Perang Enam Hari (Perang Arab-Israel 1967)
Peristiwa
yang kemudian dikenal dalam sejarah sebagai Perang Enam Hari (Sixth
Day War) dimulai pada waktu fajar hari senin, 5 Juni 1967. Perang
tersebut boleh dikatakan telah dimenangkan Israel sebelum tengah hari
itu. Namun sebelum perang itu berakhir enam hari kemudian, telah
berlangsung suatu pertempuran yang sangat sengit dan ribuan nyawa
manusia melayang.
Sebagai
sebuah negara yang kecil wilayahnya pada saat itu, Israel, akan
mengalami kesulitan besar dalam mempertahankan diri jika diserang.
Mempertahankan diri terhadap suatu serangan dari udara sangat sulit,
karena negeri itu terlalu kecil sehingga suatu sistem peringatan dini
tidak akan memberikan cukup waktu bagi pesawat-pesawat pembom IAF
(Israeli Air Force) untuk lepas landas. Penerbangan ke Kairo dari Tel
Aviv membutuhkan waktu 25 menit, tetapi Tel Aviv dapat dijangkau dari
pangkalan udara terdepan Mesir di El Arish hanya dalam waktu empat
setengah menit. Meriam-meriam penangkis serangan udara tidak akan
efektif digunakan untuk menghadapi pesawat pembom jet yang terbang
tinggi dan cepat yang menyasar kawasan berpenduduk, sementara Israel
hanya memiliki sedikit rudal anti-pesawat terbang yang digunakan
secara terbatas untuk melindungi Tel Aviv dan instalasi nuklirnya di
Negev.
Karena
alasan tersebut maka IAF telah dilatih dan disiapkan untuk suatu
peranan ofensif yang ditujukan untuk meluluhlantahkan Angkatan Udara
musuh. Di wilayah Negrev yang tidak berpenghuni, para pilot Israel
berlatih terbang rendah, melakukan pemboman presisi dan menembaki
model sasaran-sasaran darat yang dibuat mirip dengan
lapangan-lapangan terbang Mesir. Pada saat bersamaan, para awak darat
berlatih untuk melakukan pengisian ulang bahan bakar, memperbaiki,
dan mempersiapkan pesawat lepas landas lagi dengan cepat. Jadi,
ketika hari yang dinanti itu tiba, setiap pilot benar-benar percaya
akan kemampuannya untuk menghancurkan sasaran, sementara semua awak
darat juga menyakini kemampuannya untuk membuat pesawat dapat
dioperasikan sesuai jadwal.
Pukulan
pertama dan sangat menentukan dari Perang Enam Hari adalah Operasi
Moked
(Fokus), serangan udara terhadap 9 lapangan terbang Mesir, yang
dilakukan serentak pada 07.45, Senin 5 Juni 1967. Waktu itu dipilih
karena kewaspadaan Mesir di waktu fajar lemah karena para komandannya
masih belum masuk kantor. Lebih dari itu, para pilot Israel dapat
memiliki waktu tidur malam yang baik dan kabut awal di pagi hari di
delta Nil telah menghilang. Para pilot Israel sendiri juga dibekali
catatan lengkap mengenai dimana instalasi-instalasi radar Mesir
ditempatkan serta analisis mengenai wilayah-wilayah yang tidak
terjangkau oleh kekuatan radar-radar itu.
Serangan
udara dilakukan dengan mengambil jalan memutar untuk menghindari
radar Mesir, dimana pesawat-pesawat IAF terbang lewat laut dan
mendatangi sasarannya dari sebelah barat. Ketika gelombang pertama
pesawat Israel – yang secara keseluruhan berjumlah 183 pesawat –
terbang menuju Mesir, seluruh jajaran pimpinan Angkatan Bersenjata
Mesir, termasuk Marsekal Amir dan Menteri Peperangan Shams el-Din
Badran, juga sedang berada di udara dalam perjalanannya untuk
mengunjungi unit-unit Mesir di Sinai. Untuk memastikan keamanan
perjalanan mereka dan mereka tidak ditembaki oleh pasukannya sendiri,
sistem radar di Mesir dimatikan. Episode konyol tetapi tragis ini,
dimana jajaran petinggi militer Mesir sedang terbang, sistem radar
yang dimatikan dan pesawat pemburu-pembom Israel yang sedang dalam
perjalanan menuju sasarannya di Mesir, menyimbolkan ketidakbecusan
komando Mesir sekaligus memperlihatkan bahwa sebagian dari
keberhasilan besar Israel diakibatkan oleh keteledoran, kelengahan,
dan ketidakmampuan para pemimpin politik-militer musuh.
Pesawat penyerang IAF - Mirage, yang dipajang di Museum IAF. Operasi Fokus
adalah operasi yang dilakukan kebanyakan menggunakan pesawat buatan Perancis
Dibawah
payung perlindungan udara dari sekitar 40 pesawat tempur Mirage,
gelombang pertama pesawat Mystere IAF nyaris tidak menemui
perlawanan. Karena perintah yang dikeluarkan berkenaan dengan
keselamatan Amer, para penembak senjata penangkis serangan udara
Mesir menahan tembakan mereka, dan satu-satunya kelompok pesawat
Mesir yang berhasil terbang pada saat serangan awal adalah 4 pesawat
terbang latih tak bersenjata yang segera ditembak jatuh.
Angkatan
Udara Israel mengklaim telah menghancurkan 186 pesawat AU Mesir di
darat selama serangan gelombang pertama. Dalam serangan itu, Israel
sendiri kehilangan 3 pesawat Super Mystere (ketiga pilotnya tewas), 2
pesawat Mystere (seorang pilot ditawan sementara lainnya berhasil
ditolong), 4 Ouragan (dua tewas, satu ditangkap dan sisanya berhasil
diselamatkan), dan sebuah pesawat latih bersenjata Fouga Magister
(pilotnya terbunuh).
Gelombang
kedua serangan IAF dilancarkan pukul 09.00 dan berlangsung hingga
sekitar pukul 12.00. Sekalipun kali ini menghadapi perlawanan
penangkis serangan udara serta hadangan 8 pesawat Mig, pihak Israel
mengklaim berhasil menghancurkan 107 pesawat Mesir lainnya dalam
serangan gelombang kedua itu sementara mereka hanya kehilangan 2
pesawat Mirage. Kemudian, setelah masa jeda yang singkat,
pesawat-pesawat Israel yang sama lepas landas lagi untuk menyerang
lebih lanjut lapangan-lapangan terbang Mesir lainnya. Pesawat
ilyushin yang membawa Marsekal Amir dan Jenderal Sidky harus
berputar-putar di udara selama satu setengah jam sebelum akhirnya
dapat mendarat di Bandara Internasional Kairo.
Pada
hari Senin itu, 17 lapangan terbang besar milik Mesir telah diserang
dan hanya dalam kurun waktu kurang dari 3 jam, sekitar 300 pesawat AU
Mesir dihancurkan. Diantaranya terdapat 30 ilyusin, 70 pesawat
pemburuh MiG-19, pesawat pemburuh-pembom Sukhoi Su-7, 90 pesawat
tempur MiG-21 serta 32 pesawat pengangkut dan helicopter.
Yang
juga mengejutkan pihak Mesir adalah bahwa pesawat-pesawat Israel
malah tahu mengenai mana dari pesawat-pesawat yang masih dipangkalan
itu adalah yang asli dan mana yang palsu. Tidak ada satu bom pun yang
dijatuhkan Israel terhadap pesawat-pesawat palsu itu. Satuan-satuan
lapis baja Israel menemukan pesawat-pesawat palsu tersebut masih utuh
di tengah-tengah pesawat-pesawat asli yang telah dihancurkan ketika
mereka memasuki Sinai beberapa hari kemudian.
AU
Israel juga melumpuhkan lapangan-lapangan terbang Mesir dengan
membomi landasan pacunya. Kebanyakan bom yang dipakai adalah bom
konvensional seberat 100kg, 250kg, dan 500kg, tetapi beberapa bom
yang dijatuhkan di lapangan-lapangan terbang di Barat Terusan Suez
dikembangkan secara rahasia oleh Israel dengan maksud untuk menjebol
permukaan beton landasan pacu yang keras. Bom penugal beton
berparasut ini memiliki bagian depan yang serupa dengan bom tembus
baja, tetapi bagian belakangnya diberi 4 roket penggerak dan 4 roket
penahan. Kedelapan roket itu mengelilingi tabung parasut. Dijatuhkan
dari ketinggian 100 meter, roket penahannya seketika hidup untuk
menghambat kecepatan jatuhnya. Sedetik kemudian parasut mengembang,
membuat posisi badan bom miring 60-80 derajat. Akhirnya 4,7 detik
kemudian roket penggeraknya bekerja, dan bom yang berisi 165kg TNT
ini melesat dengan kecepatan 160 meter per detik, menerobos menghujam
beton landasan pacu dan meledak menimbulkan kerusakan berat.
Pada
hari berikutnya, sekalipun ditembaki sejumlah rudal permukaan-udara
(surface-to-air-missile) SAM-2, pesawat-pesawat Israel yang terbang
begitu rendah dan begitu cepat lolos dari hadangan rudal-rudal
mutakhir buatan Uni Soviet itu dan berhasil menghancurkan 23 stasiun
radar Mesir dan beberapa sarang SAM, 16 diantaranya di Sinai. Pabrik
persenjataan penting Mesir di Helwan, yang lokasinya dianggap sangat
rahasia, juga dihancurkan seluruhnya. Selama bertahan-tahun diketahui
bahwa sebuah tim ilmuwan Jerman dan Eropa Timur – beberapa
diantaranya adalah pelarian Nazi – bekerja disana untuk membuat
rudal yang dengan penuh kebanggaan dipamerkan dalam parade-parade
Hari Revolusi di Kairo.
Selain
menghancurkan sasaran-sasaran Mesir di darat, IAF juga menunjukkan
dominasinya dalam pertempuran udara melawan pesawat tempur Mesir.
Para ahli militer Arab sendiri sudah mengetahui bahwa para pilot IAF
adalah orang-orang terlatih dan berstandar tinggi dalam melakukan
suatu operasi udara. Namun para pilot Arab juga merasa yakin bahwa
orang-orang Israel jauh lebih banyak mengetahui mengenai pesawat MiG
yang digunakan negara-negara Arab dibandingkan mereka sendiri.
Operasi Fokus - pesawat-pesawat Mesir di darat dihancurkan oleh serangan udara Israel
Para
pilot Israel menarik keuntungan dari penampilan MiG yang sedikit
seret dan kecepatannya yang agak rendah. Mereka juga tahu bahwa tidak
seperti Mirage yang bisa melihat ke segala arah, pesawat MiG memiliki
sejumlah kekurangan. Dari beberapa arah tertentu pesawat tidak bisa
melihat si penyerang. Pengetahuan mengenai berbagai kelemahan ini
membantu pilot Israel dalam menyusun siasat perang udara dan
memberikan mereka suatu keuntungan strategi dalam kejar-mengejar
dengan MiG di udara.
Yang
juga tidak kalah pentingnya adalah pengetahuan mengenai MiG yang
menggunakan minyak gas sebagai bahan bakar tambahan pada sistem
pembakarannya. Bahan bakar tambahan ini merupakan suatu unit
tersendiri. Sistem ini memang membuat pesawat memperoleh kecepatan
luar biasa pada saat lepas landas. Namun sistem ini juga berarti
bahwa tangki bahan bakar tambahan yang dipasang di titik pertemuan
antara sayap dan badan pesawat itu sangat mudah terbakar. Pilot
Israel hanya membutuhkan satu kali tembakan saja untuk melihat
pesawat musuhnya terbakar. Seorang pilot Israel bernama Yehuda S
melukiskan apa yang dilihatnya pada peristiwa tersebut: “Saya
merasa kasihan pada pilot itu. Dia tidak memiliki satu peluang pun.”
Pada
tengah hari pertama peperangan, desas-desus bahwa AU mereka telah
berhasil menghancurkan sekitar 200 pesawat Mesir telah beredar di
antara rakyat Israel. Namun tidak ada konfirmasi yang datang dari
pihak pemerintah, dan atas perintah Jenderal Dayan desas-desus itu
sengaja dikecilkan. “Biarkan
saja orang Arab yang mengoceh,”
kata Dayan kepada Juru Bicara Israel. Dia telah memperkirakan bahwa
para Jenderal Nasser pasti enggan memberitahu pemimpin mereka
mengenai kerugian yang diderita oleh Mesir, dan bahwa ketika Nasser
mengetahui besarnya kerugian itu maka dia pasti akan meminta PBB
untuk melakukan intervensi atau memaksakan suatu gencatan untuk
menghindari bencana militer yang lebih besar sehingga mencegah Israel
mengeksploitasi keberhasilan mereka.
Dayan
juga memperhitungkan reaksi Soviet apabila Moskow mengetahui begitu
besarnya kehancuran dari pesawat-pesawat terbang dan peralatan perang
lainnya yang mereka kirimkan ke Mesir. Jadi, hingga fakta-fakta
dibeberkan dalam sebuah konferensi pers Israel yang digelar di hari
kedua (6 Juni), surat-surat kabar Arab dipenuhi oleh klaim-klaim
palsu mengenai jumlah pesawat Israel yang ditembak jatuh, yang
disiarkan ulang tanpa komentar oleh Jawatan Siaran Israel. Di Kairo,
setiap laporan bohong yang baru diterima dengan sorak-sorai oleh
orang-orang yang berkumpul di sekeliling radio-radio transistor yang
ditempatkan di pojok-pojok jalan. Gerombolan-gerombolan pelajar
bernyanyi penuh semangat, “Kami
akan berjuang, kami akan berjuang. Nasser kami tercinta, kami akan
berjalan dibelakangmu menuju Tel Aviv.” Sebuah
laporan Radio Kairo memberitakan seorang pilot Israel yang pesawatnya
ditembak jatuh dekat Zagazig di delta Nil. Ia mendarat dengan
parasut, dan ditangkap oleh petani lokal yang lalu mencincangnya
dengan kapak yang sedang mereka gunakan di ladang tersebut.
Sementara
berita-berita semacam itu membuat orang Arab merasa optimistims di
dalam kegelapan fakta, orang Israel – yang juga mendengarkan Radio
Kairo karena banyak diantara mereka mengerti Bahasa Arab – tentu
saja menjadi khawatir. Namun kecemasan mereka sedikit menghilang
akibat pernyataan yang disampaikan dengan sungguh-sungguh oleh
Jenderal Chaim Herzog, kepala komentator militer, yang mengutuk klaim
Mesir sebagai “terlalu dini, tidak jelas dan benar-benar tidak
memiliki otoritas.” Jelas bahwa kebijakan Israel untuk tidak
menjernihkan keadaan yang sebenarnya di medan perang demi keuntungan
musuhnya meraih hasil besar. Nasser sendiri baru mengetahui besarnya
pukulan yang ditimpakan oleh Israel sekitar 6 hingga 7 jam kemudian
setelah pecahnya perang, sementara Komando Tertinggi Mesir sangat
lambat dalam mengapresiasi pentingnya hal itu dalam perang udara.
Ketika Nasser menyambut baik terjunnya Yordania ke kancah peperangan
pada pagi itu, ia masih mengira bahwa ia masih memiliki Angkatan
Udara yang utuh.
Di
Tel Aviv, lengkingan sirine udara yang tidak lazim terdengar segera
sebelum pukul 08.00 merupakan indikasi pertama bahwa perang telah
dimulai. Namun lengkingan sirine itu, betapa pun kerasnya, bahkan
tidak membuat sebuah bangsa bersiap untuk menghadapi keadaan seperti
ini; masyarakat enggan mencari tempat perlindungan dan kesibukan di
Tel Aviv nyaris tidak terganggu. Sikap yang sama juga terjadi di
Yerusalem dan tempat-tempat lainnya. Barulah pada pukul 09.00, ketika
radio Israel maupun Arab mengumumkan dimulainya peperangan, maka
suasana pun berubah. Banyak orang kemudian berlari mencari tempat
perlindungan dari serangan udara, di Tel Aviv, sirene peringatan
bahaya melengking 12 kali selama hari pertama – dimana tanda bahaya
terlama berbunyi di saat tengah hari saat Yordania mulai menembaki
kota tersebut.
Reaksi
Israel sangat cepat dan menghancurkan. Setelah membereskan AU Mesir,
mereka berpaling untuk menghancurkan kekuatan udara Yordania. Segera
setelah tengah hari, 8 pesawat Mirage IAF lepas landas untuk
menyerang pangkalan udara Yordania di Mafraq dan Amman. Mereka
menyergap pesawat-pesawat Hunter yang sedang diisi bahan bakar dan
dipersenjatai kembali setelah misi pembomannya di atas Israel. Ketika
pesawat-pesawat Mirage itu berbalik kembali ke pangkalannya, mereka
meninggalkan 18 Hunter yang terbakar, hancur berantakan, sementara
bom-bom berat yang dijatuhkan mereka merusak landasan pacu. Dalam
perjalanan pulangnya, pesawat-pesawat Mirage Israel menyerang dan
menembaki kendaraan-kendaraan yang sedang bergerak dan – demikian
tuduh warga Yordania – menembaki istana Raja Hussein. Dalam
perjalanan pulang, sebuah Mirage tertembak oleh penangkis serangan
udara Yordania, tetapi pilotnya berhasil menyelamatkan diri dan
mendarat di Danau Galilea, dimana ia ditolong oleh sebuah kapal
patroli Israel.
Pada
hari berikut, sebuah pesawat pembom Tu-16 Irak berhasil menyelinap di
atas udara Israel dan menjatuhkan bom di Kota Nathanya. Sebagai
balasan, Israel menyerang pangkalan udara paling Barat milik Irak,
H3, yang terletak di perbatasan Irak-Yordania.
Negara
Arab lainnya yang merasakan sengatan IAF adalah Suriah. Setelah
pesawat-pesawat Suriah menjatuhkan bom di atas penyulingan minyak di
Haifa dan menyerang lapangan terbang di Megiddo, dimana mereka
berhasil menghancurkan beberapa pesawat palsu, IAF membom dan
memberondongi 4 basis Angkatan Udara Suriah di dekat Damaskus.
Dalam
eforia palsu yang menyelimuti bangsa Arab di hari pertama perang,
Lebanon juga menyatakan perang terhadap Israel. Namun terpisah dari
siaran radio yang bergelora dan penuh caci-maki, Pemerintah Lebanon
tidak melakukan tindakan yang bermusuhan. Perdana Menteri Lebanon,
Rashid Karame, bernafsu untuk berperang, tetapi Kepala Staf Angkatan
Daratnya, Jenderal Bustani, tahu bahwa Angkatan Bersenjata negerinya
bukanlah tandingan pasukan Israel. Ketika di hari kedua perang Karame
memerintahkan untuk memimpin serangan, Bustani menolaknya. Akibatnya,
sang Perdana Menteri memerintahkan agar Bustani ditangkap, tetapi
tidak ada satu pun orang yang bersedia melakukan perintah
penangkapan. Untungnya bagi Lebanon, kebuntuan ini berlangsung cukup
lama hingga peristiwa sebenarnya di lapangan diketahui. Karame,
menyadari kesalahannya, meninggalkan sikap radikalnya dan berusaha
melupakan bahwa ia pernah bernafsu untuk ikut berperang. Terpisah
dari suatu bentrokan antara pesawat Israel dengan 2 pesawat Hunter
Lebanon di atas Danau Galilea – dimana salah satu Hunter tertembak
jatuh – Lebanon tetap berada di luar arena peperangan dan Israel
pun sepertinya sudah puas membiarkan mereka tanpa gangguan.
pesawat Mirage IAF yang terlihat sedang membentuk formasi untuk
melakukan suatu operasi udara - 1967
Dalam
dua hari peperangan saja, IAF telah menerbangkan lebih dari 1.000
sortie, dimana banyak pilot terbang hingga sebanyak delapan sortie
sehari. Pada tengah malam hari kedua peperangan, kerugian Israel
meningkat hingga 26 pesawat terbang, termasuk 6 pesawat latih Fouga
Magister yang dipersenjatai dengan roket 68/80mm untuk menghancurkan
tank. Mereka kehilangan 21 pilot, dimana sekitar setengahnya ditawan
di Suriah maupun Mesir. Dua pilot kemudian dikembalikan oleh Irak dan
dua lainnya oleh Yordania. Seorang pilot dilaporkan telah dicincang
di Mesir, paling tidak dua orang pilot Israel lainnya tidak mematuhi
perintah kontrol darat Israel yang memerintahkan mereka agar terjun
bersama parasut mereka – mereka memilih ikut hancur bersama pesawat
berkeping-keping daripada mereka jatuh ke tangan orang Suriah.
Hingga saat tengah malam hari kedua perang, IAF telah menghancurkan
146 pesawat negara-negara Arab, dimana 393 diantaranya dihancurkan di
darat. Adapun pembagiannya adalah 309 milik Mesir, 60 milik Suriah,
29 milik Yordania, 17 milik Irak, dan satu sisanya milik Lebanon.
Selain pesawat terbang, AU negara-negara Arab juga kehilangan banyak
pilot. Sebagai contoh, diperkirakan sekitar 100 dari 350 pilot Mesir
terbunuh dalam serangan. Melihat besarnya jumlah MiG-21, pesawat
termutakhir yang dimiliki Arab pada saat itu, yang dihancurkan di
darat, dalam jumlah korban ini kemungkinan termasuk banyak penerbang
handal mereka yang turut tewas.
Ketika kehancuran AU Mesir tidak bisa lagi disembunyikan dari Nasser,
Komando Tertinggi Uni Republik Arab berusaha menjelaskan bencana itu
dengan menuduh keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris. Nasser, yang
berusaha mencari kambing hitam atas kekalahan itu, menerima
penjelasan tersebut dengan maksud agar mendorong Uni Soviet untuk mau
menyelamatkannya. Namun muslihat itu tidak berhasil. Kapal-kapal Uni
Soviet yang memonitor gerakan udara di Laut Tengah tahu dari radar
mereka sendiri bahwa tidak ada pesawat terbang AS maupun Inggris yang
terlibat dan Dubes Soviet di Kairo mendatangi Nasser dengan jelas
mengatakan fakta tersebut. Sekalipun demikian Nasser tetap
mempertahankan klaimnya.
Upaya
Nasser untuk mengkambing-hitamkan Amerika dan Inggris pun
“ditelanjangi” pada tanggal 8 Juni ketika seorang juru bicara
Israel menyampaikan hasil sedapan dari suatu pembicaraan telepon yang
dilakukan Presiden Mesir itu dengan Raja Hussein di hari kedua
perang.
SADAPAN
PEMBICARAAN TELEPON
Nasser : Halo,
kita akan menuduh Amerika dan Inggris atau Amerika saja?
Hussein : Amerika
dan Inggris.
Nasser : Apakah
Inggris memiliki kapal induk?
Hussein : (Jawaban
tidak jelas)
Nasser : Ya
Allah, menurutku aku akan membuat suatu pengumuman dan Anda
menyampaikan pengumuman, dan kita akan memastikan bahwa Suriah juga
akan membuat hal yang sama bahwa pesawat-pesawat Amerika dan Inggris
dari kapal induk ikut ambil bagian dalam melawan kita. Kita akan
menekankan masalah ini …
Pemerintah
Amerika Serikat dan Inggris segera membantah tuduhan Mesir, dan kedua
negara meminta PBB untuk mengirimkan pengamat ke lapangan terbang dan
kapal-kapal induk yang dituduh Nasser mengirimkan pesawat terbang
untuk membantu Israel. Tidak satu pun pengamat yang dikirimkan dan
Raja Hussein di kemudian hari mengakui bahwa “payung udara” di
atas Yordania benar-benar merupakan pesawat terbang milik Israel.
Sekalipun demikian, banyak orang Arab yang masih saja menyakini
rekayasa tersebut.
Tentu
saja kebenarannya sangat bertolak belakang. Tidak ada yang bisa
membantah bahwa serangan pendahuluan terhadap Mesir dan kehancuran
kekuatan udara negara-negara Arab sebagian menentukan hasil akhir
peperangan. Namun kemenangan itu benar-benar murni milik Israel,
dimana memang keteledoran Mesir turut berperan – kemenangan pun
milik Israel yang telah mempersiapkan strategi perang udara dengan
seksama dan mengeksekusinya dengan cerdas.
Perang 1967 merupakan serangan dadakan yang direncanakan dan dilatih jauh hari sebelumnya
ReplyDeletekomen pintar dikitlah namanya dadakan gak mungkin pakai rencana
Delete