.do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none; }

Sunday, 26 February 2012

Sepak Terjang Prajurit Gurkha di Malaya



Tahun 1960-an merupakan periode yang penuh gejolak bagi Inggris. Selain menghadapi puncak perang dingin di kandang sendiri, wilayah persemakmuran Inggris di Asia Tenggara juga mengalami banyak masalah dan ancaman keamanan yang tidak ringan.
Tanggal 1 Februari 1948, yang menandai terbentuknya Federasi Malaya menjadi awal dari serangkaian pemberontakan etnis melayu yang berpaham komunis. Dilatih oleh Inggris dalam Perang Dunia II untuk menghadapi Jepang, mereka akhirnya tergabung dalam MNLA (Malaya National Liberation Army), dan justru bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan mantan pelatihnya. Ketika pada tahun 1948, MNLA bertindak di luar batas dengan membunuh tiga administrator perkebunan karet, yang ketiganya merupakan warga negara Inggris, genderang perang pun ditabuh. Inggris mengirimkan kontingen pasukannya di bawah komando Field Marshal Sir Gerard Templer, termasuk pasukan Gurkha, yang dikirim ke Malaysia untuk meredam pemberontakan yang dikenal dengan; Malaya Emergency.
Pasukan dari 2-9th Gurkha Rifles di Malaya


Pasukan Gurkha pun dimekarkan, ditandai dengan pembentukan 17th Gurkha Infantry Division dan 17th Gurkha Division Signal Regiment secara bertahap. Inggris merancang operasinya dengan dua wajah berbeda; pada rakyat sipil yang tersebar di berbagai daerah, Inggris melancarkan kampanye hearts and minds dalam bentuk pengobatan gratis, penyuluhan pertanian, dan pengamanan perkampungan- melakukan pendekatan pada rakyat agar mereka terpisahkan dari pemberontak komunis yang hendak diperangi. Pada para komunis, Inggris tanpa kenal ampun melancarkan patroli-patroli hunter and killer dengan panduan pencari jejak (tracker) dari suku Dayak Iban dan Gurkha. Keduanya memiliki kesamaan, kebanggaan tempur dengan memenggal dan mengoleksi kepala lawan sebagai bukti kemenangan mereka. Paduan dari dua operasi tersebut sesungguhnya merupakan inti dari peperangan kontra-gerilya (counter-insurgency), yang kelak dimanfaatkan untuk mengalahkan Indonesia dalam permainannya sendiri saat konflik Indonesia-Malaysia.

 
Perdana Menteri Federasi Malaysia, Tunku Abdul Rahman



KONFRONTASI
Pada 27 Mei 1961, Inggris dan Perdana Menteri Federasi Malaysia, Tunku Abdul Rahman, mengadakan pembicaraan mengenai pembentukan Malaysia yang mencakup; Malaya, Sabah, Sarawak, Brunei dan Singapura. Awalnya, Presiden Soekarno melalui Menteri Luar Negeri Subandrio menyatakan bahwa Indonesia tidak keberatan dengan rencana pembentukan negara Malaysia. Namun peristiwa pada 8 Desember 1962 mengubah segalanya. Seorang politisi kiri, Dr.AM Azahari bin Sheikh Makhmud melancarkan pemberontakan di Brunei dengan payung TNKU (Tentara Nasional Kalimantan Utara). Dengan kekuatan mereka yang berjumlah 4.000 orang, namun dengan persenjataan yang minim. Ia melancarkan kampanye untuk menangkap Sultan Brunei dan ekspatriat Inggris yang bekerja sebagai konsultan perusahaan minyak. Untuk mencegah keadaan semakin memburuk, Inggris mengirimkan 1st Battalion, 2nd King Edward VIII Own Gurkha Rifles. Mereka dikumpulkan pada 7 Desember, pukul 7 malam, para prajurit Gurkha sudah mendarat dengan helikopter pada pagi harinya di Bandar Seri Begawan. Mereka berbaris rapi dengan menghunus pisau Khukri mereka. Konon, begitu mendengar kedatangan tentara Gurkha, para pemberontak pun lari terbirit-birit
Biarpun Brunei dapat diselamatkan, Kiprah Gurkha tak lantas berhenti di sini. Dr. Azahari yang lari masih belum kapok. Ia malah pergi ke Indonesia dan minta bantuan Subandrio. Subandrio yang melihat kesempatan untuk lepas dari bayang-bayang Angkatan Darat yang semakin besar pengaruhnya setelah keberhasilan Trikora, mendukung gerakan Azahari. Azahari diberi fasilitas untuk menyusun kabinet TNKU di Kalimantan, dan puncaknya terjadi pada 20 Januari 1963, yaitu saat Subandrio mendeklarasikan bahwa Indonesia akan menempuh jalur militer dengan Malaysia. Ditambah lagi PKI yang terus memberontak, api dalam sekam akhirnya terbakar jua ketika Negara Federasi Malaysia berdiri pada 13 September 1963, sebelum diumumkannya hasil investigasi PBB. Presiden Soekarno akhirnya memakan umpan konfrontasi tersebut, dengan melancarkan kampanye Dwikora pada 3 Mei 1964- yang bertujuan untuk mengganyang Malaysia yang telah menjadi boneka Inggris. Dwikora seakan menjadi pengesahan bagi ribuan sukarelawan Indonesia yang disusupkan ke perbatasan, untuk melakukan aksi sabotase dan pembunuhan terhadap para tentara dan polisi Malaysia.
Pendaratan Pasukan SAS British yang baru saja tiba di Borneo, Kalimantan

Inggris tentu tidak tinggal diam melihat wilayah persemakmurannya dirongrong begitu saja. Inggris lalu mengirimkan pasukan terbaiknya, RM Commando dan 22 SAS untuk melakukan operasi kontra-insurjen ke wilayah perbatasan Malaysia-Indonesia, dan tentu saja Gurkha sebagai pasukan infantri utama Inggris di Borneo. Pengiriman Gurkha sebagai line infantry bukan tanpa alasan. Gara-gara Sandys Defense Whire Paper 1957 yang menekankan pada kemampuan detterent nuklir, Inggris menciutkan kekuatan militernya, terutama untuk memotong anggaran besar pasca PD II. Di tahun 1960, AD Inggris hanya mempunyai 60 batalion tempur, dimana 20 batalion dikirim ke Timur Tengah dan 24 lainnya ditempatkan di Eropa untuk membendung invasi Soviet yang ternyata tak pernah terwujud, dan sisanya lagi ada di Inggris. Sejarah kemudian membuktikan, bahwa tahun 1960-an diwarnai oleh perang berskala kecil, dan Inggris nyata-nyata tak siap sehingga membesarkan kekuatan tentara Gurkha sampai ke tingkat Divisi.
Pasukan Inggris- RM (Royal Marines) Commando, yang ditugaskan untuk menumpas Tentara Indonesia


Kontingen Gurkha di Borneo dipimpin oleh Mayor Jenderal Walter Walker, GOC (General of ficer Commanding) 17th Gurkha Division yang juga bertindak sebagai Direktur Operasi (DOBOPS= Director of British Operation) Inggris di Borneo. Empat Resimen Gurkha akhirnya diluncurkan, antara lain 2nd, 6th, 7th, dan 10th Gurkha, ditambah lagi dengan Gurkha Signal, Gurkha Artillery, dan Gurkha Engineer yang dibentuk belakangan. Pasukan tiba di Borneo pada Desember 1962 dan langsung diterjunkan untuk melancarkan operasi dalam menghadapi infiltran Indonesia. Dalam melaksanakan operasi, Mayjend Walter Walker menggariskan enam butir aturan dasar yaitu operasi gabungan antara polisi dan tiga cabang Angkatan Bersenjata (AD, AL, dan AU), Informasi intelijen yang tepat dan akurat, kecepatan, mobilitas, dan fleksibilitas, pengamanan markas, dominasi atas hutan rimba, serta memenangkan kepercayaan penduduk pribumi. Diterjunkan dalam sebuah tempur, Gurkha dengan cepat membuktikan kemampuan mereka. Pada 18 Mei 1963, Pasukan 27th Gurkha Rifles berhasil menewaskan Yassin Efendi, pemimpin pemberontakan TNKU melalui penyergapan di Kampong Sendang, di muara rawa-rawa sungai Brunei.

Para personel RPKAD Indonesia- yang diterjunkan dalam
Konfrontasi Malaya


Dalam pertempuran berikutnya yang melibatkan Gurkha, sukarelawan Indonesia melakukan infiltrasi jauh ke dalam Sarawak. Pada 28 September 1963, Infiltran Indonesia menyerang Pos aju di Long Jawai yang dijaga enam pasukan Gurkha dari 1/2nd Gurkha Rifles, tiga polisi, dan 21 Dayak Iban. Pasukan Gurkha terpaksa meninggalkan pos mereka setelah dihujani mortir 60mm dan senapan mesin otomatis, namun CO 1/2nd Gurkha Rifles, Letkol Clements, MC, memerintahkan pengejaran menggunakan helikopter Westland Wessex milik 845 Naval Air Squadron Fleet Air Arms.
Operasi pengejaran segera dilakukan dengan lingkaran patroli yang semakin mengecil. Akhirnya pada 1 Oktober para prajurit Gurkha mendapatkan sasaran mereka, yaitu satu regu sukarelawan yang dipimpin oleh Lt. Pashbandur- sedang mengintai di tepian sungai dan mendapati dua long boat berisi orang-orang berseragam TNKU. Dengan segera, satu lonf boat itu dihiasi lubang-lubang dari terjangan peluru L1A1 SLR yang ditembakkan pasukan Gurkha, sampai kemudian long boat tersebut tenggelam. Meninggalkan 26 mayat sukarelawan Indonesia yang menggambang di sungai yang keruh tersebut. Satu long boat lain berhasil dikejar, didalamnya terdapat Radio komunikasi milik Gurkha yang dirampas dan mortir yang digunakan untuk menyerang di Long Jawai sebelumnya.
Sukses besar KKO dalam melancarkan raid di Kalabakan mengundang kedatangan kompi B dan C dari 1/10th Gurkha yang digeser dari Malaka, yang dipimpin sendiri oleh Letkol Burnett. Semakin ahli dalam operasi pengejaran, Gurkha pun dikerahkan untuk mengevakuasi seluruh penduduk dusun dan kampung yang ada disekitar Tawau, serta menghentikan layanan bus umum yang digantikan oleh truk militer. Hasilnya segera tampak, sampai dengan 17 Januari 1964. 15 Sukarelawan berhasil dibunuh dan enam prajurit KKO berhasil ditawan. Dan pada akhir Februari, 96 sukarelawan berhasil dibunuh atau ditangkap, dan 21 KKO ditawan atau gugur.
Satu Prajurit KKO Indonesia yang berhasil ditangkap pasukan Gurkha

No comments:

Post a Comment