HARI-HARI INDONESIA DI MATA
CIA
Sebanyak 2.500 dokumen
briefing harian Presiden Amerika Serikat dipublikasikan CIA. Periode
September-Desember 1965 menggambarkan panas-dingin hubungan diplomatik
Indonesia-Amerika.
“Semua tergantung kondisi
Soekarno. Bila ia meninggal atau tidak mampu memerintah, bisa pecah perang
sipil…”
Kalimat tersebut merupakan
cuplikan dari briefing harian Presiden (PDB – President’s Daily Briefing)
Amerika Serikat pada 1 Oktober 1965. Briefing yang rutin dikirim tiap pagi oleh
Agen Pusat Intelijen (CIA) itu menjelaskan kondisi Indonesia pasca-penculikan
sejumlah jenderal Angkatan Darat yang terjadi malam sebelumnya.
Peristiwa yang dikenal sebagai
Gerakan 30 September (G-30-S/PKI) itu menurut PDB, adalah peristiwa
tarik-menarik kekuasaan antara kelompok militer-komunis dan pimpinan militer
anti-komunis. Upaya kudeta oleh kelompok militer-komunis pagi itu dibalas
dengan kontra-kudeta oleh kelompok anti-komunis. “Situasi saat ini
membingungkan dan belum jelas ke mana arahnya. Kedua belah pihak mengklaim
loyal pada Presiden, dan mereka semua menyatakan akan melindunginya,”
demikian bunyi briefing itu lebih lanjut.
Lima puluh tahun setelah
peristiwa G-30S/PKI terjadi, Pemerintah AS mempublikasikan 2.500 dokumen PDB,
yang merupakan ikhtisar harian laporan intelijen CIA kepada Presiden AS.
“Ini pertama kalinya CIA mendeklasifikasikan dokumen sebanyak ini,” kata
Direktur CIA, John Brennan, di Austin, Texas. Ke 2.500-an PDB itu terentang
dari masa Pemerintahan Presiden John Fitzgerald Kennedy (Juni 1961-22 November
1963) sampai Lyndon B.Johnson (22 November 1963-20 Januari 1969).
Dalam pidato peluncuran PDB
itu, Brennan menyatakan, briefing harian Presiden merupakan dokumen paling
rahasia dan sensitif di pemerintahan. Karena, menurutnya, briefing itu mewakili
dialog harian komunitas intelijen dengan Presiden selaku pengguna mereka, dan
juga menjadi bahan pertimbangan penting dalam menjawab tantangan serta berbagai
peluang terkait dengan keamanan nasional mereka.
Tradisi briefing harian kepada
Presiden, kata Brennan, bermula saat Presiden Kennedy berkantor di Gedung
Putih. Di masa awal pemerintahannya, ia sering merasa kerepotan dengan rumitnya
dan banyaknya laporan intelijen yang masuk. Oleh karena itu, Robert Kennedy
yang menjabat Kepala Staf Kepresidenan meminta CIA untuk membuat laporan
singkat tentang topik-topik penting yang harus diketahui Presiden. Penjelasan
untuk masing-masing topik tidak boleh lebih dari dua kalimat, dan harus dibuat
dengan bahasa yang sederhana agar mudah dimengerti.
Awalnya, dokumen briefing itu
dikenal dengan sebutan Pickie, kependekan dari President’s Intelligence
Checklists. “Ide ini ternyata sangat sukses, dan terus dipertahankan sampai
sekarang,” kata Brennan. Bila dulu Pickie dan PDB dimuat dalam
bentuk beberapa lembar kertas dibungkus sampul cokelat, kini PDB untuk Obama
bisa berbentuk laporan di iPad dengan tautan untuk lampiran-lampirannya.
Isi PDB bisa sangat beragam,
tergantung minat sang Presiden dan beberapa hal penting menurut CIA.
Topik-topik yang dituliskan mulai dari terorisme, kelaparan, hingga perang.
Atau ada juga laporan tentang respon Rusia terhadap penampilan kelompok Ballet
New York di Moskow. Bahkan, ada juga analisis mengenai respon publik terhadap
New York Yankees yang memecat Yogi Berra. “Kalau zaman Kennedy dulu, laporan
biasanya berisi perkembangan dunia, komunisme, Kuba, hingga Nikita Kruschev,”
kata Brennan.
Semua informasi yang
disampaikan dalam PDB itu diklasifikasikan sebagai top secret. Walau
sebenarnya, menurut Brennan, ada beberapa info yang sumbernya tidak terlalu rahasia-rahasia
amat. Misalnya, dari laporan diplomatik rutin, bahkan dari pemberitaan media
massa. “Labelisasi itu untuk menyederhanakan Presiden saat membacanya,”
ia beralasan.
Bisa dibilang PDB merupakan
analisis intelijen yang aktual dengan perkembangan isu di masanya, atau
menyesuaikan dengan minat Presiden AS. Dan dari 2.500 dokumen PDB yang
dipublikasikan, tercermin adanya perhatian lebih yang dialokasikan Pemerintah
AS terhadap komunisme, perjuangan kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika, dan
juga Indonesia.
Sejak awal September 1965,
hampir tiap hari ada laporan tentang Indonesia disana. Secara garis besar,
pembahasan tentang Indonesia itu berkutat pada pemerintahan Soekarno yang
anti-Barat, pergulatan internal di militer Indonesia, serta kegagalan Partai
Komunis Indonesia dalam merebut kekuasaan.
“Bisa terlihat penilaian AS
terhadap melemahnya pengaruh Presiden Soekarno, dan makin menguatnya posisi
Soeharto,” kata sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, ketika berkunjung
ke kantor GATRA. Hal itu bisa tercermin dari PDB 24 Oktober 1965 yang
mengatakan ada dua pemerintahan di Indonesia. Satu dikepalai oleh Soekarno, dan
satunya lagi oleh para jenderal. “Keduanya seperti saling membutuhkan untuk
mencegah pecahnya perang sipil,” demikian bunyi PDB hari itu.
Dari 2.500 PDB yang sudah
dibacanya. Asvi melihat Indonesia sebenarnya menjadi topik yang muncul tiap
hari, terutama sejak 14 September 1965 hingga akhir Desember 1965. Pada 14
September 1965 misalnya, pihak CIA tersinggung dengan sikap Menteri Luar Negeri
Subandrio yang menjamin fasilitas diplomatik AS tidak diganggu atau dirusak
massa anti-Barat. Padahal mereka (CIA/Amerika) tahu bahwa gerakan anti-Barat
dan AS yang beberapa kali menyerang Konsulat Jenderal AS di Surabaya dan Medan
itu dirancang sendiri di ruang belakang rumah pribadi Subandrio. “Subandrio
put on one of his shameless performance…,” demikian bunyi petikan PDB
tersebut.
Sejak peristiwa G-30-S, topic
Indonesia dalam PDB rutin berisi tentang upaya Soekarno membela PKI sementara
militer berusaha memberangus PKI dan ormas-ormasnya. Beberapa dokumen PDB yang
diperoleh GATRA juga menunjukkan kedekatan personal antara beberapa petinggi
militer Indonesia dan pihak AS pada saat itu. Contohnya, Mayor Jenderal Achmad
Sukendro yang intens membagi informasi dengan staf Kedubes AS. Atau bahkan ada
juga permintaan dari ajudan Jenderal Nasution kepada atase militer AS untuk
membantunya lari dari Jakarta bila situasi tidak menguntungkan, seperti yang
tertulis dalam PDB tertanggal 22 Oktober 1965.
Lebih lanjut Asvi
mengingatkan, bahwa PDB September-Desember 1965 itu tidak melulu urusan
politik. Ada juga selipan laporan mengenai dugaan pemerintah Indonesia akan
menasionalisasi fasilitas produksi minyak milik perusahaan AS, Caltex, dan
Stanvac. Lalu, dalam PDB 26 November 1965, terungkap bahwa Konjen Indonesia di
Hong Kong diinstruksikan oleh TNI mengontak pejabat AS untuk memperoleh bantuan
ekonomi. Dan pada 13 Desember 1965, perwakilan TNI mendekati kedubes AS untuk
meminta bantuan pembiayaan impor beras dan bantuan ekonomi umum lainnya.
Seorang anggota perwakilan menyatakan, Soekarno tidak mau minta bantuan dari
Amerika Serikat. Tapi Soekarno akan tutup mata bila TNI diam-diam minta bantuan
ke AS.
Pada periode
September-Desember 1965 jugalah bisa terlihat perubahan hubungan diplomatik AS
dengan Indonesia. Dari yang semula memanas lantaran sikap Soekarno terhadap
Barat, sampai gelagat rekonsiliasi karena peran Soeharto dan militer yang
cenderung lebih bersahabat dengan mereka (AS).
John O. Brennan - Mengawali karirnya di CIA sebagai analyst, di
Washington D.C, menghabiskan lebih dari 25 tahun karirnya bersama agensi.
Di awal karirnya, Ia mengatakan bahwa ia mencintai aksi dan petualangan,
Di awal karirnya, Ia mengatakan bahwa ia mencintai aksi dan petualangan,
dan merasa bahwa berkarir di CIA merupakan pilihan yang tepat bagi
hasrat petualangannya. Selain itu Brennan menerima gelar Master of Arts dari University of Texas Austin dengan jurusan Middle Eastern Studies tahun 1980.
Brennan juga dikenal fasih dalam berbahasa Arab.
(CAVIN
R. MANUPUTTY)
No comments:
Post a Comment