Jepang- Sejumlah peneliti dan ilmuwan melakukan sejumlah riset rahasia
Ketika Perang Dunia
pertama berakhir pada tahun 1918, negara-negara yang semula terlibat
perang dan berada di pihak yang kalah seperti negara Jerman dan
Jepang, merasa menjadi korban yang paling dirugikan. Perasaan kalah
itu jelas menimbulkan rasa malu dan sekaligus memunculkan ambisi
untuk balas dendam. Layaknya orang yang ingin balas dendam, segala
macam cara pun ditempuh meski cara tersebut bertentangan dengan rasa
prikemanusiaan. Jalan pintas yang bertentangan dengan konvensi Jenewa
pun dilanggar karena militer Jepang kemudian secara diam-diam
mengembangkan senjata kuman dan menggunakannya di medan perang.
Pasca PD 1, Jepang
langsung mengalami keterpurukan ekonomi dan untuk bangkit dari
keterpurukan itu, hanya ada satu cara yang bisa ditempuh, mengobarkan
kembali semangat Bushido (Samurai). Semangat Bushido yang bisa teruji
lewat peperangan mau tak mau mengkondisikan Jepang menegakkan pilar
militer dan dilanjutkan dengan ekspansi militer ke wilayah-wilayah
terdekat. Hanya dengan cara itu perasaan inferior dan balas dendam
akibat kalah perang bisa terobati. Keinginan balas dendam itu
kemudian membuat baik Jepang maupun Jerman berubah menjadi negara
militeristik dan siap mencaplok negara-negara tetangga.
Jepang yang faktanya
minim sumber daya alam mengalami banyak kesulitan ketika industri
militer dan kebutuhan perekonomian nya sangat tergantung dari luar.
Selain minim sumber daya alam, jumlah personel militer Jepang juga
tidak besar sehingga ketika Jepang kemudian melakukan ekspansi,
wilayah kekuasaanya pasti akan mengalami kesulitan untuk mengontrol
setiap wilayah yang diduduki. Untuk menguasai wilayah jajahannya
militer Jepang selalu menerapkan disiplin dan kebrutalan. Tindakan
brutal diperlukan karena jumlah personel militer Jepang yang sedikit
itu, harus mengontrol wilayah yang luas. Dengan tindakan brutal,
diharapkan negara yang dijajah enggan untuk melakukan perlawanan.
Tapi aksi kebrutalan itu dirasa tidak cukup karena hanya mampu
memberikan efek jera dalam jangka pendek. Maka untuk menghemat tenaga
dan mengelola wilayah jajahan dalam jangka panjang secara efektif,
mulai lah muncul pemikiran ekstrem dari sejumlah tokoh militer
Jepang. Salah satu solusi yang kemudian muncul tidak hanya
mencerminkan kebrutalan tentara Jepang tapi senjata pemusnah massal
yang dioperasikan tanpa perikemanusiaan. Sumber daya personel militer
yang terbatas itu harus digantikan dengan senjata yang efektif untuk
membunuh, yaitu senjata biologis.
PIONIR UNIT 731
Beberapa peneliti dan ilmuwan melakukan uji coba terhadap tubuh manusia
Salah satu tokoh pioner
Jepang yang kemudian ditugaskan untuk mendalami senjata biologis
adalah Mayor Terunobu Hasebe bersama 40 ilmuwan lainnya. Tapi setelah
setelah sekian tahun memimpin tim pembuat senjata kuman itu,
perkembangan dari penelitian tim Hasebe belum menunjukkan hasil yang
memuaskan sampai kemudian muncul seorang ilmuwan maniak Jepang, Ishii
Shiro. Sebagai seorang dokter pendiam yang gemar meneliti organ tubuh
manusia sekaligus perkembangan kuman, Shiro yang kerap membayangkan
eksperimen manusia hidup merasa menemukan jalan terang.
Maka tidak aneh, Shiro
yang lulus dari Kyoto University pada tahun 1920 itu memanfaatkan
betul peluangnya sewaktu mendapat tawaran untuk mengembangkan
kemampuan ilmunya untuk Angkatan Darat Jepang. Setelah sekitar 4
tahun bekerja untuk AD Jepang, sebagai seorang peneliti senjata
biologis kemampuan Shiro dibidang ilmu bakteri ternyata sangat
menonjol. Kecerdasan Shiro itu membuat AD Jepang terkagum-kagum
dengan beliau sehingga memerintahkannya untuk mendalami ilmu
bakteriologi di Kyoto University. Tahun 1927, Shiro yang memang
cerdas dalam bidang tersebut berhasil meraih gelar Doktor (Phd)
sekaligus menikahi puteri dari Torasaburo Akira yang saat itu
menjabat sebagai rektor Universitas Kyoto. Tak lama kemudian Shiro
yang berpangkat Kapten telah memiliki berbagai konsep temuan senjata
biologis, kembali bergabung dengan militer Jepang. Kebetulan militer
Jepang pada saat itu sudah bangkit kembali dan sedang
semangat-semangatnya untuk menguasai negara-negara tetangga, Cina dan
negara-negara lainnya di wilayah Asia Timur.
Demi kepentingan militer
Jepang dan sekaligus melaksanakan misi mata-mata, Shiro kemudian
diberi kesempatan untuk bertandang ke Eropa dan AS. Tujuan utama
Shiro dan tim nya adalah mempelajari proyek pembuatan senjata
biologis yang sedang dikembangkan Amerika Serikat, khususnya cara
membuat hujan beracun, dan hujan kuning. Agar misi ini tidak
menimbulkan kecurigaan, militer Jepang menyamarkan tugas rahasia
Shiro dan timnya sebagai atase militer. Hanya butuh waktu 2 tahun
bagi Shiro untuk malang-melintang di negara-negara Eropa dan AS.
Mempelajari dan sekaligus menyerap program pengembangan senjata
biologis. Sekembalinya dari Eropa dan AS, misi Shiro dan timnya yang
dinilai sukses oleh militer Jepang tidak hanya membuat pangkatnya
naik menjadi Mayor, tapi Shiro juga diberi keleluasaan untuk segera
membangun industri senjata biologis.
Upaya Shiro untuk
mendirikan industri senjata biologis ternyata mendapat tanggapan
positif dari militer Jepang. Secara kebetulan tak lama setelah Shiro
pulang dari Eropa, di kota Shikoku muncul wabah radang meningitis.
Shiro pun membuktikan keahliannya meredam wabah meningitis dengan
membangun wahana penjernihan air. Berkat keberhasilannya membereskan
wabah secara efektif itu, nama Shiro semakin populer sebagai pakar
bakteriologi, khususnya di kalangan militer Jepang. Jalan untuk
menjadi peneliti dengan objek eksperiman berupa manusia hidup pun
makin terbuka lebar.
MANCHURIA CAMPAIGN
Ambisi militer Jepang
untuk menguasai negara tetangga dimulai dengan menyerbu Manchuria,
Cina, pada akhir tahun 1931. Serbuan yang dilancarkan oleh pasukan
Kekaisaran Dai Nippon, Kwantung Army dan dipimpin oleh Kepala Staf
Kwantung Army, Jenderal Shigeru Honjo. Tidak hanya menguasai wilayah
perbatasan, namun juga langsung meluas ke wilayah pedalaman Cina.
Setelah sukses menguasai Cina, Jepang bahkan menguasai wilayah
Indo-Cina yang saat itu menjadi wilayah jajahan Perancis, dan
kemudian menguasai wilayah Korea. Akibat pendudukan wilayah jajahan
itu, Jepang tidak hanya mendapat sumber daya alam tetapi juga
mendapatkan ratusan ribu tawanan perang dan tenaga pekerja paksa yang
berjumlah 4 juta jiwa.
Serbuan Pasukan Jepang ke
Manchuria dan kawasan Indo-Cina segera memicu protes Internasional
yang kemudian menjadi cikal-bakal meletusnya perang dunia ke-2 karena
Jepang kemudian meluaskan kampanye militernya ke kawasan Asia Timur.
Demi menghadapi ekspansi militer yang semakin meluas itulah, program
senjata biologis Jepang mulai diwujudkan pada tahun 1932. Program
pengembangan senjata kuman yang dipimpin langsung oleh Ishii Shiro
bersama 10 ilmuwan lainnya itu bernama Laboraturium Pencegahan
Epidemik dan berlokasi secara rahasia di sekolah medis militer Tokyo
serta satu unit lain yang berada di desa terpencil Beinho, Harbin,
Cina. Setelah program pengembangan senjata kuman berjalan, Shiro
mulai tak sabar untuk mempraktekkannya secara langsung, dengan
pengujian terhadap manusia hidup. Tapi jelas, tidak mungkin untuk
menggunakan warga Jepang untuk melakukan eksperimen tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan
wahana praktek berupa manusia, pada Agustus 1932 Shiro dan tim nya
berkunjung ke Manchuria. Setelah kunjungan yang bersifat studi
banding itu, lokasi pabrik senjata kuman di Harbin akan dijadikan
sebagai pusat pengembangan dan penelitian. Sementara untuk uji coba
untuk manusia akan dibangun kamp rahasia di sepanjang sungai Pelvin,
yang berjarak sekitar 20km dari Harbin. Agar tidak mengundang
kecurigaan warga di sekitar lokasi, Shiro sengaja menyamarkan pabrik
senjata kuman dan lokasi uji coba nya sebagai Kamo Unit atau
Kadang-kadang Togo Unit. Setelah kedua fasilitas yang nantinya akan
menjadi neraka bagi para tawanan Jepang itu didirikan, Shiro yang
mendapat banyak sekali dukungan dari kalangan pejabat tinggi militer
Jepang itu, kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel.
Anggaran untuk Kamo Unit pun dinaikkan secara drastis, menjadi
200,000 Yen per-tahun nya.
Di bawah Shiro yang
sangat ambisius dan berdarah dingin, program pengembangan senjata
biologis di Kamo Unit berkembang pesat. Kaisar Hiroshito pun turut
mendukung program pengembangan senjata biologis yang dipimpin Shiro
dan memerintahkan untuk membangun dua unit lainnya. Hiroshito turut
antusias karena menurut pemahamannya secara pribadi, program
pengembangan senjata biologis akan mendukung tingkat kesehatan bagi
warganya dan bukan digunakan untuk berperang. Unit pertama yang
kemudian dibangun kemudian disamarkan sebagai wahana pencegahan
penyakit dan pemurnian air untuk kepentingan militer, Epidemic
Prevention and Water Purification Department of the Kuantung Army
yang pada awal PD II namanya diubah menjadi Unit 731.
MENYERANG AMERIKA SERIKAT
Protes yang dilontarkan
AS kepada Jepang terkait masalah penggunaan senjata biologis ternyata
sama sekali tidak digubris oleh Jepang. Pasukan Jepang yang merasa
kewalahan ketika Pasukan AS akhirnya diterjunkan di PD II justru
membuat Jepang berencana melancarkan serangan senjata biologis,
dengan sasaran tepat ke daratan Amerika Serikat. Peralatan untuk
melancarkan serangan senjata biologis bahkan sudah dibuat seperti
ribuan balon berisi senjata kuman yang langsung dijatuhkan di atas
udara kota San Diego, Amerika Serikat. Menurut para petinggi militer
Jepang, balon yang akan diterbangkan ke AS memuat peranti untuk
perang biologis dan dapat memunculkan wabah anthrax di seluruh
wilayah Amerika Serikat. Sesuai rencana, balon terbang yang berisi
senjata biologis itu dijatuhkan di wilayah pertanian dan peternakan
dan wilayah-wilayah AS yang menjadi target utama serangan. Wilayah
yang membentang di sepanjang Oregon hingga Michigan. Namun dalam uji
coba nya, serangan tersebut sempat membunuh 7 orang warga negara AS,
dan ternyata kurang efektif sehingga pelaksanaan nya ditunda.
Sementara serangan bom
kuman yang diangkut pesawat kamikaze terlebih dahulu dikapalkan
menggunakan kapal selam pengangkut pesawat. Ketika perjalanan kapal
selam sudah mendekati pantai AS, kapal selam muncul untuk
menerbangkan pesawat pengangkut bom kuman, khususnya bakteri pes yang
akan dijatuhkan di kawasan California. Serangan menggunakan kapal
selam pengangkut pesawat itu sebenarnya sempat digelar oleh unit 731
dalam operasi rahasia bersandi 'Cherry Blossoms at Night' dengan
target wilayah California Selatan dan San Diego. Namun ketika kapal
selam sedang berlayar menuju AS, PD II ternyata telah berakhir.
Para awak kapal sendiri
mendengar tentang momen penyerahan Jepang kepada sekutu melalui
radio. Semula para awak kapal selam tidak percaya dan menganggap
penyerahan tersebut hanyalah propaganda semata yang dilancarkan AS.
Namun ketika pengumuman penyerahan Jepang kepada sekutu dibacakan
langsung oleh Kaisar Hirohito, komandan kapal selam lalu
memerintahkan untuk membatalkan operasi tersebut lalu kembali ke
Jepang. Kapal selam tersebut kemudian berhasil dipergoki oleh patroli
kapal perang AS dan selanjutnya diamankan di pangkalan Angkatan Laut
Amerika yang berada di Yokohama, Jepang. Namun yang belum diketahui
oleh Amerika adalah, ketika pasukan Jepang ditarik mundur dari Cina,
unit 731 sempat melepaskan hewan-hewan yang pernah dijadikan kelinci
percobaan dari eksperimen senjata biologis di sekitar wilayah Harbin.
Akibat wabah berbagai penyakit yang menyebar dari tahun 1946 hingga
1948 itu, sebanyak 30,000 orang tewas. Wabah penyakit menular itu
bahkan sempat meluas dan menyebar hingga ke wilayah Soviet.
Menyadari bahwa ancaman
senjata biologis yang dimiliki Jepang demikian berbahayanya, maka
sewaktu pasukan AS memutuskan mendarat di Jepang usai penyerahan diri
Jepang, AS jadi bersikap sangat hati-hati. Satu minggu setelah Jepang
menyerah kepada sekutu, unit Pasukan AS yang mendarat pertama kali di
Jepang adalah unit yang dipimpin oleh Kolonel Sanders dan misi utama
nya adalah melokalisasi pabrik pembuatan dan pengembangan senjata
kuman. AS lalu menemukan Ishii Shiro yang pada akhir PD II telah
berpangkat Letnan Jenderal. Sejumlah pejabat tinggi yang pernah
bertugas dalam unit 731 lalu diinterogasi oleh Kolonel Sanders, namun
Shiro sendiri tidak berada di dalam rombongan para petinggi militer
dan ilmuwan Jepang yang ditawan AS. Kolonel Sanders sebetulnya kurang
optimis dapat menemukan Shiro, mengingat banyak pejabat tinggi
militer Jepang cenderung lebih memilih bunuh diri daripada ditangkap
musuh hidup-hidup.
Kolonel Sanders lalu
menemui Jenderal Douglas MacArthur yang saat itu menjabat sebagai
penguasa militer untuk seluruh wilayah Jepang. Ketika Kolonel Sanders
mengutarakan niatnya bahwa seluruh petinggi unit 731 akan bekerjasama
dalam pengembangan senjata biologis asalkan tidak dikenai tuduhan
sebagai penjahat perang dan dibebaskan dari pengadilan militer,
ternyata Jenderal MacArthur setuju. Pada bulan September, Kolonel
Sanders berhasil mengumpulkan para petinggi militer yang terlibat di
dalam unit 731. semua personil unit 731 kemudian diamankan untuk
kepetingan penyelidikan lebih lanjut. Setelah kurang lebih 10 minggu
bertugas di Jepang dalam rangka membungkam informasi terkait unit
731, MacArthur lalu cepat-cepat memulangkan Kolonel Sanders ke
Amerika. Sedangkan perwira AS yang kemudian menggantikan Kolonel
Sanders untuk menyelidiki unit 731 adalah Letkol Arvo T. Thompson
agar mem-fokuskan perhatiannya pada bom anthrax dan uji cobanya yang
dilakukan terhadap manusia.
makasih, infonya sungguh jelas sekali ..
ReplyDeletedan sungguh sangat syok bacanya
Terimakasih. Selain Nazi, memang unit 731 adalah proyek yang kejam dan mengabaikan sisi kemanusiaan. terima kasih kunjungannya
DeleteSelanjutnya dipelajari Amerika "OMG".
ReplyDelete