Kebanyakan orang mungkin menganggap film Mission Impossible
fiktif belaka. Namun, sesungguhnya, sejumlah Negara besar memiliki
banyak catatan dan agenda tentang misi-misi penting yang mustahil
dilakukan, tetapi toh harus dan bisa dilakukan.
Sebagai contoh, mari simak kembali skandal penjualan senjata
Iran-Contra yang dikendalikan petinggi militer AS pada 1986. Alih-alih
untuk membebaskan 52 karyawan kedubes AS di Teheran, Iran; dinas
Intelijen CIA menawarkan senjata Anti-Tank kepada Iran. Pemerintah AS
sendiri sebelumnya telah melancarkan embargo senjata kepada Iran.
Tawaran atau praktik belakang layar ini disebut skandal.
Tawaran itu diterima karena Iran memerlukannya untuk memerangi Irak.
Uang hasil penjualan kemudian digunakan untuk mendanai perjuangan
gerilyawan Contra untuk menjatuhkan pemerintahan resmi Nikaragua.
Orang dengan kemampuan Marketing biasa tak mungkin bisa
mengendalikan operasi penjualan senjata semacam itu. Tetapi tidak untuk
Letkol Oliver North, staf Dewan Keamanan Nasional AS. Pengalaman
bertugas diberbagai Negara membuatnya sangat lihai menangani misi-misi
yang tak biasa. Ia bahkan berhasil mencairkan dana itu dalam bentuk
senjata dan terkirim hingga ke belantara Nikaragua, dimana gerilyawan
Contra bercokol. Sayangnya, salah seorang Operator Lapangan sewaan CIA,
yakni Eugene Hesenfus tertangkap polisi Nikaragua. Dari Hesenfus inilah
skandal ini mulai tercium pers.
Skandal hebat ini kian terbuka setelah majalah Ash Shiraa
terbitan Lebanon, November 1986, mengungkap pertemuan rahasia pejabat AS
dan Iran membicarakan soal penjualan senjata itu. Semula, pemerintah AS
membantah habis-habisan seraya memojokkan Oliver North. Namun, skandal
tingkat tinggi ini akhirnya “diselesaikan” sendiri oleh presiden Ronald Reagan dengan pengakuan bahwa dirinya mengetahui dan juga menyetujui transaksi tersebut.
Plausible deniability
Skandal Iran-Contra merupakan pelajaran mahal dan aib yang sangat
memalukan bagi Gedung Putih. Itu sebabnya tak sedikit pengamat Militer
mengatakan; penempatan PMC (Private Military Companies) atau Tentara
Bayaran di berbagai Negara dapat menjadi salah satu cara untuk meredam
potensi aib serupa yang mungkin dilakukan para perwira militer di luar
negeri. Kalau pun kesalahan itu terjadi, pemerintah dapat dengan mudah
menyangkalnya.
Pihak-pihak PMC yang kini banyak bertugas di berbagai wilayah konflik
seperti; Balkan, Irak, Afghanistan, dan Afrika tak terlalu peduli
dengan segala resiko dan konsekuensi yang harus mereka tanggung. Mereka
bahkan tak takut kehilangan nyawa, karena sejak awal, mereka telah
menyepakati akan menanggung seluruh konsekuensi dari profesi tersebut.
Ini juga mereka terima karena mereka sadar dengan kondisi pekerjaan yang
menjadi spesialisasi mereka.
Di antara spesialisasi pekerjaan PMC adalah; penyelenggaraan
pelatihan tentara/polisi, pengawalan VVIP, pengamanan konvoi kendaraan,
analisis Intelijen, perawatan pemeliharaan alat utama sistem senjata,
penyiapan markas militer, dan menjadi operator pengiriman logistik
militer.
Koran Inggris Guardian menulis; “Kehadiran mereka (PMC)
tak lain adalah untuk menggantikan tentara yang telah menciut nyalinya
pasca perang Dingin. Tanpa mereka (PMC), kehadiran tentara AS dan
Inggris di Irak akan mendapat tekanan begitu besar dari dunia.”
Lahan Dollar
Jika di Irak, AS mengincar minyak, lain lagi yang di incar sejumlah
Negara di Afrika, Timur Tengah, dan Eropa Timur. Apapun itu, yang pasti,
sejak Perang Dingin meluruh pada dasawarsa 1990-an, PMC secara cepat
berhasil menjadi perusahaan raksasa multinasional yang sangat disegani
dan meraksasa.
Dipulangkannya ribuan tentara AS dan Inggris dari pos-pos luar
negeri, bubarnya AB Uni Soviet, dan menggunungnya senjata-senjata yang
mereka tinggalkan telah membuat sejumlah Negara di liputi kegentingan.
Potensi alam dari negara-negara yang di liputi kegentingan inilah yang
selanjutnya diincar banyak Negara berpengaruh dan menjadi lahan dollar
bagi PMC-PMC kelas dunia.
Di Kroasia dan Bosnia misalnya, Kellog Brown & Root Services dan
MPRI dari AS, antara tahun 1994 hingga 2002, berhasil membawa pulang 300
miliar dollar dari 3.000 kontrak kerja yang mereka dapatkan dari
Departemen Pertahanan AS. Bahkan untuk urusan sepele mengawal
pejabat-pejabat AS yang diberi tugas mengendalikan bisnis tingkat tinggi
di berbagai Negara yang selalu diliputi kegentingan. ialah Blackwater (kini menjadi; Xe Services), berhasil meraup pendapatan hinggan 320 juta sampai satu miliar dollar, juga dari Departemen Pertahanan AS.
Demikianlah, diam-diam PMC memang telah menjadi salah satu perusahaan
kelas dunia yang paling sukses dan memikat. Uang tidak saja membanjiri
pundi-pundi di perusahaan, tetapi juga pundi-pundi karyawannya. Seorang
mantan prajurit kesatuan elite yang bekerja di salah satu PMC misalnya,
mengaku terperangah dibayar 14.000 poundsterling tiap bulan. Bagi dia,
ini berarti tujuh kali lipat dari gaji bulanan yang ia terima saat masih
bekerja di kesatuan militer.
Menurunnya tendensi menyerahkan tugas-tugas seperti itu ke pihak
pasukan regular untuk kemudian mengalihkannya ke tangan PMC, juga
disebabkan oleh adanya penolakan angkatan bersenjata berbagai Negara
untuk mengerahkan pasukannya ke tempat-tempat yang rusuh, yang kerap
diwarnai pembunuhan brutal. Perancis dan Inggris misalnya, belakangan
selalu menolak permintaan PBB untuk memperkuat UNAMSIL; pasukan penjaga perdamaian untuk Somalia. Mereka enggan menerima kenyataan pasukannya kelak pulang dalam peti mati.
Akhir kata, banyak peran yang dipikul PMC, di satu sisi mereka adalah
sebuah perusahaan yang menyediakan jasa pengawalan dan operator
instalasi megaproyek. Namun, disisi lain, mereka sesungguhnya tak lebih
dari kepanjangan tangan sejumlah Negara besar yang memiliki banyak
kepentingan di sejumlah Negara. Di tangan mereka, berbagai kepentingan
itu tetap dapat dikendalikan dari jarak jauh.
Mereka seolah tak sadar bahwa jika eksploitasi Negara-negara yang
selalu dirundung konflik terus dilakukan, kelak dunia akan menanggung
petaka hebat dari sebuah bahaya global yang disebut sebagai; Dangerously Asymmetrical (Bahaya Asimetrik).
No comments:
Post a Comment