Unit 731 merupakan eksperimen penelitian biologis-kimia yang dulu dilakukan Tentara Imperialis Jepang. Eksperimen mengerikan dilakukan saat terjadi Perang Kedua Sino-Jepang (1937-1945) dimana saat itu Jepang menginvasi dataran utama Cina. Unit 731 bermarkas di Distrik Pingfang Harbin, kota terbesar di kota yang diduduki Cina (Manchukuo) yang sekarang menjadi bagian wilayah Cina Timur Laut.
Ketika Perang Dunia pertama berakhir pada tahun 1918, negara-negara yang semula terlibat perang dan berada di pihak yang kalah seperti negara Jerman dan Jepang, merasa menjadi korban yang paling dirugikan. Perasaan kalah itu jelas menimbulkan rasa malu dan sekaligus memunculkan ambisi untuk balas dendam. Layaknya orang yang ingin balas dendam, segala macam cara pun ditempuh meski cara tersebut bertentangan dengan rasa prikemanusiaan. Jalan pintas yang bertentangan dengan konvensi Jenewa pun dilanggar karena militer Jepang kemudian secara diam-diam mengembangkan senjata kuman dan menggunakannya di medan perang.
Pasca PD 1, Jepang langsung mengalami keterpurukan ekonomi dan
untuk bangkit dari keterpurukan itu, hanya ada satu cara yang bisa ditempuh,
mengobarkan kembali semangat Bushido (Samurai). Semangat Bushido yang bisa
teruji lewat peperangan mau tak mau mengkondisikan Jepang menegakkan pilar
militer dan dilanjutkan dengan ekspansi militer ke wilayah-wilayah terdekat.
Hanya dengan cara itu perasaan inferior dan balas dendam akibat kalah perang
bisa terobati. Keinginan balas dendam itu kemudian membuat baik Jepang maupun
Jerman berubah menjadi negara militeristik dan siap mencaplok negara-negara
tetangga.
Jepang yang faktanya
minim sumber daya alam mengalami banyak kesulitan ketika industri militer dan
kebutuhan perekonomian nya sangat tergantung dari luar. Selain minim sumber
daya alam, jumlah personel militer Jepang juga tidak besar sehingga ketika
Jepang kemudian melakukan ekspansi, wilayah kekuasaanya pasti akan mengalami
kesulitan untuk mengontrol setiap wilayah yang diduduki. Untuk menguasai
wilayah jajahannya militer Jepang selalu menerapkan disiplin dan kebrutalan.
Tindakan brutal diperlukan karena jumlah personel militer Jepang yang sedikit
itu, harus mengontrol wilayah yang luas. Dengan tindakan brutal, diharapkan
negara yang dijajah enggan untuk melakukan perlawanan. Tapi aksi kebrutalan itu
dirasa tidak cukup karena hanya mampu memberikan efek jera dalam jangka pendek.
Maka untuk menghemat tenaga dan mengelola wilayah jajahan dalam jangka panjang
secara efektif, mulai lah muncul pemikiran ekstrem dari sejumlah tokoh militer
Jepang. Salah satu solusi yang kemudian muncul tidak hanya mencerminkan
kebrutalan tentara Jepang tapi senjata pemusnah massal yang dioperasikan tanpa
perikemanusiaan. Sumber daya personel militer yang terbatas itu harus
digantikan dengan senjata yang efektif untuk membunuh, yaitu senjata biologis.
Salah satu tokoh pioner Jepang yang kemudian ditugaskan untuk
mendalami senjata biologis adalah Mayor Terunobu Hasebe bersama 40 ilmuwan
lainnya. Tapi setelah setelah sekian tahun memimpin tim pembuat senjata kuman
itu, perkembangan dari penelitian tim Hasebe belum menunjukkan hasil yang
memuaskan sampai kemudian muncul seorang ilmuwan maniak Jepang, Ishii Shiro.
Sebagai seorang dokter pendiam yang gemar meneliti organ tubuh manusia
sekaligus perkembangan kuman, Shiro yang kerap membayangkan eksperimen manusia
hidup merasa menemukan jalan terang.
Maka tidak aneh, Shiro yang lulus dari Kyoto University pada tahun 1920 itu memanfaatkan betul peluangnya sewaktu mendapat tawaran untuk mengembangkan kemampuan ilmunya untuk Angkatan Darat Jepang. Setelah sekitar 4 tahun bekerja untuk AD Jepang, sebagai seorang peneliti senjata biologis kemampuan Shiro dibidang ilmu bakteri ternyata sangat menonjol. Kecerdasan Shiro itu membuat AD Jepang terkagum-kagum dengan beliau sehingga memerintahkannya untuk mendalami ilmu bakteriologi di Kyoto University. Tahun 1927, Shiro yang memang cerdas dalam bidang tersebut berhasil meraih gelar Doktor (Phd) sekaligus menikahi puteri dari Torasaburo Akira yang saat itu menjabat sebagai rektor Universitas Kyoto. Tak lama kemudian Shiro yang berpangkat Kapten telah memiliki berbagai konsep temuan senjata biologis, kembali bergabung dengan militer Jepang. Kebetulan militer Jepang pada saat itu sudah bangkit kembali dan sedang semangat-semangatnya untuk menguasai negara-negara tetangga, Cina dan negara-negara lainnya di wilayah Asia Timur.
Demi kepentingan militer Jepang dan sekaligus melaksanakan misi
mata-mata, Shiro kemudian diberi kesempatan untuk bertandang ke Eropa dan AS.
Tujuan utama Shiro dan tim nya adalah mempelajari proyek pembuatan senjata
biologis yang sedang dikembangkan Amerika Serikat, khususnya cara membuat hujan
beracun, dan hujan kuning. Agar misi ini tidak menimbulkan kecurigaan, militer
Jepang menyamarkan tugas rahasia Shiro dan timnya sebagai atase militer. Hanya
butuh waktu 2 tahun bagi Shiro untuk malang-melintang di negara-negara Eropa
dan AS. Mempelajari dan sekaligus menyerap program pengembangan senjata
biologis. Sekembalinya dari Eropa dan AS, misi Shiro dan timnya yang dinilai
sukses oleh militer Jepang tidak hanya membuat pangkatnya naik menjadi Mayor,
tapi Shiro juga diberi keleluasaan untuk segera membangun industri senjata
biologis.
Upaya Shiro untuk
mendirikan industri senjata biologis ternyata mendapat tanggapan positif dari
militer Jepang. Secara kebetulan tak lama setelah Shiro pulang dari Eropa, di
kota Shikoku muncul wabah radang meningitis. Shiro pun membuktikan keahliannya
meredam wabah meningitis dengan membangun wahana penjernihan air. Berkat
keberhasilannya membereskan wabah secara efektif itu, nama Shiro semakin
populer sebagai pakar bakteriologi, khususnya di kalangan militer Jepang. Jalan
untuk menjadi peneliti dengan objek eksperiman berupa manusia hidup pun makin
terbuka lebar.
MANCHURIA CAMPAIGN
Ambisi militer Jepang untuk menguasai negara tetangga dimulai
dengan menyerbu Manchuria, Cina, pada akhir tahun 1931. Serbuan yang
dilancarkan oleh pasukan Kekaisaran Dai Nippon, Kwantung Army dan dipimpin oleh
Kepala Staf Kwantung Army, Jenderal Shigeru Honjo. Tidak hanya menguasai
wilayah perbatasan, namun juga langsung meluas ke wilayah pedalaman Cina.
Setelah sukses menguasai Cina, Jepang bahkan menguasai wilayah Indo-Cina yang
saat itu menjadi wilayah jajahan Perancis, dan kemudian menguasai wilayah
Korea. Akibat pendudukan wilayah jajahan itu, Jepang tidak hanya mendapat
sumber daya alam tetapi juga mendapatkan ratusan ribu tawanan perang dan tenaga
pekerja paksa yang berjumlah 4 juta jiwa.
Serbuan Pasukan Jepang ke Manchuria dan kawasan Indo-Cina segera
memicu protes Internasional yang kemudian menjadi cikal-bakal meletusnya perang
dunia ke-2 karena Jepang kemudian meluaskan kampanye militernya ke kawasan Asia
Timur. Demi menghadapi ekspansi militer yang semakin meluas itulah, program
senjata biologis Jepang mulai diwujudkan pada tahun 1932. Program pengembangan
senjata kuman yang dipimpin langsung oleh Ishii Shiro bersama 10 ilmuwan
lainnya itu bernama Laboraturium Pencegahan Epidemik dan berlokasi secara
rahasia di sekolah medis militer Tokyo serta satu unit lain yang berada di desa
terpencil Beinho, Harbin, Cina. Setelah program pengembangan senjata kuman
berjalan, Shiro mulai tak sabar untuk mempraktekkannya secara langsung, dengan
pengujian terhadap manusia hidup. Tapi jelas, tidak mungkin untuk menggunakan
warga Jepang untuk melakukan eksperimen tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan wahana praktek berupa manusia, pada
Agustus 1932 Shiro dan tim nya berkunjung ke Manchuria. Setelah kunjungan yang
bersifat studi banding itu, lokasi pabrik senjata kuman di Harbin akan
dijadikan sebagai pusat pengembangan dan penelitian. Sementara untuk uji coba untuk
manusia akan dibangun kamp rahasia di sepanjang sungai Pelvin, yang berjarak
sekitar 20km dari Harbin. Agar tidak mengundang kecurigaan warga di sekitar
lokasi, Shiro sengaja menyamarkan pabrik senjata kuman dan lokasi uji coba nya
sebagai Kamo Unit atau Kadang-kadang Togo Unit. Setelah kedua fasilitas yang
nantinya akan menjadi neraka bagi para tawanan Jepang itu didirikan, Shiro yang
mendapat banyak sekali dukungan dari kalangan pejabat tinggi militer Jepang
itu, kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel. Anggaran untuk Kamo
Unit pun dinaikkan secara drastis, menjadi 200,000 Yen per-tahun nya.
Di bawah Shiro yang
sangat ambisius dan berdarah dingin, program pengembangan senjata biologis di
Kamo Unit berkembang pesat. Kaisar Hiroshito pun turut mendukung program
pengembangan senjata biologis yang dipimpin Shiro dan memerintahkan untuk
membangun dua unit lainnya. Hiroshito turut antusias karena menurut
pemahamannya secara pribadi, program pengembangan senjata biologis akan
mendukung tingkat kesehatan bagi warganya dan bukan digunakan untuk berperang.
Unit pertama yang kemudian dibangun kemudian disamarkan sebagai wahana
pencegahan penyakit dan pemurnian air untuk kepentingan militer, Epidemic
Prevention and Water Purification Department of the Kuantung Army yang
pada awal PD II namanya diubah menjadi Unit 731.
MENYERANG AMERIKA SERIKAT
Protes yang dilontarkan AS kepada Jepang terkait masalah penggunaan senjata biologis ternyata sama sekali tidak digubris oleh Jepang. Pasukan Jepang yang merasa kewalahan ketika Pasukan AS akhirnya diterjunkan di PD II justru membuat Jepang berencana melancarkan serangan senjata biologis, dengan sasaran tepat ke daratan Amerika Serikat. Peralatan untuk melancarkan serangan senjata biologis bahkan sudah dibuat seperti ribuan balon berisi senjata kuman yang langsung dijatuhkan di atas udara kota San Diego, Amerika Serikat. Menurut para petinggi militer Jepang, balon yang akan diterbangkan ke AS memuat peranti untuk perang biologis dan dapat memunculkan wabah anthrax di seluruh wilayah Amerika Serikat. Sesuai rencana, balon terbang yang berisi senjata biologis itu dijatuhkan di wilayah pertanian dan peternakan dan wilayah-wilayah AS yang menjadi target utama serangan. Wilayah yang membentang di sepanjang Oregon hingga Michigan. Namun dalam uji coba nya, serangan tersebut sempat membunuh 7 orang warga negara AS, dan ternyata kurang efektif sehingga pelaksanaan nya ditunda.
Protes yang dilontarkan AS kepada Jepang terkait masalah penggunaan senjata biologis ternyata sama sekali tidak digubris oleh Jepang. Pasukan Jepang yang merasa kewalahan ketika Pasukan AS akhirnya diterjunkan di PD II justru membuat Jepang berencana melancarkan serangan senjata biologis, dengan sasaran tepat ke daratan Amerika Serikat. Peralatan untuk melancarkan serangan senjata biologis bahkan sudah dibuat seperti ribuan balon berisi senjata kuman yang langsung dijatuhkan di atas udara kota San Diego, Amerika Serikat. Menurut para petinggi militer Jepang, balon yang akan diterbangkan ke AS memuat peranti untuk perang biologis dan dapat memunculkan wabah anthrax di seluruh wilayah Amerika Serikat. Sesuai rencana, balon terbang yang berisi senjata biologis itu dijatuhkan di wilayah pertanian dan peternakan dan wilayah-wilayah AS yang menjadi target utama serangan. Wilayah yang membentang di sepanjang Oregon hingga Michigan. Namun dalam uji coba nya, serangan tersebut sempat membunuh 7 orang warga negara AS, dan ternyata kurang efektif sehingga pelaksanaan nya ditunda.
Sementara serangan bom kuman yang diangkut pesawat kamikaze
terlebih dahulu dikapalkan menggunakan kapal selam pengangkut pesawat. Ketika
perjalanan kapal selam sudah mendekati pantai AS, kapal selam muncul untuk
menerbangkan pesawat pengangkut bom kuman, khususnya bakteri pes yang akan
dijatuhkan di kawasan California. Serangan menggunakan kapal selam pengangkut
pesawat itu sebenarnya sempat digelar oleh unit 731 dalam operasi rahasia
bersandi 'Cherry Blossoms at Night' dengan target wilayah California Selatan
dan San Diego. Namun ketika kapal selam sedang berlayar menuju AS, PD II
ternyata telah berakhir.
Para awak kapal sendiri mendengar tentang momen penyerahan
Jepang kepada sekutu melalui radio. Semula para awak kapal selam tidak percaya
dan menganggap penyerahan tersebut hanyalah propaganda semata yang dilancarkan
AS. Namun ketika pengumuman penyerahan Jepang kepada sekutu dibacakan langsung
oleh Kaisar Hirohito, komandan kapal selam lalu memerintahkan untuk membatalkan
operasi tersebut lalu kembali ke Jepang. Kapal selam tersebut kemudian berhasil
dipergoki oleh patroli kapal perang AS dan selanjutnya diamankan di pangkalan
Angkatan Laut Amerika yang berada di Yokohama, Jepang. Namun yang belum
diketahui oleh Amerika adalah, ketika pasukan Jepang ditarik mundur dari Cina,
unit 731 sempat melepaskan hewan-hewan yang pernah dijadikan kelinci percobaan
dari eksperimen senjata biologis di sekitar wilayah Harbin. Akibat wabah
berbagai penyakit yang menyebar dari tahun 1946 hingga 1948 itu, sebanyak
30,000 orang tewas. Wabah penyakit menular itu bahkan sempat meluas dan
menyebar hingga ke wilayah Soviet.
Menyadari bahwa ancaman
senjata biologis yang dimiliki Jepang demikian berbahayanya, maka sewaktu
pasukan AS memutuskan mendarat di Jepang usai penyerahan diri Jepang, AS jadi
bersikap sangat hati-hati. Satu minggu setelah Jepang menyerah kepada sekutu,
unit Pasukan AS yang mendarat pertama kali di Jepang adalah unit yang dipimpin
oleh Kolonel Sanders dan misi utama nya adalah melokalisasi pabrik pembuatan
dan pengembangan senjata kuman. AS lalu menemukan Ishii Shiro yang pada akhir
PD II telah berpangkat Letnan Jenderal. Sejumlah pejabat tinggi yang pernah
bertugas dalam unit 731 lalu diinterogasi oleh Kolonel Sanders, namun Shiro
sendiri tidak berada di dalam rombongan para petinggi militer dan ilmuwan
Jepang yang ditawan AS. Kolonel Sanders sebetulnya kurang optimis dapat
menemukan Shiro, mengingat banyak pejabat tinggi militer Jepang cenderung lebih
memilih bunuh diri daripada ditangkap musuh hidup-hidup.
Kolonel Sanders lalu
menemui Jenderal Douglas MacArthur yang saat itu menjabat sebagai penguasa
militer untuk seluruh wilayah Jepang. Ketika Kolonel Sanders mengutarakan
niatnya bahwa seluruh petinggi unit 731 akan bekerjasama dalam pengembangan
senjata biologis asalkan tidak dikenai tuduhan sebagai penjahat perang dan
dibebaskan dari pengadilan militer, ternyata Jenderal MacArthur setuju. Pada
bulan September, Kolonel Sanders berhasil mengumpulkan para petinggi militer
yang terlibat di dalam unit 731. semua personil unit 731 kemudian diamankan
untuk kepetingan penyelidikan lebih lanjut. Setelah kurang lebih 10 minggu
bertugas di Jepang dalam rangka membungkam informasi terkait unit 731,
MacArthur lalu cepat-cepat memulangkan Kolonel Sanders ke Amerika. Sedangkan
perwira AS yang kemudian menggantikan Kolonel Sanders untuk menyelidiki unit
731 adalah Letkol Arvo T. Thompson agar mem-fokuskan perhatiannya pada bom
anthrax dan uji cobanya yang dilakukan terhadap manusia.
Ilustrasi kartun dalam gambar menunjukkan seorang dokter dalam eksperimen unit 731 membedah manusia hidup-hidup. Menurut sejarawan, sekitar 250.000 korban eksperimen termasuk lelaki, wanita, dan anak-anak menjadi korban kekejian eksperimen yang dilakukan Jepang. Sekitar 600 orang warga Cina menjadi kelinci percobaan di laboratorium rahasia Jepang di base kamp Pingfang. Ini belum termasuk uji coba keji lainnya seperti yang dilakukan Unit 100.
No comments:
Post a Comment