Wednesday, 29 December 2021

Pentingnya kemampuan tempur gerilya

 

“Gerilyawan harus terus bergerak layaknya ikan yang tanpa henti berenang di lautan.”             - Mao Zedong

 

“Pertempuran gerilya ialah perlawanan rakyat, suatu upaya untuk menerapkan taktik semacam ini tanpa dukungan rakyat sama saja dengan bunuh diri.”

- Che Guava

 

 

          Di zaman yang serba cepat dan canggih, informasi sudah bukan lagi uang, melainkan emas. Ungkapan Information is Gold nampaknya tidak hanya diterapkan di dunia bisnis dan ekonomi semata, melainkan juga dunia militer. Inilah sebenarnya esensi sejati dari taktik pertempuran gerilya, dengan mendapatkan informasi atas lokasi musuh, kita mengolah informasi tersebut dan kemudian melakukan manuver ofensif dengan lebih leluasa berdasarkan informasi yang didapat. Taktik Guerrilla Warfare (Pertempuran Gerilya) ini seringkali terlalu dianggap remeh oleh Pasukan konvensional yang dimiliki oleh suatu negara, terlepas dari negara manapun itu. Padahal bagi kelompok-kelompok militan bersenjata, entah apapun ideologi mereka, taktik GW ini sangat menguntungkan mereka dan secara psikologis berdampak pada penurunan moril pasukan musuh seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya korban jiwa dari pihak musuh yang berjatuhan. Perang Asimetris yang menguntungkan ini jelas sangat digemari oleh kelompok kelompok militan kecil, walau secara politik tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap tuntutan atau keinginan mereka selama ini. Setidaknya hal itu dapat mengguncang kekuatan militer dari segi jatuhnya korban jiwa secara konsisten, walaupun tidak menjadikan kekuatan organisasi militer tersebut lemah secara signifikan, tapi merupakan pukulan telak jika dilihat dari perspektif Psychological Warfare (Pertempuran psikologis/moril).  

          Kelompok-kelompok militan bersenjata yang dicap teroris seperti Al-Qaeda dan Taliban memakai taktik pertempuran gerilya dalam peperangan. Dalam konflik bersenjata di Donbass, Ukraina Timur, kelompok-kelompok separatis seperti Brigade Kalmius, Brigade Oplot, Brigade Vostok, dan milisi-milisi dari LPR- juga memanfaatkan pengetahuan taktik gerilya mereka dalam menghadapi superioritas kekuatan Tentara Ukraina.

Di Indonesia, ada GAM, OPM, dan kelompok MIT Santoso yang memanfaatkan taktik ini dalam pertempuran. Dan yang paling sukses belakangan ini ialah OPM yang menghajar habis-habisan Pasukan reguler TNI dalam pertempuran gerilya di Papua. Meskipun tidak dirilis oleh media dan TNI pun tidak memberikan statistik jumlah korban jiwa dari pihak TNI secara keseluruhan, namun Penulis menyakini bahwa tiap tahunnya ada sekitar 40-60 personel TNI yang tewas oleh “sergapan” gerilya kelompok OPM Papua. Itu berarti dalam 10 tahun terakhir saja ada sekitar 500-600 personel TNI yang tewas sia-sia di tangan OPM. Hal itu bukan berarti TNI kalah ataupun tidak paham cara menghadapinya, tapi lebih kepada ada banyak satuan-satuan konvensional didalam TNI yang memang memiliki kemampuan berperang, namun tidak memiliki mobilitas yang cukup tinggi untuk menangkal ancaman teror gerilya yang sangat intens. Entah TNI selama ini menganggap remeh taktik gerilya semacam ini ataukah Panglima TNI yang menahan diri karena tersandera oleh retorika politik Presiden yang menekankan kehati-hatian dari sorotan HAM dan dunia internasional? Who knows?  Yang jelas, taktik seperti ini tidak bisa dilawan oleh kekuatan militer reguler/konvensional semata- terbukti dari keberhasilan kasus-kasus penyergapan dan pembunuhan OPM terhadap TNI yang ada di Papua. Dan menurut penulis, OPM sudah dengan sangat cerdik berhasil memainkan keseluruhan permainan dari Pertempuran Hybrid (Hybrid Warfare) ini. 

Dan perlu pembaca pahami bahwa Penulis tidak memakai istilah "KKB" (Kelompok Kriminal Bersenjata) atau "OTK" (Orang Tak Dikenal) lantaran kedua istilah tersebut sangat bernuansa politis. Penulis merasa tidak cocok kelompok separatis OPM yang sering menebar teror dan bergerilya hanya disebut sebagai "kelompok bersenjata" yang pada akhirnya kasusnya dianggap sebagai ancaman bersenjata yang masuk ranah pidana sipil, bukannya ancaman separatis bersenjata yang memang harus melibatkan militer di garis depan. Bayangkan jika GAM hanya dianggap sebagai kelompok penjahat bersenjata biasa yang cukup polisi yang menanganinya, faktanya sama seperti OPM, GAM adalah kelompok separatis yang sejak dulu berusaha ditumpas oleh TNI. Penanganan terhadap GAM dan OPM pun cukup berbeda dimana TNI tidak segan-segan melakukan operasi militer skala besar di Aceh, sedangkan di Papua, militer dan Presiden tahu bahwa kasus OPM dan kemerdekaan papua ini sangat sensitif. Ibarat bom waktu yang dimana kita tidak benar-benar tahu kapan meledaknya, namun jika itu meledak, Jelas Papua dipertaruhkan disini. Kita jangan menanggap sepele masalah separatisme di Papua, karena kita tahu kemampuan diplomasi dan lobi-lobi internasional Indonesia cukup rendah dan tidak bisa disamakan jika dibandingkan negara-negara adidaya seperti AS dan Cina.

          Terkait taktik gerilya ini, ada dua cara untuk mendapatkan ilmu taktik pertempuran gerilya (GW) ini- yang pertama; ialah mendapatkannya langsung dengan cara bertempur di medan konflik bersenjata (cara praktis). Kedua, mendapatkan ilmunya dari sekolah pendidikan kemiliteran yang mengajarkan taktik pertempuran komando dan menerapkannya dalam setiap latihan secara intens (cara teoritis dan praktis). Kedua cara tersebut bertujuan untuk mendapatkan hasil yang sama- tidak ada retorika soal mana metode yang paling baik.

Dan semakin hari sejak Perang Dunia II, institusi-institusi militer di berbagai belahan dunia mulai perlahan-lahan menerapkan ilmu mengenai pertempuran gerilya dan serta cara menangkalnya. Amerika Serikat dengan sistem pendidikan di sekolah pertempuran komando lanjutan SWCS mengajarkan taktik pertempuran lanjutan Unconventional Warfare (Pertempuran non-konvensional) ini kepada unit elite Angkatan Darat Delta Force-nya, Pasukan elite AS lainnya Navy SEAL menempuhnya melalui pendidikan militer lanjutan Naval Special Warfare, Inggris memiliki unit elite SAS British, Jerman dengan unit komando KSK-nya, sedangkan TNI menyiasatinya dengan program skill upgrade yang ada di jajaran Kostrad dengan memberikan kualifikasi Raider di jajaran Kostrad yang memungkinkan satuan konvensional tersebut memiliki pengetahuan taktis pertempuran gerilya (dan anti-gerilya) dan pertempuran menghadapi ancaman teror (operasi anti-teror). Walaupun memang TNI memiliki unit-unit elite komando non-konvensional yang sudah berpengalaman menghadapi taktik anti-gerilya semacam itu (Kopassus, Paskhas, Kopaska). Intinya semua unit-unit elite maupun unit konvensional militer dengan kualifikasi khusus banyak negara di dunia sebenarnya sudah paham akan taktik semacam ini. Namun tetap saja tidak membuat surut perlawanan dari kelompok gerilyawan tersebut.

Untuk menanggulangi kesulitan pertempuran gerilya ini, maka tiap-tiap pendidikan militer di berbagai belahan dunia membuat sesi khusus pendidikan perihal upaya mengatasi ancaman dari taktik gerilya tersebut. Bahkan unit-unit elite matra laut seperti Kopaska maupun SBS British sudah dibekali kemampuan tempur gerilya bahkan jika sejatinya mereka adalah unit-unit tempur Angkatan Laut dan sering difokuskan mengatasi ancaman laut; entah itu pembajakan kapal, ancaman bersenjata di garis pantai, dan lain-lain. Pasukan Kostrad pun di upgrade kemampuan tempurnya dengan kualifikasi radier ini, selain untuk menghadapi ancaman taktik gerilya, juga untuk memampukan mereka bertempur di medan pertempuran yang lama dan melelahkan.



Jika anda memperhatikan dengan cermat, penggelaran pasukan Brimob dalam Operasi Tinombala adalah salah sasaran jika dilihat dari perspektif ancaman militer. TNI yang selama ini tersandera dengan retorika politik “kehati-hatian” agar isu OPM tidak mencuat liar kemana-mana, mau tidak mau harus terus berada dibelakang Polri dalam menumpas ancaman terorisme dan separatisme. Menurut Penulis, upaya Kapolri dalam 15 tahun terakhir untuk terus menempatkan Densus 88 dan Brimob di garis depan lebih bernuansa politis ketimbang mempertimbangkan aspek-aspek militeristik dalam pertempuran, khususnya dalam menghadapi ancaman gerilyawan bersenjata. Seperti yang kita tahu, Brimob kewalahan dengan lebatnya hutan di Poso dan butuh berbulan-bulan bagi unit sipil tersebut untuk mendapatkan hasil optimal. Ditambah lagi, Brimob yang tidak familiar dengan medan pertempuran karena tidak dibekali kemampuan Jungle Warfare and Survival ala militer, melakukan blunder disana-sini, bahkan menembak prajurit kopassus yang saat itu sedang melakukan perburuan senyap ke jantung sarang teroris MIT di Poso. Ketika satuan anti-gerilya Kostrad raider dari Batalyon infanteri 515 diturunkan dengan operasi senyap Alfa-29, hanya butuh 2-3 minggu saja untuk dapat melacak dan membunuh Santoso. Jelas ada perbedaan pengetahuan militer diantara kedua unit tersebut. Moto satuan Batalion Kostrad 515 tersebut ialah "Cepat, Senyap, Tepat". Menggambarkan betapa fleksibel dan optimalnya unit tersebut dalam menghadapi taktik gerilya teroris




Terlihat di gambar, prajurit elite Army Ranger AD AS secara seksama mengikuti arahan pelatih saat pendidikan khusus untuk menghadapi ancaman gerilya dan kelompok teroris bersenjata di sekolah kemiliteran di US Army Ranger School. Bagi Navy SEAL, mereka berlatih di Naval Special Warfare Command. SAS British dan SBS British yang dimiliki Inggris pun lebih intens lagi perihal pemberian materi pendidikan pertempuran gerilya dan anti-gerilya semacam ini.



Tiga poin utama yang harus dipahami dari taktik GW ini ialah; mobility (kecepatan ruang gerak), tracking (penjejakan/mencari jejak), dan survivability (kemampuan bertahan hidup). Kebanyakan unit-unit reguler di militer hanya memiliki salah satu dari tiga poin diatas. Poin tambahan keempat adalah power yang mengindikasikan seberapa kuat unit ini dalam menghajar musuh. Perlu diketahui bahwa angka-angka dibawah ini adalah korelasi atas kemampuan tempur dan bertahan hidupnya dalam konteks Pertempuran Gerilya, bukan dalam konteks pertempuran secara umum, aksi pembebasan sandera, maupun pertempuran kota (Urban Warfare). Sedangkan power disini ialah seberapa efektif kemampuan unit tersebut dalam membasmi militan atau gerilyawan bersenjata.

Di list ini saya sertakan juga satuan Brimob karena unit sipil kepolisian ini dulunya pernah terlibat digaris depan dalam Operasi Tinombala- operasi Jungle Warfare (Pertempuran Hutan) yang seharusnya perlu pelibatan pasukan militer berkualifikasi khusus yang paham peperangan anti-gerilya- sekaligus bisa kita lihat dan bandingkan langsung kemampuan tempurnya dan seberapa efektifnya unit tersebut dalam peperangan Jungle Warfare dengan unit militer lain. Dan perlu dijelaskan disini bahwa Brimob sama sekali bukan unit militer maupun semi-militer karena sama sekali tidak menempuh pendidikan dasar militer, tidak memahami kemampuan navigasi hutan, maupun pertempuran taktis anti-gerilya. Setelah Penulis mengkaji, Penulis mengkategorikan Brimob sebagai unit sipil Kepolisian. Bahkan satuan anti-teror Densus 88 masih Penulis anggap sebagai satuan sipil Law Enforcement dalam bidang anti-teror, bahkan bukan juga unit semi-militer. Berbeda dengan satuan Delta Force Amerika Serikat yang walaupun ia merupakan unit anti teror layaknya Densus 88, namun Delfa Force ini adalah unit elite militer yang memiliki pengetahuan dan kemampuan mendalam peperangan hutan dan taktik perang gerilya. Kemampuan taktis anti-teror Delta Force ini bahkan jauh diatas unit elite kepolisian anti-teror sekalipun, agar pembaca tidak salah paham.

Beberapa unit-unit militan juga saya sertakan disini.

 

US Delta Force:

1.      Mobility       : 80%

2.      Tracking      : 70%

3.      Survivability : 75%

4.      Power           : 80%

5.      Known for  : Anti-terror unit

 

US Green Berets:

1.      Mobility       : 90%

2.      Tracking      : 90%

3.      Survability    : 90%

4.      Power           : 90%

5.      Known for  : Anti-Guerrilla Specialist

 

US Navy SEAL:

1.      Mobility       : 85%

2.      Tracking      : 90%

3.      Survability    : 85%

4.      Power           : 85%

5.      Known for  : Desert and Naval Warfare

 

SAS British:

1.      Mobility       : 90%

2.      Tracking      : 80%

3.      Survability    : 85%

4.      Power           : 90%

5.      Known for  : Anti-terror unit

 

Operator Spetsnaz SOF Rusia

1.      Mobility       : 95%

2.      Tracking      : 85%

3.      Survability    : 85%

4.      Power           : 90%

5.      Known for  : Jungle Warfare

 

Kostrad Raider-Qualified (Satuan Kostrad berkualifikasi Raider)

1.      Mobility       : 85%

2.      Tracking      : 75%

3.      Survability    : 80%

4.      Power           : 85%

5.      Known for  : Jungle Warfare

 

Paskhas AU;

1.      Mobility       : 90%

2.      Tracking      : 85%

3.      Survability    : 90%

4.      Power           : 90%

5.      Known for  : Airborne Special Operations

 

Brimob POLRI

1.      Mobility       : 35%

2.      Tracking      : 30%

3.      Survability    : 55%

4.      Power           : 50%

5.      Known for  : Anti-riot special unit

 

OPM Papua

1.      Mobility       : 70%

2.      Tracking      : 50%

3.      Survability    : 70%

4.      Power           : 65%

5.      Known for  : hit-and-run specialist

 

Taliban

1.      Mobility       : 70%

2.      Tracking      : 60%

3.      Survability    : 70%

4.      Power           : 60%

5.      Known for  : Aggressive combatant

 

 

No comments:

Post a Comment