ANGKATAN UDARA DAN
GESTAPU
Apabila kita berbicara mengenai Angkatan Bersenjata
berhubungan dengan Gestapu, faktor Angkatan Udara terlalu penting untuk
dilupakan. Seperti diketahui luas pada waktu itu, Panglima AU, Omar Dani,
mempunyai hubungan khusus dengan presiden Sukarno sejak beliau diangkat
menggantikan KSAU suryadi suryadharma. Omar Dani naik ke posisi pimpinan
tertinggi AU setelah insiden tenggelamnya Motor Torpedo Boat Macan Tutul di
Laut Arafuru pada 15 Januari 1962. AU dipersalahkan karena tidak memberikan
dukungan udara kepada kapal perang yang sedang bertugas menyelundupkan tentara
ke daratan Irian Barat (sekarang Papua). Suryadharma membayar mahal “kesalahan”
yang dituduhkan kepadanya dan dicopot dari jabatannya di AU yang didudukinya
sejak Indonesia memiliki AU hampir 20 tahun sebelumnya. Lalu, karena menolak
jabatan duta besar di Kuba, Suryadharma diangkat menjadi penasehat militer
Presiden yang praktis tidak pernah dimintai pendapatnya atau saran oleh
Sukarno.
Di kemudian hari terungkap, sebenarnya Suryadharma telah
diperlakukan secara tidak adil. Operasi penyelundupan pasukan ke Irian Barat
lebih merupakan keputusan politik Sukarno sebagai Panglima Koti tanpa
melibatkan pimpinan tentara. Angkatan Udara waktu itu bukan saja tidak tahu adanya
operasi rahasia tersebut, mereka juga memang belum siap memberi perlindungan
udara (air covert) dalam melaksanakan perintah Sukarno itu.
Ini adalah contoh sempurna bagaimana sebuah operasi
militer dikelola oleh politisi non-militer yang sama sekali tidak memiliki
pengetahuan dan pengalaman militer. Kesalahan yang sama sebelumnya juga
dilakukan Hitler yang menyerang Uni Soviet tanpa terlebih dulu memperhatikan
pendapat dan pertimbangan para Jenderal dan para Marsekalnya, akibatnya, Jerman
mengalami kehancuran tragis beberapa divisi terbaik tentara mereka.
Ketika diangkat menjadi Panglima AU Omar Dani baru
sekitar sepuluh tahun menjalani dinas militer. Menurut Nasution, dialah yang
menyarankan kepada Sukarno mengangkat Omar Dani sebagai pengganti suryadharma.
Menko Hankam/KSAB itu berjumpa dengan Dani untuk pertama kalinya di lapangan
terbang Morotai, pada masa persiapan Operasi Trikora.
Sebagai perwira yang masih sangat muda ketika menduduki
jabatan pimpinan AU, Dani melangkahi sejumlah perwira senior dalam angkatannya.
Dengan latar belakang seperti itu, maka bisa dimengerti kalau pimpinan baru AU
itu menjadi sangat bergantung pada wibawa dan dukungan Sukarno yang
mengangkatnya.
Pada masa Revolusi, sebagai anak priayi berpendidikan
bagus, Dani bekerja sebagai penyiar radio siaran bahasa inggris di Solo.
Selanjutnya pindah ke Jakarta dan bekerja pada sebuah bank. Bersama sejumlah
pemuda pada 1950, Dani mendaftar untuk dikirim ke Taloa, California. Disana ia
di didik menjadi penerbang. Sepulang dari Amerika itulah, dia mengucapkan
sumpah sebagai perwira Angkatan Udara di mata para Jenderal senior di Angkatan
Darat, Omar Dani adalah anak muda yang tidak punya pengalaman tempur masa
revolusi.
Dengan latar belakang yang demikian, Sukarno mengangkat
Panglima AU itu menjadi Panglima Kolaga (Komando Mandala Siaga) dalam rangka
konfrontasi. Jenderal Soeharto, yang amat senior dan mantan panglima Mandala
Pembebasan Irian Barat, beberapa waktu kemudian ditunjuk Presiden sebagai
wakilnya. Keputusan Sukarno yang kurang bijaksana ini hanya membuat perwira
tinggi AD makin dongkol kepada Bapak Presiden dan Omar Dani. Dalam memoarnya,
mantan Pangkopkamtib, Jenderal TNI (Purn.) Sumitro menulis:
“Di
komando Mandala Siaga (Kolaga) Panglimanya dari Angkatan Udara yang tidak punya
pengalaman perang, tentara kemarin sore, Omar Dani. Anak kemarin sore itu belum
punya pengalaman perang, tapi disuruh memimpin kami yang sudah bongkel-bongkel
sejak zaman Revolusi sampai tua perang terus. Dia membawahi Pak Harto yang
waktu itu wakilnya Omar Dani, sebagai Wakil Panglima Komando Mandala Siaga
(Wapang Kolaga). Dalam hati kami mangkel dipimpin anak wingi sore, anak kemarin
sore.”
Disamping itu, Omar Dani
mewarisi AU yang sejak awal tahun 50an memang sudah diposisikan suryadharma,
sadar atau tidak, sebagai Angkatan yang bersikap antagonistis terhadap
saudaranya Angkatan Darat. Dengan later belakang itulah kita harus melihat kedekatan
AU dengan Presiden Sukarno. Untuk mengimbangi AD yang sudah lama terlibat dalam
kancah politik, di bawah Omar Dani untuk pertama kalinya Sukarno melibatkan
Angkatan Udara ke dalam kegiatan politik. Mengenai Soal ini, para purnawirawan
AU dalam buku Menyingkap Kabut Halim 1965,
menjelaskan:
Untuk
memberikan makna Angkatan Udara sebagai alat Revolusi sebagaimana yang sering
dikemukakan Bung Karno, Laksdya (Laksamana Madya) Udara Omar Dani dalam
kedudukannya sebagai Men/Pangau (Menteri Panglima Angkatan Udara), mencoba ikut
memainkan peran politik di tengah-tengah retorika revolusi PBR (Pemimpin Besar
Revolusi). Misalnya, berbicara tentang Angkatan V yang sebetulnya bukan murni
gagasannya sendiri, melainkan hasil pembicaraan sepintas antara PM RRC (Perdana
Menteri Republik Rakyat Cina) Chou En Lai dan Presiden Sukarno. Karena Bung
Karno tertarik, Omar Dani pun membawa wacana itu dalam suatu pembahasan dengan
rekan-rekan menteri/panglima Angkatan lainnya.
Tak disadari oleh Dani, bahwa
membawa gagasan itu, sangat paralel dengan keinginan PKI, yaitu terciptanya
suatu militansi dan radikalisme di kalangan rakyat sipil. Militansi rakyat yang
terlihat melalui pelatihan sukarelawan pada masa operasi pengembalian Irian
Barat dan perjuangan Dwikora, sangat menguntungkan PKI.
Persoalan penting yang melatarbelakangi konflik antara AU
dan AD, terutama pada masa demokrasi terpimpin, pada dasarnya adalah sikap
kedua Angkatan yang berbeda terhadap kebijakan Presiden Sukarno. AD menolak
Nasakom, sangat waspada terhadap PKI, sementara Angkatan Udara mendukung
Nasakom dan mendukung hampir apapun kebijakan Sukarno, termasuk gagasan
pembentukan Angkatan kelima. Berbeda dengan pihak AD, pimpinan AU waktu itu
tidak melihat PKI sebagai potensi ancaman di masa mendatang.
Jauh sebelum itu Suryadharma sebagai pribadi sudah pula
merupakan persoalan bagi AD. Perwira lulusan Akademi Militer Breda, Negeri
Belanda, ini tidak ikut perang gerilya setelah Yogyakarta diserbu dan dikuasai
Belanda pada 19 Desember 1948. Ketika tentara dibawah pimpinan Sudirman dan
Nasution menjalankan perang gerilya, Suryadharma bersama Sukarno dan Hatta
menyerah kepada Belanda. Mengenai absennya Suryadharma dalam aksi gerilya itu,
dari memoir Bung Hatta kemudian bisa diketahui, beberapa hari sebelum Yogyakarta
diserang dan dikuasai tentara kolonial Belanda, Suryadharma sebagai pimpinan AU
sudah tidak lagi menduduki posisi penting dalam ketentaraan. Untuk sementara,
dia dibebastugaskan dari posisi pimpinan AU karena diperintahkan mengikuti
perjalanan Presiden Sukarno ke India atas undangan perdana Menteri Nehru.
Dalam keadaan menanti datangnya pesawat yang akan membawa
rombongan ke India itulah, Yogyakarta diserang. Suryadharma ditangkap dirumah
kediaman Wakil Presiden dan kemudian diasingkan ke Bangka bersama Bung Hatta
dan sejumlah pejabat tinggi negara. Setelah pengakuan kedaulatan, Sukarno
mengangkat kembali suryadharma sebagai pimpinan KSAU. Keputusan ini
mengecewakan para perwira senior Angkatan Darat yang baru saja keluar dari
hutan setelah operasi gerilya usai.
Sikap para perwira AD yang menyalahkan keputusan
Suryadharma menyerah bersama Sukarno dipertanyakan oleh seorang perwira senior
AU. “Lho, Suryadharma itu mengikuti jejak
Panglima Tertinggi. Yang mestinya disalahkan ialah sudirman. Panglima Besar itu
yang justru menolak menaati perintah panglima tertingginya.”
Debat
dengan tema suryadharma yang taat kepada panglima tertinggi, sementara sudirman
dianggap melakukan insubordinasi adalah debat yang muncul kembali ketika Omar
Dani menunjukkan loyalitas penuhnya kepada Sukarno. “Apakah salah kalau kita taat kepada panglima tertinggi?”, Tanya
Laksamana Muda Udara Sri Mulyono Herlambang. Masalah ini, akhirnya terpulang
pada bagaimana tempat tentara dalam masyarakat, persepsi diri mereka, serta
hubungan sipil dan militer macam apa yang berlaku dalam masyarakat.
Tentara (AD) di kemudian hari mempertegas posisinya dalam
masyarakat dengan menempatkan diri sebagai suatu kekuatan politik di antara
kekuatan politik lainnya. Posisi demikian itu mendapatkan legitimasi dari
keputusan Presiden Sukarno pada rapat Dewan Nasional pada November 1958.
Tentara pada masa sudirman memang lebih melihat diri sebagai pejuang daripada
hanya sekedar alat pemerintah. Sebagai pejuang dibidang militer, sudirman juga
telah mengikat dirinya dengan sebuah sumpah tentara; “tidak kenal menyerah.” Suryadharma dan Sukarno yang menyerah
kepada tentara kolonial Belanda mereka anggap mengkhianati sumpah tersebut.
SOEKARNO, SOEHARTO, DAN
PERTARUNGAN POLITIK PASCA-GESTAPU
Menengok balik ke belakang setelah 50 tahun, terlihat
dengan jelas Gestapu 1965 menjadi isu politik dan keamanan berlangsung relatif
singkat. Begitu efektifnya TNI dan kekuatan anti-komunis menghancurkan PKI,
dalam waktu pendek PKI nyaris tidak lagi bertahan sebagai topik penting
pembicaraan. PKI yang beberapa saat sebelum satu oktober 65, mendadak
menghilang, tak terdengar, bahkan seperti tidak pernah ada. Yang masih rajin
mengingatkan bahaya dan ancaman PKI adalah militer yang, antara lain,
memanfaatkan bahaya komunis sebagai cara mengukuhkan kekuasaan mereka.
Secara diam-diam, pada saat yang sama, sejumlah orang
memang ada yang masih mempertanyakan posisi dan peran Soeharto hari-hari itu,
hubungan lamanya dengan Kolonel Latif dan Letnan Kolonel Untung, pertemuan
Soeharto dengan Latif beberapa jam sebelum operasi Gestapu bergerak, serta
misteri yang menyelimuti dua batalyon kostrad yang terlibat Gestapu. Tapi dalam
waktu singkat, seiring makin terkonsolidasinya kekuasaan Soeharto, semua
pertanyaan tersebut menghilang dengan sendirinya dari wacana publik.
Yang bertahan lama adalah ketegangan Soeharto dengan
Presiden Soekarno. Untuk beberapa bulan, Sukarno dengan gigih bertahan untuk
menolak pembubaran PKI. Tapi, lewat surat perintah 11 Maret 1966 yang terpaksa
diberikan Sukarno kepada Soeharto, PKI akhirnya dibubarkan oleh Pangkopkamtib.
Selama ketegangan singkat mengenai nasib PKI itu, dari pihak PKI sendiri tak
terdengar kabar sedikit pun. Tokoh-tokoh PKI, tingkat lokal maupun nasional,
menghilang, tertangkap, atau terbunuh. Sebagian dibunuh tentara, tapi
kebanyakan terbunuh masyarakat. Maka yang kemudian terlibat dalam pertarungan
politik (power struggle) ialah Soeharto berhadapan dengan Sukarno.
Kalau tentara sebagai kekuatan politik sebelum peristiwa
Gestapu dipimpin oleh Nasution kemudian Ahmad Yani, maka setelah Gestapu,
Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat tampil sebagai ketua “partai tentara”.
Kendati memiliki legalitas dan kontrol atas Angkatan Darat, Soeharto tetap saja
harus berhati-hati menghadapi Presiden Sukarno yang masih berpengaruh saat itu.
Menghadapi PKI, Jenderal Soeharto- dengan dukungan
masyarakat anti-komunis, nyaris tidak memiliki hambatan sama sekali dalam
menghancurkan partai komunis dalam waktu singkat. Tapi ketika berhadapan dengan
Sukarno, bahkan pasukan-pasukan Angkatan Darat tidak semuanya dengan cepat
dikuasai Soeharto. Apalagi angkatan lainnya.
Soeharto memerlukan sekitar 2 tahun untuk secara perlahan
menyempurnakan kekuasaannya atas tentara, yang waktu itu lebih dikenal sebagai
ABRI. Selama proses yang 2 tahun itu, dalam kalangan tentara Soeharto harus
menghadapi pendukungnya yang radikal sembari berurusan dengan pendukung
presiden Soekarno yang fanatik. Di pihak Soeharto, ada Jenderal Kemal Idris,
Kolonel Sarwo Edhie, dan Jenderal Hartono rekso dharsono. Mereka bertiga inilah
yang dengan loyal dan tegas terus mendesak agar Soeharto segera menyingkirkan
Presiden Sukarno.
Di pihak loyalis dan pendukung fanatik presiden sukarno
pada berbagai unit militer di Jawa Tengah dan Timur tidak sulit ditemukan
mereka yang siap mati untuk sang presiden Sukarno. Tapi yang paling banyak
menonjol di antara yang mendukung presiden pada waktu itu ialah Panglima
Marinir yang juga Wakil Panglima Angkatan Laut, Letnan Jenderal KKO Hartono.
Dengan kecerdikan politik serta kesabarannya, Soeharto
bukan saja berhasil menyingkirkan para penantangnya di berbagai satuan militer,
melainkan dengan dingin juga berhasil terbebas dari para perwira loyal dan
radikal pendukungnya. Kemal Idris terlempar ke Makassar (menjadi Pangkowilhan)
sebelum akhirnya dikirim ke Beograd sebagai duta besar. Dharsono ke Bangkok
(menjadi duta besar), dan Sarwo Edhie mendapat tugas ke Medaan sebelum akhirnya
ditugaskan sebagai Pangdam di Papua. Soeharto akhirnya berhasil berdiri tegak
sebagai Panglima Angkatan Darat dan ketua “partai tentara”. Dari posisi kuat
seperti itulah secara berangsur Soeharto memenangkan pertarungan politik
melawan Sukarno.
Apakah Soeharto menyingkirkan Sukarno dengan melakukan
apa yang sering dituduhkan kepadanya sebagai “kudeta merangkak?”, pertama, aksi
kudeta haruslah dimengerti sebagai gerakan cepat dengan sasaran utama instalasi
yang mendukung atau dikuasai oleh pemerintah yang menjadi sasaran penggulingan.
Kedua, kudeta pada umumnya dilakukan oleh militer tak berpolitik lewat aksi
kudeta memasuki panggung politik untuk menguasai elemen pemerintahan.
Dua kriteria diatas itu tidak mudah ditemukan dalam aksi
yang dilakukan Soeharto. Presiden Sukarno tersingkir pada 1968 untuk digantikan
Jenderal Soeharto sebagai Presiden Kedua Indonesia, setelah selama dua tahun
terjadi pertarungan politik antara Soeharto-Sukarno. Jadi, jelas tidak ada
kudeta.
Hal penting lainnya yang suka dilupakan para pengkritik
Soeharto, tentara Indonesia adalah sebuah kekuatan politik legal sejak Presiden
Sukarno, sebagai Ketua Dewan Nasional pada November 1958, memasukkan tentara ke
dalam Golongan Karya sebagai satu dari tujuh Angkatan Karya (nama Angkatan
Bersenjata berasal dari sini) bersama enam “angkatan karya” lainnya.
Sejak itu, tentara yang untuk waktu lama hanya kekuatan
politik nyata, pada November 1958 telah berubah menjadi kekuatan politik legal
(resmi). Inilah penjelasannya mengapa kemudian tentara mendapat kursi dalam
dewan perwakilan rakyat gotong royong (DPRG) dan Majelis Perwakilan Rakyat
sementara (MPRs), disamping sejumlah kursi dalam kabinet ketika lembaga-lembaga
tersebut dibentuk Presiden Sukarno pada awal periode orde lama.
Dengan demikian, yang sebenarnya terjadi antara tentara
(Soeharto) dan Sukarno sejak terjadinya Gestapu hingga tersingkirnya Presiden
pertama republik Indonesia itu, adalah pertarungan politik antara dua kekuatan
politik.
Dilihat dari sudut pandang pertarungan politik Sukarno
melawan tentara tersebut, maka sebenarnya keputusan Sukarno melegalkan tentara
sebagai kekuatan politik lewat dewan Nasional, adalah sebuah keputusan yang
mudah dipandang sebagai suatu kebijakan memelihara anak macan. Pada saat
resminya tentara menjadi kekuatan politik legal, Sukarno dengan tentara (A.H
Nasution) memang sedang berada dalam satu benteng “pertempuran” melawan
partai-partai politik.
Dengan dukungan tentara (A.H Nasution) pada 1959,
Indonesia memberlakukan kembali UUD 1945 yang memberi kekuasaan amat besar
kepada presiden Sukarno. Sejumlah politisi dan ahli hukum tata negara pada masa
itu menilai kerjasama Nasution-Sukarno memberlakukan kembali UUD 45 itu sebagai
sebuah kudeta konstitusional.
Namun, dalam sejarah RI, pemberlakuan atau pembiaran
konstitusi sudah terjadi pada awal revolusi. Pada November 1945, pemerintahan
presidensial, berdasarkan UUD 45, pimpinan Presiden Sukarno, ditinggalkan
begitu saja untuk digantikan dengan praktik parlementer.
Ironisnya, dengan kekautan yang diperolehnya dari
konstitusi masa-masa revolusi itu, Sukarno tiba-tiba, pada masa demokrasi
terpimpin, menyadari dirinya berhadapan dengan militer sebagai lawan politik.
Menghindari posisi sebagai “sandera” militer, Sukarno, yang tidak menguasai
satu partai pun, memutuskan merangkul PKI sebagai kekuatan penyeimbang (power balance)
terhadap kekuatan lain (tentara). Dasar filosofis hubungan mesra dan kerjasama
PKI dengan Sukarno sendiri ialah dokrtin Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis).
Yang tidak kurang ironis ialah nasib Jenderal A.H
Nasution. Pemimpin Angkatan Darat ini, orang yang berjasa mendukung Sukarno
memperoleh kekuasaan besar lewat UUD 1945, adalah target utama dan pertama
dalam lingkaran militer yang harus disingkirkan Sukarno. Nasution yang
anti-komunis adalah penghalang utama agenda politik Nasakom besutan Sukarno.
Berhasil menyingkirkan Nasution pada 1962, giliran berikutnya Sukarno berusaha
menyingkirkan Jenderal Ahmad Yani, orang yang secara pribadi dipilih Sukarno
menggantikan Nasution. Pimpinan AD boleh berganti, tapi posisi kubu
anti-komunis mereka tidak berubah. Di mata Sukarno, Yani yang ternyata
anti-Nasakom, juga harus disingkirkan. Dalam proses menyingkirkan Yani itulah
terjadinya Gestapu pada pagi hari satu oktober 1965.
Nasution tersingkir, Yani terbunuh, tampillah sosok
Soeharto. Ketua baru “partai tentara” ini sangat diuntungkan oleh kegagalan
Gestapu yang menyebabkan hancurnya Partai Komunis Indonesia. Tanpa dukungan
PKI, posisi politik Sukarno secara berangsur melemah. Dengan kecanggihan
politiknya, dalam 2 tahun sejak Gestapu terjadi pertarungan politik akhirnya
dimenangkan Soeharto. Sukarno pun akhirnya tersingkir.
Tulisan diatas disadur dari buku:
No comments:
Post a Comment