Monday, 20 December 2021

Refleksi Singkat Aneksasi Crimea

 

 

          Perang Sipil Ukraina yang berkecamuk saat ini merupakan Perang Saudara hasil dari drama sebuah pergulatan di panggung politik yang dimainkan oleh dua kubu politik yang berbeda. Di satu sisi ada kelompok Pro Kiev yang tergila-gila dengan Barat dengan sistem demokrasinya, disatu sisi terdapat kelompok politik konservatif yang terang-terangan menginginkan kembalinya Ukraina ke pangkuan Rusia seperti masa kejayaan Uni Soviet terdahulu. Dilihat dari peta geopolitik keseluruhan wilayah Ukraina, diperkirakan sekitar 65% populasi Ukraina condong ke Barat, sedangkan 35% sisanya menginginkan Ukraina agar lebih dekat ke Rusia. Perlu diingat bahwa rasio 65% - 35% adalah murni merupakan kesimpulan Penulis dari persentase total populasi masyarakat Ukraina dilihat dari peta populasi yang menggambarkan apakah penduduk Ukraina berbahasa ibu Rusia atau tidak.  Karena seseorang yang memakai bahasa Rusia di Ukraina sebenarnya masih sangat erat kaitannya dengan Rusia (Uni Soviet), atau bisa jadi merupakan warga Rusia itu sendiri yang berada di wilayah Ukraina namun setelah bubarnya Uni Soviet, mereka yang berbahasa Rusia itu pun terpaksa menduduki wilayah pecahannya dengan status kewarganegaraan baru yang berstatus warga negara Ukraina. Namun kita tidak akan membahas secara detail mengenai topik perhitungan populasi ini dan keterkaitan historis mereka atas Rusia, namun lebih fokus kepada Perang Sipil itu sendiri yang terjadi di dua wilayah dengan konsentrasi pertempuran terpadat- Luhanks dan Donetsk.

           Dua wilayah yang disebutkan tadi- Luhanks dan Donetsk, merupakan wilayah terseksi bagi kedua belah pihak dalam melancarkan pertempuran bersenjata. Intensitas pertempuran di dua wilayah ini berawal dari yang sekedar pergulatan politik semata, kemudian dengan cepat beralih ke konflik bersenjata yang militeristik. Rusia nampaknya cukup paham bahwa dua wilayah ini tidak boleh jatuh ke tangan rezim berkuasa Kiev, namun pertanyaan selanjutnya adalah seberapa pentingkah sebenarnya kedua wilayah ini?   

          Ada beberapa alasan mengapa Rusia tidak ingin melepaskan kedua wilayah ini. Pertama, baik Luhanks dan Donetsk merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Rusia. Hal itu membuat Putin dengan mudah menyuplai berbagai logistik seperti senjata, peluru, kendaraan lapis baja dan Tank ke banyak kelompok milisi lokal yang bertempur secara tidak langsung demi kepentingan nasional Rusia. Kedua, populasi di Luhanks dan Donetsk merupakan populasi dimana hampir 90% masyarakatnya berbahasa Rusia, secara historis merasa dekat ke Rusia, atau setidaknya menginginkan Luhanks dan Donetsk menjadi daerah otonom lepas dari pengaruh rezim Kiev yang pro Barat. Otomatis secara politik hal itu sangat menguntungkan Putin dengan agenda besarnya menyatukan kembali Ukraina ke dalam pangkuan Rusia.  Ketiga, dari perspektif logika militer, jelas suatu invasi militer darat harus terlebih dahulu bisa merebut dan menguasai daerah-daerah di perbatasan, kemudian perlahan-lahan mulai menginvasi daerah-daerah selanjutnya hingga ke dalam wilayah musuh. Memang bisa secara langsung militer Rusia melakukan serangan udara ke jantung pemerintahan Kiev tanpa menyentuh daerah-daerah pinggiran, namun jelas akan sangat beresiko mengingat semakin masuk ke dalam- terutama di wilayah-wilayah seperti Odessa, Mykolaiv, dan Dnipropertrovsk, maka sistem pertahanan udara Ukraina dan keberadaan pasukan daratnya jelas akan menjadi ancaman tersendiri, terutama bagi kekuatan kelompok-kelompok milisi lokal. Keempat, kedua wilayah ini merupakan pintu masuk bagi kekuatan kelompok milisi asing pro-Rusia yang sengaja disusupkan melalui jalur darat di perbatasan. Kekuatan separatis asing yang terbentuk di wilayah ini diantaranya berasal dari milisi Chechnya, Yunani, Polandia, Hungaria, Serbia, Latvia, Armenia, dan negara-negara lain yang sengaja masuk ke medan pertempuran dengan membawa sejarah pengalaman perang mereka di masa lalu.


DPR Forces adalah istilah yang dialamatkan kepada milisi lokal Donbass. Milisi ini terbentuk dari elemen warga sipil, yang kemudian terpaksa mengangkat senjata dan bertempur melawan militer Ukraina di wilayah Ukraina Timur, Donbass. Pemerintah dan militer Ukraina terang-terangan menyebut unit-unit lokal ini sebagai kelompok teroris yang secara intens mendapatkan dukungan logistik dari Rusia. DPR ini berada dibawah payung Angkatan Bersenjata Novorossiya, dimana AB Novorossiya ini memiliki unit-unit militan lain yang bertempur secara gerilya seperti Batalion Sparta, Batalion Somalia, dan Batalion Vostok. Bersama dengan Pasukan elite Rusia yang secara langsung melatih mereka sekaligus menjadi unit recon (intai), milisi-milisi lokal ini sering bertempur secara direct digaris depan. 


Atas fakta-fakta diatas, maka sudah lazim bagi Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mempertimbangkan kedua wilayah tadi, sebagai wilayah strategis yang harus diduduki dan ditaklukkan secara militer secepatnya. Langkah pertama yang dilakukan untuk mewujudkan ambisi besar tersebut ialah upaya Aneksasi Rusia yang dilakukan atas wilayah Crimea, Ukraina, pada 2014 silam. Aneksasi Putin terhadap Crimea dilakukan tanpa perlawanan dan pertumpahan darah sedikitpun, meski demikian, aneksasi tersebut membawa konsekuensi politik yang besar bagi Rusia itu sendiri. Konsekuensi politik itu datang dari banyak kelompok yang sudah sejak lama berseberangan dengan Rusia- negara-negara Barat, negara aliansi NATO, dan negara-negara Baltik yang bersimpati dengan Barat. Belum lagi konsekusensi lanjutan berupa konflik bersenjata yang berlarut-larut yang sampai sekarang sudah memakan lebih dari 14.000 korban jiwa warga sipil.

          Aneksasi tersebut membuat Benua Eropa tersentak kaget. Negara-negara Eropa yang diibaratkan sedang tertidur pulas, tiba-tiba dibangunkan oleh Rusia atas insiden tersebut. Para pengamat militer mengatakan bahwa Aneksasi Crimea itu merupakan aksi pengambil-alihan dan pendudukan wilayah terbesar yang pertama kali dilakukan di Benua Eropa sejak Perang Dunia II. Putin secara cerdik melihat banyak faktor sebelum melakan Aneksasi itu- diantaranya faktor geopolitik, historis, serta kekuatan diplomatik Ukraina di kancah internasional. Putin mencermati bahwa Ukraina terlalu lemah baik dalam diplomasi internasional, pengaruh diplomatik regional, maupun dalam hal kekuatan militer. Belum lagi korupsi menggurita di kubu pemerintahan dan militer Ukraina itu sendiri. Hal itu benar-benar dimanfaatkan secara maksimal oleh Putin- dengan realisasi berupa Aneksasi tersebut.

          Walaupun Ukraina sesumbar mengatakan bahwa Crimea akan segera balik ke pangkuan Kiev, namun banyak pengamat yang meragukannya. Mereka menganggap bahwa sangat sulit bagi Ukraina untuk mengambil kembali Crimea dilihat dari perspektif manapun mengingat kekuatan Ukraina sangat lemah baik dalam hal diplomatik, ekonomi, maupun militer. Ukraina juga masih sangat bergantung kepada Rusia secara ekonomi. Dan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan dan penangguran juga cukup besar di Crimea dan menjadi suatu pertimbangan tersendiri. Meskipun terlihat mustahil, namun Ukraina terus mendapatkan dukungan diplomatik dan politik baik dari negara-negara UE, NATO dan Amerika Serikat. Walaupun banyak pengamat yang mengatakan bahwa keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO tidak bisa diwujudkan secepatnya. Perlu pertimbangan dan analisis geopolitik yang mendalam bagi NATO agar memampukannya untuk menerima Ukraina sebagai anggota tetapnya. NATO juga tidak mau begitu saja menerima Ukraina hanya karena Ukraina ingin segera mencari perlindungan militer NATO atas konflik bersenjatanya dengan Rusia, tanpa Ukraina membawa kontribusi positif yang signifikan bagi organisasi NATO itu sendiri, baik kontribusi geopolitik, diplomatik, maupun dari perspektif kekuatan militer. Itulah mengapa Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan bahwa NATO akan tetap menjadi partner bagi Ukraina, NATO mendukung model pemerintahan demokrasi yang ada di Ukraina, namun  tidak menjanjikan dengan gegabah bahwa Ukraina akan menjadi anggota tetap NATO dikemudian hari. Sikap kehati-hatian atas rekrutmen anggota tetap NATO itu menjadi suatu keharusan meskipun NATO paham betul bahwa kemungkinan besar invasi militer Rusia atas seluruh wilayah Ukraina akan terwujud, setidaknya itulah yang ditakutkan banyak pihak. Nampaknya NATO memiliki taktiknya sendiri dalam menghadapi ancaman Rusia tersebut, yakni memperkuat kekuatan pasukan militer dan sistem pertahanan di negara-negara NATO yang berdekatan dengan wilayah Ukraina dan Rusia. Dengan begitu NATO akan mampu terus mengawasi dari dekat perkembangan peta kekuatan militer Rusia di kawasan regional.

          Yang jelas, setelah Aneksasi berhasil diwujudkan. Putin kini menuntut agar NATO menjauh dari negara-negara Balkan, Eropa Timur, dan negara-negara bekas Uni Soviet, terutama Ukraina. Hal itu termasuk tuntutan agar NATO segera menjauhkan sistem pertahanan udara dan konsentrasi pasukan darat NATO di negara-negara Eropa Timur, termasuk latihan militer rutin yang sering dilakukan NATO. Rusia menuntut NATO untuk tidak lagi memberikan status keanggotaan tetap bagi negara-negara bekas Uni Soviet, namun tuntutan itu ditertawakan NATO. NATO beralasan bahwa setiap negara memiliki potensi untuk menjadi anggota NATO dan NATO menghargai upaya mereka untuk menjadi bagian dari NATO. Rusia juga menuntut agar AS dan NATO untuk menaati himbauan untuk segera menjauh dari wilayah-wilayah pinggiran Rusia yang sangat menjadi prioritas utama Rusia terkait stabilitas keamanan dan pertahanan diwilayah tersebut. Dilihat dari mau kemana arah kebijakan Putin atas Ukraina, bisa tercermin dari seberapa geram dan khawatirnya Putin atas keberadaan kekuatan NATO di kawasan regional. Begitu gusarnya hingga Putin menempatkan konsentrasi banyak kekuatan militernya di perbatasan- diperkirakan berjumlah 100.000 pasukan darat beserta Alutsista militernya.


Gambar diambil dari geoawesomeness.com- negara-negara biru tua merupakan anggota tetap NATO yang memiliki status FIU (Force Integration Units)- diantaranya Estonia, Latvia, Lithuania, Polandia, Slovakia, Hungaria, Romania dan Bulgaria. Dengan status FIU tersebut, itu berarti kedelapan negara itu mampu menggelar pasukan NATO dengan jumlah banyak dalam kurun waktu kurang dari 24 jam ke titik-titik hot zone (zona perang). Sedangkan negara-negara berwarna biru muda merupakan anggota NATO tetap tapi tidak memiliki kemampuan penggelaran pasukan gerak cepat. Sedangkan warna merah merupakan konsentrasi pasukan Rusia. Sedangkan lingkaran-lingkaran kecil biru-merah, merupakan lokasi latihan militer baik yang dilakukan NATO maupun Rusia. Dan konsentrasi latihan militer intens yang sering dilakukan NATO berada di Estonia, Latvia, dan Lithuania yang sangat dekat dengan wilayah Rusia, nampaknya hal itu yang membuat Putin marah besar. 


        

  Apa yang sebenarnya terjadi di Ukraina? Benarkah ini merupakan konflik yang tak akan bisa diselesaikan? Dan kemana arah kebijakan Putin selanjutnya- apakah bersikeras dengan retorika-retorika politik-historisnya yang jelas-jelas mengancam stabilitas keamanan negara-negara Eropa? Tunggu tulisan-tulisan mendalam selanjutnya, 






No comments:

Post a Comment