Saturday, 23 January 2016

China dalam pusaran G-30-S PKI

CHINA DALAM PUSARAN G-30-S

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 berdampak pada hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara sosialis-komunis di Asia Tenggara dan Pasifik. Peran China diklaim sangat sedikit dibandingkan dengan apa yang dituduhkan kubu anti-komunis.
Gatot Wilotikto tiba di Korea Utara pada November 1960. Ia menetap di Pyongyang atas undangan Liga Pemuda Korea untuk kuliah di jurusan Teknik Listrik Institut Teknologi Kim Chaek. Ketika Gatot datang, Indonesia belum menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Korea Utara. Meski begitu, nama Indonesia sudah dikenal. “Lagu Bengawan Solo sangat populer di Pyongyang,” kata gatot.
Pada HUT Kemerdekaan RI, 1965, Presiden Soekarno mengemukakan gagasan politik luar negeri anti-imperialis dan beralih mengusung poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang. Impikasinya, pada 3 September 1965, Indonesia secara resmi membuka kantor perwakilan di negara yang saat itu perdana menterinya dijabat Kim Il-Sung tersebut.
Belum sebulan Kedutaan RI di Pyongyang beroperasi, pecah peristiwa 30 September, yang dikenal dengan G-30-S/PKI. Dalam atmosfer hubungan yang sedang amat dekat itu, G-30-S membuat banyak warga Korea Utara kaget dan tidak menduganya. Setelahnya, eskalasi penumpasan kekuatan PKI dan elemen-elemen pendukungnya banyak mendapat kecaman dari warga Pyongyang. Kejadian itu, menurut Gatot, secara drastis mengubah hubungan diplomatik antara Indonesia dan Korea Utara.
Dampaknya dirasakan juga oleh Gatot dan WNI lain yang tinggal di Korea Utara. Paspor pria kelahiran 18 November 1936 ini dicabut dan ia kehilangan kewarganegaraannya. “Saya menjadi stateless (tidak ada kewarganegaraan) selama 32 tahun,” ia berkisah.
Baru di era Reformasi, semasa pemerintahan Gus Dur, status kewarganegaraan Indonesia untuk Gatot kembali diakui. Meski baru secara lisan, Gatot yang sempat menjadi peneliti di almamaternya dan menjadi penerjemah honorer, kemudian bekerja di KBRI di Pyongyang. Cerita Gatot memberikan gambaran tentang dampak peristiwa G30S/PKI terhadap hubungan Indonesia dengan negara-negara sosialis-komunis yang dijadikan sebagai orientasi politik luar negeri Soekarno.
Selain dengan Korea Utara, hubungan dengan Republik Rakyat Cina (RRC) juga memanas pasca Gerakan 30 September. Propaganda anti-komunis Angkatan Darat yang dipimpin Soeharto tidak sungkan menuding peran besar Peking dibalik scenario kudeta oleh PKI. Laporan harian Angkatan Bersendjata pada 25 April 1966 menyebut rezim Peking berada dibalik penculikan dan pembunuhan 7 Jenderal dan seorang peristiwa dalam peristiwa G-30-S.
Sejarawan Universitas Cornell, Amerika Serikat, Taomo Zhou, dalam makalahnya berjudul “China and The Thirtieth of September Movement” (dipublikasikan pada 2014 oleh Program Asia Tenggara Universitas Cornell) mempunyai kesimpulan berbeda atas tudingan itu. Menurutnya, peran RRC sangat kecil dalam konflik politik Indonesia mengenai G-30-S. Sebaliknya, dalam makalah yang sama, Taomo memaparkan bukti-bukti yang mengonfirmasi Pemimpin Senior PKI, D.N Aidit, sebagai pemilik scenario politik kudeta G-30-S PKI.
Paparan Taomo bersumber pada sejumlah dokumen, arsip Pemerintah RRC, terutama milik kementerian luar negerinya. Seperti diketahui, G-30-S PKI menjadi objek sensor pemerintah RRC. Beijing menutup akses atas dokumen pemerintah yang berhubungan dengan G-30-S dan mengawasi dengan ketat setiap diskusi akademik yang relevan dengan topik tersebut.
Namun, pada 2008 Kementerian Luar Negeri RRC untuk pertama kalinya membuka arsip dan dokumen-dokumen diplomatik yang diproduksi dalam kurun waktu 1961-1965. Diantaranya, 250 berkas dengan tebal mencapai 2.000 halaman yang berhubungan dengan Indonesia. Dokumen itu berisi percakapan, laporan, dan notulensi, dari pertemuan top level pemerintahan dua negara sampai informasi level bawah yang memuat komunikasi dengan kantor perwakilan China di Indonesia.
Pada 2013, arsip tersebut kembali ditutup. Hanya sedikit para akademisi China yang dapat mengakses dan mempublikasikan materi terbatas dari dokumen-dokumen itu. Taomo mengurai keterlibatan China dalam G-30-S berdasarkan empat isu; bantuan militer Beijing untuk Angkatan Kelima (buruh dan petani) yang digagas Soekarno, rencana kerjasama pengembangan dan transfer teknologi dan material nuklir, bantuan medis pemerintah RRC untuk Presiden Soekarno, dan yang terakhir, hubungan antara Partai Komunis China dan PKI.
Dari bukti-bukti itu (yang cenderung mewakili sudut pandang Pemerintah RRC), dalam kesimpulannya, Taomo membenarkan bahwa dalam kurun waktu 1964 hingga September 1965, Beijing menggunakan pengaruh politiknya untuk mendukung pemerintahan Soekarno yang didukung kekuatan PKI. Dengan memberikan bantuan militer dan transfer teknologi nuklir, RRC berharap dapat mengambil keuntungan dari sikap konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia sebagai proyek pelemahan atas kekuatan Barat di Asia Tenggara dan Pasifik.
Dukungan China atas pembentukan Angkatan Kelima (diluar Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Kepolisian) juga untuk mendukung kekuatan pro-Soekarno melawan kekuatan kanan yang disematkan pada Angkatan Darat – yang didukung Amerika Serikat dan sekutunya. Pada akhirnya, meski terlibat kesepakatan untuk memberi bantuan 25.000 pucuk senjata (dari 100.000 pucuk yang ditawarkan China), karena sejumlah alasan, yang dikirim jumlahnya jauh lebih sedikit dari itu, dan tidak untuk tujuan mendukung G-30-S.


Mao Zedong (1893-1976), merupakan seorang revolusioner komunis China,
sekaligus pendiri RRC yang dibangun pada 1949. Mao terkenal dengan
teori Marxit-Lenin, dan taktik militer yang semua itu digabung dan
dikenal dengan sebutan Maoisme. 




Menurut dokumen yang memuat laporan intelijen militer China sepanjang 1960 sampai September 1965, bantuan militer China untuk Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dengan bantuan militer Uni Soviet yang nilainya mencapai US$ 1.1 milyar. Karena itu, menurut Taomo, sulit untuk menyebut bahwa bantuan militer China berdampak signifikan terhadap situasi politik Indonesia tahun 1965.
Rencana China untuk memberikan bantuan transfer teknologi dan material nuklir tidak terealisasi akibat G-30-S. Sementara itu, dalam konteks bantuan medis, dokumen Pemerintah RRC menyebut kondisi kesehatan Soekarno pada 1964-1965 tidak seburuk seperti apa yang dispekulasikan dokter-dokter Barat di Vienna, Austria. Karena itu, premis yang menyebut politisasi atas kondisi kesehatan Soekarno secara langsung memicu G-30-S, menurut Taomo, juga terbantahkan.
Sementara itu, untuk isu keempat, mengenai hubungan PKI dengan Partai Komunis China (PKC), Taomo memaparkan dokumen pertemuan pemimpin China Mao Zedong dengan delegasi PKI yang dipimpin D.N Aidit pada 5 Agustus 1965. Dokumen itu memuat percakapan antara Mao dan Aidit yang mengetengahkan sejumlah scenario PKI untuk menghadapi kekuatan Angkatan Darat.
Intinya, scenario Aidit mengetengahkan dua cara; negosiasi dengan Angkatan Darat (yang ia rasa akan sulit dimenangkan jika Soekarno wafat) dan memperkuat dukungan militer untuk PKI. Dari percakapan, menurut Taomo, tidak jelas benar sikap pemimpin China terhadap skenario Aidit. “Tapi percakapan itu adalah bukti bahwa Beijing telah menerima informasi soal rencana Aidit dan menunjukkan sikap tidak keberatan,” ia memaparkan. (Paparan itu berbeda dari rekonstruksi yang diketengahkan sejarawan Ceko, Victor Miroslav Vic, 10 tahun lalu. Ia mengutip – dari transkipsi yang tidak teridentifikasi keterangan waktunya – pernyataan Mao yang secara eksplisit menyarankan Aidit untuk menghabisi para jenderal dan perwira reksioner dalam sekali pukul.)
Alhasil, Taomo menyebut Mao bukanlah arsitek kudeta G-30-S PKI. Menurutnya, gerakan klandestin PKI-lah yang secara independen menyusun rencana. Beijing juga disebutnya tidak pernah tahu kapan rencana PKI akan direalisasikan. Informasi soal pecahnya G-30-S baru diperoleh Pemerintah RRC dari kantor berita asing pada 1 Oktober 1965.

                                                           (BAMBANG SULISTIYO DAN HAYATI NUPUS)

1 comment:

  1. Terima kasih atas ulasannya, sangat berharga bagi saya untuk menambah referensi soal sejarah. Terutama keterlibatan China dalam pusaran G30 S PKI yang banyak rakyat Indonesia tidak tahu fakta sejarahnya. Salam, bicarawanita.xyz

    ReplyDelete