Wednesday, 5 December 2012

Tomahawk – Cruise Missile



Sejak dulu, diamini bahwa barangsiapa yang mampu duluan memukul lawan dari jauh, maka yang bersangkutanlah yang bakal memiliki keuntungan taktis. Berabad lamanya manusia mengandalkan Artileri, alutsista yang kerap diberi gelar “King of the Battle”, lantaran efektivitasnya menghantam sasaran dari jarak jauh.


Meski ditakuti lawan dan menjadi favorit setiap panglima mandala yang melakukan serbuan, Artileri memiliki banyak kelemahan. Kendala besar timbul jika lawan tidak diketahui posisi persisnya, atau posisi lawan terkonsentrasi di satu area. Menghadapi kendala ini, meningkatkan konsentrasi dan memperlebar arah sebaran gempuran Artileri menjadi solusi yang cukup lama diadopsi, bahkan hingga saat ini. Konsekuensinya tentu saja boros amunisi.

Perkembangan teknologi yang lantas melahirkan peluru berpemandu yang dikenal dengan peluru kendali atau rudal (guided missile), selanjutnya mengubah peta penggunaan Artileri. Dipadukan dengan kemajuan teknologi pengintaian (reconnaissance) jarak jauh baik lewat wahana udara (pesawat berawak maupun pesawat non-awak), dan foto satelit, tingkat kepastian lokasi target pun sangatlah tinggi. Dua poin inilah yang memegang andil penting dalam melahirkan satu sistem senjata baru yang dikenal dengan rudal jelajah (cruise missile).

Rudal jelajah sendiri didefinisikan sebagai rudal berjangkauan jauh, dilengkapi dengan hulu ledak relatif besar serta trayektori non-balistik dan non-linear. Maksud dari istilah yang terakhir adalah bahwa rudal jelajah merupakan sistem senjata yang jalur penerbangan menuju sasarannya tidaklah seperti rudal-rudal pada umumnya. Rudal jelajah dipandu menuju targetnya dengan sistem navigasi mandiri yang sudah diprogram sebelumnya (self navigating). Untuk menghindari deteksi musuh, trayektorinya biasanya diprogram terlebih dulu guna menghindari hantaman situs Hanud musuh. Rudal jelajah dapat digunakan untuk menghantam target di darat maupun di laut.

Perkembangan teknologi yang memungkinkan wahana udara tak berawak atau UAV (Unmanned Aerial Vehicle) memiliki fitur self navigating dan membawa munisi, tidaklah serta merta mengaburkan batasan antara rudal jelajah dan UAV. Ini karena UAV dari sananya memang didesain untuk sebisa mungkin kembali ke pangkalannya setelah melakukan misi pengintaian. Sementara itu munisi atau hulu ledak pada rudal jelajah terintegrasi dengan sistem rudal secara keseluruhan sehingga rudal jelajah memang bersifat seperti rudal pada umumnya, yaitu menghancurkan diri sendiri bersama dengan targetnya.



 Rudal jelajah buatan AS - Tomahawk






Salah satu rudal jelajah fenomenal adalah Tomahawk, rudal jelajah buatan Amerika Serikat. Rudal ini pertama kali diperkenalkan konsep desain matangnya oleh General Dynamics pada era dekade 1970-an. Sejak awal Tomahawk didesain mampu diluncurkan dari permukaan (kapal laut maupun peluncur pangkal darat), dan dari kapal selam. Jujur saja, desain senjata dengan fitur peluncuran multimoda ini hingga kini pun tak banyak negara yang mampu melakukannya. Perancis boleh berbangga karena rudal Anti-kapal mereka, Exocet, memiliki fitur semacam ini.

Rudal jelajah yang namanya diambil dari nama kapak bangsa Indian ini kerap menghiasi berbagai media Internasional lantaran keikutsertaannya dalam hampir semua konflik dan perang yang melibatkan Amerika. Sudah begitu, hasilnya pun tidaklah mengecewakan. Memang ada saja rudal yang gagal, entah gagal meledak atau gagal dalam fase peluncurannya. Secara keseluruhan, persentasenya terbilang kecil dan dirasa masih dalam batas wajar untuk kegagalan dalam sistem senjata sekompleks Tomahawk. Karena itulah rudal ini sangat layak di cap Battle Proven, dengan penilaian yang sangat baik.

Tomahawk dirilis dengan 2 varian utama, yaitu hulu ledak nuklir dan Konvensional. Varian berhulu ledak non-Nuklir oleh AS dikategorikan sebagai senjata taktis. Namun berkat kemampuannya menghajar target dari jarak amat jauh (di atas 1.000 kilometer) dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Tomahawk kerap dinilai sebagai senjata berdampak strategis kendati secara TO&E (Table of Organization and Equipment) dikategorikan sebagai senjata taktis.

Itulah sebabnya pembelian rudal Tomahawk dalam skala besar tentu dilahap media sebagai santapan yang menggiurkan. Ya tentu saja, kalau bukan hendak dipakai untuk serangan terhadap negara lain, lalu untuk apa lagi?? meski Tomahawk memang secara rutin dibeli lantaran secara gradual jumlah rudal dalam inventori Angkatan Laut AS berkurang (akibat sering dipakai untuk latihan penembakan rutin), namun pembelian penggantian tersebut tidaklah besar. Jika jumlah order besar, tentu itu ada apa-apanya, mengingat Tomahawk merupakan senjata andalan pembuka serangan di berbagai palagan perang dimana negeri Paman Sam menjadi aktor utamanya.





BATTLE PROVEN AXE

Tomahawk adalah rudal jelajah jarak jauh berkecepatan subsonik dan berkemampuan beroperasi di segala medan dan cuaca, yang diluncurkan dari kapal perang, baik di permukaan maupun di bawah permukaan (kapal selam). Rudal ini diproduksi oleh Raytheon selaku Kontraktor utamanya. Ini merupakan rudal fenomenal yang dimiliki AL AS.

Di antara arsenal militer Amerika, Tomahawk merupakan salah satu cerita sukses. Tengok saja konfik-konflik skala besar yang melibatkan negeri Paman Sam, serangan awalnya dibuka dengan hujan rudal jelajah. Intervensi AS dan NATO di Libya tahun 2011 lalu juga menorehkan satu lagi catatan prestasi gemilang Tomahawk sebagai senjata pembuka serangan. Kala itu Tomahawk didapuk untuk melumpuhkan target-target vital yang dipandang dapat memberikan ancaman pada gelombang serangan jet-jet tempur NATO di wilayah udara Libya. Pusat komando dan situs-situs Hanud jadi sasaran pertama, sebelum serangan dengan munisi presisi dari pesawat tempur yang berdatangan.

Dipilihnya rudal Tomahawk sebagai senjata pembuka serangan tak lepas dari dua kemampuannya yang saling terkait sekaligus membuatnya terbilang istimewa. Pertama adalah kemampuannya dilepas (diluncurkan) dari jarak yang amat jauh. Keuda, Tomahawk mampu menghantam target bernilai strategis dengan menihilkan resiko kehilangan Sumber Daya Manusia (resiko kehilangan prajurit). Target penting musuh sudah pasti dijaga dengan sangat ketat dengan aset-aset Hanud yang berlapis, sehingga jika disasar dengan Alutsista berawak (pesawat jet dan semacamnya), tentu saja resiko tertembak jatuhnya cukup tinggi.



missile Tomahawk yang diluncurkan dari kapal selam




Pasca penembakan, booster (roket bantu dorong) terus mendorong Tomahawk hingga mencapai kecepatan optimum (mendekati kecepatan jelajah, sehingga tidak membebani mesin jet mini nya dengan beban akselerasi). Selanjutnya Booster terlepas dan Tomahawk pun didorong sepenuhnya oleh mesinnya sendiri. Pada fase ini tersedia opsi bagi perencana misi Tomahawk, apakah rudal akan di atur untuk terbang di ketinggian jelajah (di atas 1.000 kaki, tergantung lokasi), ataukah langsung menukik kembali untuk terbang di ketinggian rendah (di bawah 500 kaki, tergantung faktor geografis juga). Pilihan terakhir diambil jika aset senjata pertahanan Hanud musuh dipandang cukup mumpuni untuk mendeteksi dan bahkan merontokkan Tomahawk sebelum rudal tersebut sempat mendekati sasarannya. Resikonya jelas, terbang rendah menguras bahan bakar sehingga jarak jangkaunya pun menurun ketimbang spesifikasi optimumnya. Opsi manapun yang dipilih, pada jarak seperempat dari jarak tempuh targetnya, Tomahawk diset untuk terbang di ketinggian rendah hingga sampai pada sasaran yang dituju.








Sumber:
Majalah Commando Volume VIII / Edisi No.5 / Tahun 2012

No comments:

Post a Comment