mendeteksi perbedaan permukaan panas-dingin juga dikerahkan, perangkat ini juga mampu membuat Unit Khusus BBE memonitor pergerakan para pembajak RMS di kereta lewat logam senjatanya. Dengan demikian pihak BBE memperoleh suatu gambaran rinci mengenai berapa banyak teroris yang ada, senjata yang mereka bawa, serta berbagai spesifikasi mengenai Kereta itu sendiri.

Saat itu menunjukkan pukul 04.35 pagi. Beberapa menit sebelumnya. 19Km di Selatan Glimmen (di Pembajakan Sekolah), seorang Prajurit Belanda melepaskan tembakan dari kendaraan lapis baja yang telah menerobos pintu utama gedung sekolah dimana terdapat 4 orang guru yang disandera.

Terdengar sebuah ledakan ketika tembok di kedua sisi pintu itu hancur berkeping-keping. Para Prajurit kemudian melepaskan tembakan dari pistol otomatis Uzi mereka ketika memasuki gedung tersebut. Kemudian, orang-orang Maluku yang melakukan penyanderaan digiring satu per satu dengan tangan terangkat ke atas. Keempat guru yang disandera dibawa keluar secara diam-diam melalui pintu belakang.

Dalam waktu yang hampir bersamaan di tempat lainnya, 6 unit jet F-104 Starfighter milik Angkatan Udara Belanda menukik tajam ke arah Kereta Api yang dibajak, melepaskan ledakan keras dari Afterburner-nya. Gemuruh suara mesin pesawat-pesawat tersebut sangat memekakkan telinga.

Sementara pesawat-pesawat jet melesat naik dengan suara gemuruhnya, seluruh Kereta bergetar hebat akibat guncangan getaran dari pesawat-pesawat F-104 itu, dan para sandera pun mencari perlindungan. Pasukan BBE Belanda keluar dari lubang-lubang perlindungannya, memberondongkan senjata otomatis mereka. Para penembak jitu dikerahkan untuk melindungi pergerakan pasukan BBE dari balasan tembakan para pembajak.




Bahan-bahan peledak yang telah dipasang sebelumnya berledakan, menimbulkan asap-asap tebal di sekeliling Kereta. Orang-orang yang menonton kejadian itu mengira pesawat-pesawat jet itu yang mengembom Kereta Api yang dibajak.

Dua Tim BBE Belanda- semuanya berjumlah 30 prajurit- mendesak maju menerobos asap disekeliling Kereta. Saat mereka melakukan hal tersebut, pengeras suara memerintahkan para sandera yang ada didalam Kereta untuk tiarap. Para petugas lalu mengatakan bahwa dua orang sandera tewas dalam aksi baku tembak.

Saat mencapai Kereta, anggota BBE meledakkan pintu Kereta Api dengan bom plastik yang ditempelkan di kedua ujung penyangganya. Tembakan senapan mesin otomatis diarahkan ke arah kabin masinis, yang digunakan sebagai markas oleh para pembajak didalam Kereta. Ribuan peluru pun menyobek bagian depan kereta.



Tembak-menembak didalam Kereta Api hanya berlangsung satu menit. Dua orang sandera, Ansje Monsjou dan Rien Van Baarsel, serta enam pembajak, yakni; Max Papilaya, Hansina Uktolseja, Ronnie Lumalessil, George Matulessy, Mingus Rumahporry, dan Mateus Tuny- tewas tertembak. Tiga orang teroris lainnya berhasil ditangkap. Salah seorang pembajak yang masih hidup melompat dari atas kereta, berusaha menyelamatkan diri, namun ia kemudian tewas dihantam rentetan peluru oleh senapan otomatis dari pasukan Belanda yang bergerak maju.




Pasca Operasi Pembebasan sandera oleh pihak Belanda. Terlihat gerbong kereta bagian depan yang
diberondong peluru-peluru senapan otomatis. Sebagian berspekulasi bahwa Operasi
penggempuran Militer yang dilakukan Pemerintah Belanda (termasuk menggunakan pesawat-pesawat jet) dinilai terlalu berlebihan. Namun sebagian lagi mengatakan bahwa
kekerasan "wajib" diperlukan jika menghadapi ancaman terorisme.





para Prajurit dan Kepolisian Belanda berdiri dengan waspada sementara sandera keluar dari Kereta Api, dimana orang pertama muncul pada pukul 05.15. Mereka pun menginjakkan kakinya dibumi untuk pertama kalinya sejak hampir tiga minggu lamanya drama penyanderaan itu berlangsung. Banyak yang terlihat kebingungan dan terlihat bermasalah untuk menggerakkan anggota tubuhnya yang kram agar berfungsi kembali.

Di gedung Sekolah, Drama pembebasan sandera hanya memerlukan waktu 10 menit sejak kendaraan lapis baja pengangkut Pasukan menerobos gerbang utama hingga seorang pemuda Maluku yang terakhir tertangkap, diseret dari gerobak pertanian.

Sekitar pukul 06.00, kira-kira satu jam sejak dimulainya Operasi Pembebasan, Kereta yang menjadi pusat perhatian dunia selama 20 hari itu pun ditarik ke depo Kereta Api.

Tak jauh dari tempat kejadian perkara, bendera-bendera RMS dikibarkan diseluruh pemukiman Maluku di Bovensmilde dan Assen yang berada didekat lokasi.

Apabila ada yang tidak tahu apa arti pengibaran bendera tersebut, pernyataan dari sekelompok pemuda di Assen membuatnya menjadi jelas. “Kematian rekan-rekan kami memang menyakitkan,” kata mereka, “tetapi kami tidak meratapi kematian mereka. Revolusi kami mungkin akan merenggut lebih banyak korban lagi diantara anak-anak laki-laki dan perempuan kami, tetapi hal ini tidak akan menghentikan kami untuk mewujudkan kebebasan kami.” ujar pemuda tersebut dengan marah yang meletus-letus.

Sayangnya, pada tahun 1978 Parlemen Belanda memutuskan untuk menutup masalah Maluku Selatan. Tiga pemuda Maluku berusaha memprotesnya dengan menduduki Gedung Pemerintah Provinsi di Assen pada 13 Maret 1978, dan menembak seorang pegawai pemerintahan. Pada hari berikutnya, Unit BBE Belanda langsung menyerbu Gedung Pemerintah Provinsi dan membebaskan sandera. Dalam baku tembak, seorang sandera tertembak di perut dan meninggal dunia tak lama sesudahnya. Para pelaku dijatuhi hukuman lima tahun penjara dan sejak itu tak ada lagi kontak resmi antara Pemerintah Belanda dan Pihak RMS.

Sementara itu, 3 orang pembajak Kereta di Du Pont yang selamat sendiri divonis hukuman antara 6 hingga 9 tahun penjara. Pada tahun 2007, masyarakat Maluku di Negeri Belanda mengadakan sebuah upacara peringatan bagi rekan mereka yang tewas pada insiden tahun 1977 itu. 

Masyarakat Maluku di Negeri Belanda sendiri tidak pernah menyampaikan permintaan maaf mereka atas aksi terorisme yang pernah terjadi. sekalipun ada kritikan bahwa Pemerintah Belanda melakukan kekerasan yang berlebihan untuk mengakhiri drama penyanderaan tersebut, serangan tersebut memperlihatkan bahwa Belanda bersedia melakukan tindakan kekerasan jika diperlukan untuk menghadapi ancaman terorisme. Hal ini sangatlah penting bagi Pemerintah Belanda sebab adanya keyakinan diantara orang-orang Maluku bahwa sikap kekerasan tidak akan diambil oleh Belanda, betapa pun parahnya orang Belanda ditekan. Dan sebagaimana yang terlihat dalam aksi terorisme terakhir yang dilancarkan RMS di tahun 1978, Pemerintah Belanda memastikan bahwa aksi terorisme apapun tidak akan terlepas dari hukuman pengadilan.

No comments:

Post a Comment