.do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none; }

Thursday 28 February 2013

MONOPOLI GARUDA DAN MERPATI



Era Tahun 1950-1968





Garuda Indonesian Airways (GIA), yang lahir dari hasil perjuangan selama revolusi fisik menjadi sebuah maskapai flag carrier yang mendominasi sejarah penerbangan sipil sekaligus mendominasi bisnis penerbangan komersil pada awal-awal perkembangan republik ini. Selain itu, peran Merpati Nusantara juga tak kalah penting dengan GIA. Karena maskapai yang satu ini menjadi pionir bagi penerbangan perintis, membuka keterisolasian daerah-daerah terpencil di Nusantara.

Penerbangan 2 unit pesawat C-47 Dakota dari Maguwo ke Kemayoran itu menjadi sebuah peristiwa yang biasa saja dan terlupakan jika tidak melihat tanggal dan penumpang yang dibawanya. Pagi itu tanggal 28 Desember 1949- hanya berselang sehari setelah pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI oleh Belanda lewat perundingan KMB. Presiden Soekarno, Ibu Fatmawati, beserta seluruh jajaran bertolak dari ibukota perjuangan Yogyakarta menuju ibukota negara Jakarta.



 Rute Penerbangan KNILM





Soekarno menolak terbang dengan Dakota KLM-IIB (Inter Insulair Bedrijf) jika belum dicat ulang menjadi pesawat milik Indonesia. Dan kalau ditelusuri lebih lanjut, KLM-IIB adalah maskapai yang masih ada hubungannya dengan Belanda- KNILM. Meskipun sudah tamat, namun banyak dari mantan pegawainya berusaha menghidupkan kembali kejayaan KNILM. Setelah Jepang menyerah, mereka datang kembali ke Hindia Belanda namun dengan kondisi yang berbeda karena rakyatnya telah menyatakan kemerdekaannya lewat proklamasi bersejarah tertanggal 17 Agustus 1945. Mantan pegawai KNILM itu datang sebagai personel Skuadron Angkut 19 AU Australia dengan membonceng pasukan sekutu yang ingin melucuti tentara Jepang. Dengan pendudukan kembali kota-kota besar seperti Batavia, Surabaya, Semarang, dan Balikpapan, mereka mulai melakukan penerbangan reguler. Perusahaan penerbangan segera dibentuk yang dinamakan; Netherlandsh Indies Government Air Transport (NIGAT).


Salah satu prestasi besar NIGAT adalah membuka penerbangan jarak jauh Batavia – Los Angeles, yang dilakukan bulan November 1946 dengan pesawat Douglas DC-4. Sayangnya akibat kondisi politik, menyebabkan NIGAT gagal menjadi “KNILM kedua” dan menyerahkan bisnis penerbangannya kepada KLM pada tanggal 1 Agustus 1947. Perusahaan itu diberikan nama baru KLM- Interinsulair Bedriff, yang dipimpin oleh Th. J. de Bruijn (Mantan Kepala Administrasi KNILM).

Lewat KMB dan atas desakan PBB, Belanda harus menghentikan konflik dan mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam butir-butir perundingan itu, Belanda wajib menyerahkan seluruh kekayaan Hindia Belanda berupa tambang, perkebunan, pabrik, dan perusahaan transportasi udara termasuk KLM-IIB.


 Royal Netherlands Indian Airways





TANTANGAN GIA

Modal yang begitu besar harus dikelola secara profesional. Sayangnya pihak Indonesia belum memiliki tenaga profesional yang memadai. Hanya ada pegawai administrasi, pramugari/pramugara, dan teknisi pesawat dengan jumlah yang sedikit, bahkan tidak memiliki satupun penerbang (pilot). Untuk sementara, seluruh mantan pegawai KLM-IIB baik darat maupun kru pesawat diperbantukan untuk GIA yang tergabung dalam Assistentie Group KLM. Diperkirakan butuh sepuluh tahun sampai GIA benar-benar mandiri.

Untuk mendidik penerbang, GIA dibantu Direktorat Kementerian Perhubungan mengirim pemuda-pemuda Indonesia belajar ke sekolah penerbangan di luar negeri, yaitu di Hamble, Inggris, dan Ypenburg, Belanda. Sedangkan untuk pendidikan awak kabin dipercayakan kepada Bagian Urusan Pendidikan yang berada dibawah Departemen Personalia GIA. API (Akademi Penerbangan Indonesia) yang mulai didirikan tahun 1953 secara bertahap mulai menghasilkan penerbang, teknisi pesawat, dan petugas lalu lintas udara sehingga tidak tergantung dari pendidikan penerbang di luar negeri.

Pada tahun 1954, GIA yang saat itu dipimpin oleh Dirut Ir. Soetoto mulai berkembang mantap. Apalagi GIA telah mengangkat penerbang berkualifikasi Captain berlatar belakang AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia). Dan diikuti setahun kemudian, dari lulusan Hamble dan Ypenburg- sehingga total ada sebelas Captain yang dimiliki GIA pada penghujung periode 1954-1957. Armada GIA juga berkembang. Setelah mempensiunkan dini seluruh armada Catalina, GIA membeli pesawat pertamanya. 8 unit pesawat Convair 240 (1950) diikuti de Havilland DH. 104 Heron (1954) sebanyak 14 unit, dan ditambah lagi dengan pembelian 8 unit Convair 340 (1954).

Selain bertugas melayani rute-rute domestik. GIA juga melebarkan sayap mereka dengan membuka rute penerbangan ke Singapura, Manila, dan Bangkok. GIA juga melakukan layanan khusus penerbangan haji, mengantar kontingen Olimpiade Melbourne, dan penerbangan Kepresidenan dengan pesawat Dakota dan Convairliner.

Tapi GIA mendapat tantangan baru saat perubahan politik di Indonesia dengan menasionalisasi seluruh perusahaan yang sahamnya dimiliki orang Belanda- termasuk GIA – sebagai buntut berlarut-larutnya konflik Irian Barat. Pada tahun 1957 Assistentie Group KLM hengkang dan membuat GIA- yang telah menjadi Perseroan Negara (PN) GIA, dipaksa harus mandiri sebelum waktunya. Meskipun demikian seluruh karyawannya baik darat maupun udara bertekad terus memajukan GIA menjadi armada penerbangan yang mandiri.






LAHIRNYA MERPATI



di sela-sela tugasnya melayani penerbangan, GIA juga melakukan kewajibannya sebagai alat Pertahanan dan Keamanan sebagai Wing Garuda. Tugas sebagai Skuadron Angkut Cadangan Wing Garuda dimulai saat pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta dan diikuti oleh Kampanye Trikora.

Setelah era Trikora berakhir, personel Wing Garuda mendapatkan tugas untuk mengambil alih maskapai Belanda yang beroperasi di Papua, New Guinea Luchtvaart Maatschapij (NNGLM). Dengan armada yang terdiri dari de Havilland, Beaver Sea plane, Twin Pioneer, dan DC-3 Dakota, GIA memiliki maskapai yang melayani rute penerbangan perintis di Papua dengan nama Garuda Irian Barat pada tahun 1963. Pusat operasi (Hub)-nya berada di Biak-Mokmer.

Setahun sebelumnya pada tanggal 6 September, berdirilah maskapai perintis PN. Yakni Merpati Nusantara dengan pusat operasinya berada di Kemayoran. Ini merupakan wujud realisasi dari usaha membuka keterisolasian wilayah Kalimantan yang telah dirintis AURI sejak tahun 1957. Tidak mengherankan Direktur Utama Merpati berlatar belakang AURI, yakni Komodor Udara Sutojo Adiputro dengan modal armada pesawat bekas pakai AURI yaitu 4 unit de Havilland Otter dan 2 unit Dakota.

Akibat dari embargo negara Barat saat kampanye Dwikora membuat seluruh armada Otter milik Merpati tidak bisa diterbangkan lagi. 2 unit Dakota yang tersisa tinggal menunggu waktu saja seperti nasib Otter. Kekurangan armada dan mis-manajemen membuat Merpati terpuruk pada awal-awal masa perkembangannya.

Tapi ini hanya berlangsung sementara, karena GIA memutuskan untuk menutup dan menyerahkan seluruh aset dan armada Garuda Irian Barat kepada Merpati pada tahun 1964. Setahun kemudian armada Merpati bertambah dengan kehadiran 3 unit Dornier Do-28 dan 6 unit Pilatus Porter PC-6. Pada tahun 1966-1967, karena ditarik kembali ke AURI, Sutojo menyerahkan kepemimpinan Merpati kepada Captain RB Wibisono. Pada saat itu pula Merpati membeli tambahan Pilatus Porter dan memperoleh bantuan dari PBB berupa 3 unit de Havilland DHC-6 Twin Otter. Total ada 20 unit pesawat untuk melayani rute Merpati yang meliputi Jawa, Sumatera Selatan, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua.



PERIODE MONOPOLI
Periode tahun 1950-1968 dapat disebut sebagai sebuah periode monopoli yang dilakukan maskapai GIA dan Merpati. Tapi roda zaman kembali berputar, Orde Lama tumbang digantikan dengan Orde Baru. Senasib dengan PN lainnya, jika Pemerintah goyah maka goyah pula kondisi keuangannya. Sama seperti yang terjadi pada GIA dan Merpati Nusantara.

Selain menghadapi masalah krisis keuangan, kedua maskapai penerbangan ini juga tidak bisa lagi menikmati periode manis era monopoli. Sekaligus mereka menghadapi tantangan baru menghadapi maraknya kehadiran maskapai-maskapai domestik baru lainnya yang baru saja berdiri. Karena Orde Baru membuka izin untuk mendirikan maskapai-maskapai kepada pihak swasta lewat kebijakan Multi Airlines System pada tahun 1968.









Disadur dari Majalah Angkasa Edisi Koleksi- Sejarah Penerbangan Indonesia. Edisi Koleksi No.81 Tahun 2012


No comments:

Post a Comment