*sebutan lain; tentara bayaran / tentara pengawal / agen sewaan , dsb.
Keberaadaan PMC ternyata telah disinggung oleh filosof asal italia
yang juga ahli peperangan, Machiavelli (1469)-(1527). Dalam bukunya yang
berjudul; The Prince, Machiavelli mengomentari tentang PMC dengan
kata-kata yang pedas. Machiavelli yang juga menulis buku yang kemudian
menjadi buku yang terkenal; The Art of War, menggambarkan PMC
adalah orang-orang berbahaya dan tidak berguna. Siapa pun yang berusaha
membangun kekuasaan berkat dukungan PMC, kekuasaannya pasti tumbang.
Pasalnya, PMC tak mempunyai disiplin, tidak terorganisir, terlalu
ambisius, sulit dipercaya, hanya berani bertempur jika ada temannya,
bersikap pengecut kepada musuh, tidak takut kepada Tuhan, dan tak bisa
dipercaya antara satu dengan yang lain. Pernyataan Machiavelli tentang
PMC, rupanya masih tetap disambut dengan kesimpulan lembaga pemantau
PMC, Global Research yang dipublikasikan pada tanggal 11 Agustus 2009. Pada laporan yang bertajuk; The Real Chessboard and The Profiteers of War
yang di tulis oleh Peter Dale Scott, di sana di paparkan bisnis tentang
PMC. Scott mengatakan organisasi PMC sebagai suatu lembaga yang bisa
member otorisasi dan komitmen kepada tenaga kerjanya untuk menciptakan “pertempuran berdarah”,
merupakan representasi sekelompok bandit yang tak terkontrol dan
terorganisir berdasar pangkat atau hirarki, serta keberadaannya sangat
membahayakan masyarakat luas.
Apakah sepak terjang PMC yang saat ini beroperasi di 50 negara dengan
nilai kontrak lebih dari 100 miliar dollar AS memang seperti itu?
Jika melihat pada peristiwa dan kebrutalan para personel PMC yang
berlangsung di lapangan, imej buruk mereka rupanya tetap belum berubah.
Sebagai contohnya, aksi pembantaian 28 warga Irak yang dilakukan oleh
personel Blackwater di lapangan Al Nisour Square, Baghdad (16 September 2007) atau pembunuhan sejumlah warga Irak dalam bentrokan tak seimbang di Green Zone pada akhir 2006, memang masih mencerminkan kebobrokan moral PMC. Atau para personel Triple Canopy
yang membuat pusing para petingginya dan juga pemerintahan AS, karena
mereka memiliki prinsip minimal membunuh satu orang warga Irak sebelum
mereka pulang, akibatnya para petinggi Triple Canopy buru-buru memulangkan semua personelnya dari Irak sebelum pameo mereka berwujud menjadi ladang pembantaian. Doktrin “harus membunuh” itu setidaknya memang masih mencerminkan bahwa personel PMC masih sangat berbahaya.
Pengontrol PMC
Lagi-lagi, muncul pernyataan negatif akibat sikap Blackwater yang seolah kebal hukum dan merasa memiliki izin membunuh yang legal. Dalam bukunya, Blackwater; The Rise of The World’s Most Powerfull Mercenary Army,
Jeremy Scahill mengatakan PMC adalah pembunuh profesional dunia yang
beroperasi tanpa takut kepada konsekuensi hukum, tapi sekaligus masih
merupakan kekuatan yang paling diminati, khususnya di medan tempur yang
diciptakan oleh AS. Tapi petinggi Blackwater bukannya tidak
mengubris reaksi IPOA dan BAPSC serta komentar negative yang terus
bermunculan. Untuk meredam imej buruknya dan prasangka buruk itu, nama
Blackwater pun diubah menjadi Xe. Namun, nama baru itu ternyata tak
mampu mengubah perilaku para personelnya karena Xe tetap saja melakukan
kebrutalan di lapangan dan juga melakukan tindakan di luar hukum.
Terlepas dari imej buruk para personel PMC di lapangan, kenyataannya
keberadaan mereka justru makin dibutuhkan dan lembaga penyedia PMC pun
terus bertambah hingga lebih dari 60 institusi. Pemicu meledaknya bisnis
PMC adalah peristiwa 9 September 2002 disusul Perang Irak (sejak 2003)
dan ditambah oleh “fatwa” Presiden AS George Bush yang memberikan izin membunuh, License to kill, bagi pasukan AS serta PMC yang bertugas dalam misi “perang melawan terorisme”.
Pentagon rupanya tak hanya sekedar menyewa tenaga PMC, tetapi juga
mengaturnya sehingga muncul semacam doktrin bahwa PMC memang harus ada
di medan perang. Akibatnya, kehadiran PMC di lapangan, terutama yang
sedang “digarap” oleh AS, terus mengalir deras. Jika pada 2003
di Irak hanya ada 3.000 PMC, tahun 2009, sesuai data yang dikeluarkan
Departemen Pertahanan AS, jumlah personel PMC di Irak telah mengalami
lonjakan yang luar biasa, yaitu sekitar 250.000 personel atau merupakan
kekuatan kedua terbesar setelah pasukan reguler AS. Sementara jumlah PMC
di Afghanistan juga mengalami kenaikan yang tak kalah luar biasa
dibandingkan di Irak, dilaporkan oleh lembaga Congressional Research Service (CRS), jumlah personel PMC yang berada di Afghanistan mencapai 104.000 personel.
Untuk mengendalikan ratusan ribu personel PMC tersebut, masing-masing
institusi tersebut memang telah berusaha membuat aturan yang harus di
patuhi. Tapi karena semua personel PMC adalah mantan anggota militer
yang cenderung merindukan peperangan dan di persenjatai serta selalu
bekerja di bawah tekanan, mereka jadi lebih mudah menarik picu senjata
untuk menembak.
Apalagi saat di tengah-tengah medan tempur, musuh justru lebih suka
menyergap PMC secara tiba-tiba. Para resistan rupanya juga punya taktik
khusus, lebih mudah menyergap dan membunuh personel PMC dibandingkan
membunuh anggota militer reguler. Akibatnya bisnis PMC ini menjadi
bisnis yang benar-benar “berdarah-darah”, baik darah yang
ditumpahkan personel PMC maupun darah yang keluar dari para korbannya.
Sedikitnya 1.327 personel PMC telah tewas di Irak. Namun tetap saja PMC
merupakan profesi yang di buru mengingat nilai uangnya yang di hasilkan,
dan juga merupakan salah satu bisnis yang menggiurkan.
(untuk mengetahui lebih jauh tentang PMC, baca juga bacaan dengan judul; Sepak terjang Tentara Bayaran).
SUMBER; Majalah berjudul; Private Military Companies – Sepak Terjang Tentara Swasta. Terbitan Angkasa Edisi Koleksi No. 66 Tahun 2010 – Private Military Contractor.
No comments:
Post a Comment