CHINA DALAM PUSARAN G-30-S
Peristiwa Gerakan 30 September
1965 berdampak pada hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara
sosialis-komunis di Asia Tenggara dan Pasifik. Peran China diklaim sangat
sedikit dibandingkan dengan apa yang dituduhkan kubu anti-komunis.
Gatot Wilotikto tiba di Korea
Utara pada November 1960. Ia menetap di Pyongyang atas undangan Liga Pemuda
Korea untuk kuliah di jurusan Teknik Listrik Institut Teknologi Kim Chaek.
Ketika Gatot datang, Indonesia belum menjalin hubungan diplomatik resmi dengan
Korea Utara. Meski begitu, nama Indonesia sudah dikenal. “Lagu Bengawan Solo
sangat populer di Pyongyang,” kata gatot.
Pada HUT Kemerdekaan RI, 1965,
Presiden Soekarno mengemukakan gagasan politik luar negeri anti-imperialis dan
beralih mengusung poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang. Impikasinya,
pada 3 September 1965, Indonesia secara resmi membuka kantor perwakilan di
negara yang saat itu perdana menterinya dijabat Kim Il-Sung tersebut.
Belum sebulan Kedutaan RI di
Pyongyang beroperasi, pecah peristiwa 30 September, yang dikenal dengan
G-30-S/PKI. Dalam atmosfer hubungan yang sedang amat dekat itu, G-30-S membuat
banyak warga Korea Utara kaget dan tidak menduganya. Setelahnya, eskalasi
penumpasan kekuatan PKI dan elemen-elemen pendukungnya banyak mendapat kecaman
dari warga Pyongyang. Kejadian itu, menurut Gatot, secara drastis mengubah
hubungan diplomatik antara Indonesia dan Korea Utara.
Dampaknya dirasakan juga oleh
Gatot dan WNI lain yang tinggal di Korea Utara. Paspor pria kelahiran 18
November 1936 ini dicabut dan ia kehilangan kewarganegaraannya. “Saya menjadi
stateless (tidak ada kewarganegaraan) selama 32 tahun,” ia berkisah.
Baru di era Reformasi, semasa
pemerintahan Gus Dur, status kewarganegaraan Indonesia untuk Gatot kembali
diakui. Meski baru secara lisan, Gatot yang sempat menjadi peneliti di
almamaternya dan menjadi penerjemah honorer, kemudian bekerja di KBRI di
Pyongyang. Cerita Gatot memberikan gambaran tentang dampak peristiwa G30S/PKI
terhadap hubungan Indonesia dengan negara-negara sosialis-komunis yang
dijadikan sebagai orientasi politik luar negeri Soekarno.
Selain dengan Korea Utara,
hubungan dengan Republik Rakyat Cina (RRC) juga memanas pasca Gerakan 30
September. Propaganda anti-komunis Angkatan Darat yang dipimpin Soeharto tidak
sungkan menuding peran besar Peking dibalik scenario kudeta oleh PKI. Laporan
harian Angkatan Bersendjata pada 25 April 1966 menyebut rezim Peking
berada dibalik penculikan dan pembunuhan 7 Jenderal dan seorang peristiwa dalam
peristiwa G-30-S.
Sejarawan Universitas Cornell,
Amerika Serikat, Taomo Zhou, dalam makalahnya berjudul “China and The Thirtieth
of September Movement” (dipublikasikan pada 2014 oleh Program Asia Tenggara
Universitas Cornell) mempunyai kesimpulan berbeda atas tudingan itu.
Menurutnya, peran RRC sangat kecil dalam konflik politik Indonesia mengenai
G-30-S. Sebaliknya, dalam makalah yang sama, Taomo memaparkan bukti-bukti yang
mengonfirmasi Pemimpin Senior PKI, D.N Aidit, sebagai pemilik scenario politik kudeta
G-30-S PKI.
Paparan Taomo bersumber pada
sejumlah dokumen, arsip Pemerintah RRC, terutama milik kementerian luar
negerinya. Seperti diketahui, G-30-S PKI menjadi objek sensor pemerintah RRC.
Beijing menutup akses atas dokumen pemerintah yang berhubungan dengan G-30-S
dan mengawasi dengan ketat setiap diskusi akademik yang relevan dengan topik
tersebut.
Namun, pada 2008 Kementerian
Luar Negeri RRC untuk pertama kalinya membuka arsip dan dokumen-dokumen
diplomatik yang diproduksi dalam kurun waktu 1961-1965. Diantaranya, 250 berkas
dengan tebal mencapai 2.000 halaman yang berhubungan dengan Indonesia. Dokumen
itu berisi percakapan, laporan, dan notulensi, dari pertemuan top level
pemerintahan dua negara sampai informasi level bawah yang memuat komunikasi
dengan kantor perwakilan China di Indonesia.
Pada 2013, arsip tersebut
kembali ditutup. Hanya sedikit para akademisi China yang dapat mengakses dan
mempublikasikan materi terbatas dari dokumen-dokumen itu. Taomo mengurai
keterlibatan China dalam G-30-S berdasarkan empat isu; bantuan militer Beijing
untuk Angkatan Kelima (buruh dan petani) yang digagas Soekarno, rencana
kerjasama pengembangan dan transfer teknologi dan material nuklir, bantuan
medis pemerintah RRC untuk Presiden Soekarno, dan yang terakhir, hubungan
antara Partai Komunis China dan PKI.
Dari bukti-bukti itu (yang
cenderung mewakili sudut pandang Pemerintah RRC), dalam kesimpulannya, Taomo
membenarkan bahwa dalam kurun waktu 1964 hingga September 1965, Beijing
menggunakan pengaruh politiknya untuk mendukung pemerintahan Soekarno yang
didukung kekuatan PKI. Dengan memberikan bantuan militer dan transfer teknologi
nuklir, RRC berharap dapat mengambil keuntungan dari sikap konfrontatif
Soekarno terhadap Malaysia sebagai proyek pelemahan atas kekuatan Barat di Asia
Tenggara dan Pasifik.
Dukungan China atas
pembentukan Angkatan Kelima (diluar Angkatan Darat, Laut, Udara, dan
Kepolisian) juga untuk mendukung kekuatan pro-Soekarno melawan kekuatan kanan
yang disematkan pada Angkatan Darat – yang didukung Amerika Serikat dan
sekutunya. Pada akhirnya, meski terlibat kesepakatan untuk memberi bantuan
25.000 pucuk senjata (dari 100.000 pucuk yang ditawarkan China), karena
sejumlah alasan, yang dikirim jumlahnya jauh lebih sedikit dari itu, dan tidak
untuk tujuan mendukung G-30-S.
Mao Zedong (1893-1976), merupakan seorang revolusioner komunis China,
sekaligus pendiri RRC yang dibangun pada 1949. Mao terkenal dengan
teori Marxit-Lenin, dan taktik militer yang semua itu digabung dan
dikenal dengan sebutan Maoisme.
Menurut dokumen yang memuat
laporan intelijen militer China sepanjang 1960 sampai September 1965, bantuan
militer China untuk Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dengan bantuan
militer Uni Soviet yang nilainya mencapai US$ 1.1 milyar. Karena itu, menurut
Taomo, sulit untuk menyebut bahwa bantuan militer China berdampak signifikan
terhadap situasi politik Indonesia tahun 1965.
Rencana China untuk memberikan
bantuan transfer teknologi dan material nuklir tidak terealisasi akibat G-30-S.
Sementara itu, dalam konteks bantuan medis, dokumen Pemerintah RRC menyebut
kondisi kesehatan Soekarno pada 1964-1965 tidak seburuk seperti apa yang
dispekulasikan dokter-dokter Barat di Vienna, Austria. Karena itu, premis yang
menyebut politisasi atas kondisi kesehatan Soekarno secara langsung memicu
G-30-S, menurut Taomo, juga terbantahkan.
Sementara itu, untuk isu
keempat, mengenai hubungan PKI dengan Partai Komunis China (PKC), Taomo
memaparkan dokumen pertemuan pemimpin China Mao Zedong dengan delegasi PKI yang
dipimpin D.N Aidit pada 5 Agustus 1965. Dokumen itu memuat percakapan antara
Mao dan Aidit yang mengetengahkan sejumlah scenario PKI untuk menghadapi
kekuatan Angkatan Darat.
Intinya, scenario Aidit
mengetengahkan dua cara; negosiasi dengan Angkatan Darat (yang ia rasa akan
sulit dimenangkan jika Soekarno wafat) dan memperkuat dukungan militer untuk
PKI. Dari percakapan, menurut Taomo, tidak jelas benar sikap pemimpin China
terhadap skenario Aidit. “Tapi percakapan itu adalah bukti bahwa Beijing telah
menerima informasi soal rencana Aidit dan menunjukkan sikap tidak keberatan,”
ia memaparkan. (Paparan itu berbeda dari rekonstruksi yang diketengahkan
sejarawan Ceko, Victor Miroslav Vic, 10 tahun lalu. Ia mengutip – dari
transkipsi yang tidak teridentifikasi keterangan waktunya – pernyataan Mao yang
secara eksplisit menyarankan Aidit untuk menghabisi para jenderal dan perwira
reksioner dalam sekali pukul.)
Alhasil, Taomo menyebut Mao
bukanlah arsitek kudeta G-30-S PKI. Menurutnya, gerakan klandestin PKI-lah yang
secara independen menyusun rencana. Beijing juga disebutnya tidak pernah tahu
kapan rencana PKI akan direalisasikan. Informasi soal pecahnya G-30-S baru
diperoleh Pemerintah RRC dari kantor berita asing pada 1 Oktober 1965.
(BAMBANG
SULISTIYO DAN HAYATI NUPUS)
Terima kasih atas ulasannya, sangat berharga bagi saya untuk menambah referensi soal sejarah. Terutama keterlibatan China dalam pusaran G30 S PKI yang banyak rakyat Indonesia tidak tahu fakta sejarahnya. Salam, bicarawanita.xyz
ReplyDelete