Monday, 25 June 2012

Diplomatic Tools


strategic bomber




Perlombaan teknologi dan senjata di era Perang Dingin menelurkan begitu banyak alat utama sistem senjata dari yang taktis hingga strategis. Alutsista strategis dimanfaatkan semaksimal mungkin sebagai alat diplomasi. Pesan intinya hanya satu, “Kami punya ini, jadi jangan macam-macam!"

Penggunaan alutsista strategis sebagai diplomatic tools dimungkinkan berkat spesifikasinya yang sangat tinggi, yaitu hanya dimiliki oleh negara pembuatnya saja. Meski ada satu-dua alutsista yang dilepas ke sekutu terdekat, namun sebagian besar secara ekslusif masih tetap dimiliki negara pembuatnya. Tentu selain itu ada aspek yang lebih penting yaitu daya rusaknya yang dahsyat serta kemampuan nya yang mumpuni.

Berakhirnya Perang Dingin bukan berarti berakhir pula karir alutsista strategis. Sebagian besar pun masih digunakan hingga kini. Bahkan beberapa sempat mencicipi gelanggang mereka walau perang yang dihadapai sudah bergeser, bukan lagi seteru semasa era Perang Dingin.

Salah satu alutsista strategis warisan Perang Dingin yang masih eksis adalah pesawat pembom atau strategic bomber. Terminologi itu sendiri muncul ketika PD-II berlangsung, yang didefinisikan sebagai pesawat berdaya jangkau jauh dan mengusung banyak muatan bom untuk menyerang sasaran yang bernilai strategis. Target/sasaran strategis adalah aset lawan yang mempengaruhi kemampuan dan kapasitas pihak lawan dalam pertempuran jangka panjang. Contohnya seperti pabrik bahan baku, pabrik pembuatan senjata dan alutsista, depo logistik, konsentrasi pasukan (skala besar), pangkalan dan markas induk, pusat komando, hingga kantor atau kediaman tempat para petinggi militer.

Meski PD-II menunjukkan vitalnya peran yang dimainkan pesawat pembom strategis, namun alutsista ini makin menemukan rohnya dalam era Perang Dingin. Kehadiran senjata-senjata nuklir tak lepas dari peran strategic bomber sebagai salah satu perangkat pembawa munisi maut tersebut. Kecepatan tinggi, jangkauan jauh, dan daya angkutnya yang besar serta kemampuan terbang (di ketinggian sangat tinggi maupun sangat rendah menyusuri permukaan bumi), merupakan parameter penting yang disyaratkan melekat pada setiap pembom strategis.

Perang Dingin juga menjadi saksi munculnya pola penyerangan strategis gaya baru, entah dengan munisi nuklir maupun konvensional. Kalau pada PD-II bom-bom dijatuhkan dengan mengharuskan pengusungnya masuk ke wilayah lawan, maka kehadiran peluru kendali mengubah paradigma penyerangan strategis. Rudal berhulu ledak nuklir pun ramai-ramai dikembangkan, dengan salah satu pengusungnya yakni pesawat pembom strategis.

Berbekal rudal nuklir, bomber cukup mendekati wilayah lawan (tanpa memasukinya) untuk meluncurkan rudal nuklir bawaannya. Atau pembom melakukan loitering, yakni patroli di area tertentu sambil menunggu perintah kapan dan kemana rudal nuklir akan dilesatkan. Tentu saja areanya dipilih dengan pertimbangan kedekatan dan kemudahan dalam mencapai target. Penyerangan model loiter-attack inilah yang menjadi salah satu standar penyerangan Soviet dalam penggelaran pembom strategisnya.

Pasca Uni Soviet bubar, Rusia selaku pewarisnya masih mengoperasikan tiga jenis pesawat pembom yang berbeda sifat dan karakteristik. Yaitu Tu-95 (Julukan NATO: Bear), Tu-22M3 (NATO: Backfire-C), dan Tu-160 (NATO: Blackjack). Bear jago dalam melakukan loitering meski berkecepatan tidak setinggi dua sejawatnya. Backfire berkecepatan tinggi meski tidak memiliki jangkauan terbang sejauh kedua rekannya. Sedangkan Blackjack selain memiliki jangkauan jauh juga berkecepatan tinggi.

Di lain pihak, Amerika juga masih tetap mengoperasikan tiga jenis pembom strategis mereka. Yakni B-52H Stratofortness, B-1B Lancer dan bomber siluman B-2A Spirit. Tapi perlu diingat bahwa salah satunya (B-1B) sudah ditarik dari penugasan serangan nuklir, sehingga latihan para awaknya kini hanya pada penerapan munisi konvensional.










Tu-160 Blackjack -(Rusia)








Tu-22M3 Backfire-C (Rusia)










 Tu-95 Bear (Rusia)





Yang menarik dari bomber-bomber strategis Rusia yang eksis sampai sekarang, kenyataannya bahwa sejak awal ketiganya didesain untuk memiliki kemampuan ganda, baik nuklir maupun konvensional. Beda dengan B-1B milik AS, yang harus menjalani serangkaian modifikasi untuk membawa bom-bom konvensional lantaran sejak awal hanya dirancang untuk kebutuhan membawa munisi nuklir. Satu hal ironis mengingat ujung-ujungnya bomber ini justru sekarang tidak lagi dipersiapkan untuk misi penyerangan nuklir.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, the existing Russian strategic bombers terus membawakan peran mereka sebagai alat diplomasi. Meski tertatih-tatih akibat deraan krisis ekonomi yang sempat menimpa negeri Beruang Merah tersebut, namun perlahan tapi pasti peningkatan kemampuan pada ketiganya telah dan sedang dilakukan. Diharapkan efektifitas trio bomber berinisial “B” (B Bomber) strategis itu terus tergaga untuk beberapa waktu kedepan, hingga alutsista baru sebagai pengganti pesawat bomber strategis diproduksi, hanya waktu yang dapat menjawabnya.



Anda juga disarankan membaca artikel tentang: Pesawat Bomber B2-Spirit



Disadur dari Majalah COMMANDO Volume VIII – Edisi No.2 Tahun 2012
 

No comments:

Post a Comment