Saturday, 8 October 2016

Kekejaman Jepang - Eksperimen Unit 731


Unit 731 merupakan eksperimen penelitian biologis-kimia yang dulu dilakukan Tentara Imperialis Jepang. Eksperimen mengerikan dilakukan saat terjadi Perang Kedua Sino-Jepang (1937-1945) dimana saat itu Jepang menginvasi dataran utama Cina. Unit 731 bermarkas di Distrik Pingfang Harbin, kota terbesar di kota yang diduduki Cina (Manchukuo) yang sekarang menjadi bagian wilayah Cina Timur Laut.




Ketika Perang Dunia pertama berakhir pada tahun 1918, negara-negara yang semula terlibat perang dan berada di pihak yang kalah seperti negara Jerman dan Jepang, merasa menjadi korban yang paling dirugikan. Perasaan kalah itu jelas menimbulkan rasa malu dan sekaligus memunculkan ambisi untuk balas dendam. Layaknya orang yang ingin balas dendam, segala macam cara pun ditempuh meski cara tersebut bertentangan dengan rasa prikemanusiaan. Jalan pintas yang bertentangan dengan konvensi Jenewa pun dilanggar karena militer Jepang kemudian secara diam-diam mengembangkan senjata kuman dan menggunakannya di medan perang.
Pasca PD 1, Jepang langsung mengalami keterpurukan ekonomi dan untuk bangkit dari keterpurukan itu, hanya ada satu cara yang bisa ditempuh, mengobarkan kembali semangat Bushido (Samurai). Semangat Bushido yang bisa teruji lewat peperangan mau tak mau mengkondisikan Jepang menegakkan pilar militer dan dilanjutkan dengan ekspansi militer ke wilayah-wilayah terdekat. Hanya dengan cara itu perasaan inferior dan balas dendam akibat kalah perang bisa terobati. Keinginan balas dendam itu kemudian membuat baik Jepang maupun Jerman berubah menjadi negara militeristik dan siap mencaplok negara-negara tetangga. 
Jepang yang faktanya minim sumber daya alam mengalami banyak kesulitan ketika industri militer dan kebutuhan perekonomian nya sangat tergantung dari luar. Selain minim sumber daya alam, jumlah personel militer Jepang juga tidak besar sehingga ketika Jepang kemudian melakukan ekspansi, wilayah kekuasaanya pasti akan mengalami kesulitan untuk mengontrol setiap wilayah yang diduduki. Untuk menguasai wilayah jajahannya militer Jepang selalu menerapkan disiplin dan kebrutalan. Tindakan brutal diperlukan karena jumlah personel militer Jepang yang sedikit itu, harus mengontrol wilayah yang luas. Dengan tindakan brutal, diharapkan negara yang dijajah enggan untuk melakukan perlawanan. Tapi aksi kebrutalan itu dirasa tidak cukup karena hanya mampu memberikan efek jera dalam jangka pendek. Maka untuk menghemat tenaga dan mengelola wilayah jajahan dalam jangka panjang secara efektif, mulai lah muncul pemikiran ekstrem dari sejumlah tokoh militer Jepang. Salah satu solusi yang kemudian muncul tidak hanya mencerminkan kebrutalan tentara Jepang tapi senjata pemusnah massal yang dioperasikan tanpa perikemanusiaan. Sumber daya personel militer yang terbatas itu harus digantikan dengan senjata yang efektif untuk membunuh, yaitu senjata biologis.
Salah satu tokoh pioner Jepang yang kemudian ditugaskan untuk mendalami senjata biologis adalah Mayor Terunobu Hasebe bersama 40 ilmuwan lainnya. Tapi setelah setelah sekian tahun memimpin tim pembuat senjata kuman itu, perkembangan dari penelitian tim Hasebe belum menunjukkan hasil yang memuaskan sampai kemudian muncul seorang ilmuwan maniak Jepang, Ishii Shiro. Sebagai seorang dokter pendiam yang gemar meneliti organ tubuh manusia sekaligus perkembangan kuman, Shiro yang kerap membayangkan eksperimen manusia hidup merasa menemukan jalan terang.







Maka tidak aneh, Shiro yang lulus dari Kyoto University pada tahun 1920 itu memanfaatkan betul peluangnya sewaktu mendapat tawaran untuk mengembangkan kemampuan ilmunya untuk Angkatan Darat Jepang. Setelah sekitar 4 tahun bekerja untuk AD Jepang, sebagai seorang peneliti senjata biologis kemampuan Shiro dibidang ilmu bakteri ternyata sangat menonjol. Kecerdasan Shiro itu membuat AD Jepang terkagum-kagum dengan beliau sehingga memerintahkannya untuk mendalami ilmu bakteriologi di Kyoto University. Tahun 1927, Shiro yang memang cerdas dalam bidang tersebut berhasil meraih gelar Doktor (Phd) sekaligus menikahi puteri dari Torasaburo Akira yang saat itu menjabat sebagai rektor Universitas Kyoto. Tak lama kemudian Shiro yang berpangkat Kapten telah memiliki berbagai konsep temuan senjata biologis, kembali bergabung dengan militer Jepang. Kebetulan militer Jepang pada saat itu sudah bangkit kembali dan sedang semangat-semangatnya untuk menguasai negara-negara tetangga, Cina dan negara-negara lainnya di wilayah Asia Timur.
Demi kepentingan militer Jepang dan sekaligus melaksanakan misi mata-mata, Shiro kemudian diberi kesempatan untuk bertandang ke Eropa dan AS. Tujuan utama Shiro dan tim nya adalah mempelajari proyek pembuatan senjata biologis yang sedang dikembangkan Amerika Serikat, khususnya cara membuat hujan beracun, dan hujan kuning. Agar misi ini tidak menimbulkan kecurigaan, militer Jepang menyamarkan tugas rahasia Shiro dan timnya sebagai atase militer. Hanya butuh waktu 2 tahun bagi Shiro untuk malang-melintang di negara-negara Eropa dan AS. Mempelajari dan sekaligus menyerap program pengembangan senjata biologis. Sekembalinya dari Eropa dan AS, misi Shiro dan timnya yang dinilai sukses oleh militer Jepang tidak hanya membuat pangkatnya naik menjadi Mayor, tapi Shiro juga diberi keleluasaan untuk segera membangun industri senjata biologis.
Upaya Shiro untuk mendirikan industri senjata biologis ternyata mendapat tanggapan positif dari militer Jepang. Secara kebetulan tak lama setelah Shiro pulang dari Eropa, di kota Shikoku muncul wabah radang meningitis. Shiro pun membuktikan keahliannya meredam wabah meningitis dengan membangun wahana penjernihan air. Berkat keberhasilannya membereskan wabah secara efektif itu, nama Shiro semakin populer sebagai pakar bakteriologi, khususnya di kalangan militer Jepang. Jalan untuk menjadi peneliti dengan objek eksperiman berupa manusia hidup pun makin terbuka lebar.

MANCHURIA CAMPAIGN
Ambisi militer Jepang untuk menguasai negara tetangga dimulai dengan menyerbu Manchuria, Cina, pada akhir tahun 1931. Serbuan yang dilancarkan oleh pasukan Kekaisaran Dai Nippon, Kwantung Army dan dipimpin oleh Kepala Staf Kwantung Army, Jenderal Shigeru Honjo. Tidak hanya menguasai wilayah perbatasan, namun juga langsung meluas ke wilayah pedalaman Cina. Setelah sukses menguasai Cina, Jepang bahkan menguasai wilayah Indo-Cina yang saat itu menjadi wilayah jajahan Perancis, dan kemudian menguasai wilayah Korea. Akibat pendudukan wilayah jajahan itu, Jepang tidak hanya mendapat sumber daya alam tetapi juga mendapatkan ratusan ribu tawanan perang dan tenaga pekerja paksa yang berjumlah 4 juta jiwa.
Serbuan Pasukan Jepang ke Manchuria dan kawasan Indo-Cina segera memicu protes Internasional yang kemudian menjadi cikal-bakal meletusnya perang dunia ke-2 karena Jepang kemudian meluaskan kampanye militernya ke kawasan Asia Timur. Demi menghadapi ekspansi militer yang semakin meluas itulah, program senjata biologis Jepang mulai diwujudkan pada tahun 1932. Program pengembangan senjata kuman yang dipimpin langsung oleh Ishii Shiro bersama 10 ilmuwan lainnya itu bernama Laboraturium Pencegahan Epidemik dan berlokasi secara rahasia di sekolah medis militer Tokyo serta satu unit lain yang berada di desa terpencil Beinho, Harbin, Cina. Setelah program pengembangan senjata kuman berjalan, Shiro mulai tak sabar untuk mempraktekkannya secara langsung, dengan pengujian terhadap manusia hidup. Tapi jelas, tidak mungkin untuk menggunakan warga Jepang untuk melakukan eksperimen tersebut.








Untuk memenuhi kebutuhan wahana praktek berupa manusia, pada Agustus 1932 Shiro dan tim nya berkunjung ke Manchuria. Setelah kunjungan yang bersifat studi banding itu, lokasi pabrik senjata kuman di Harbin akan dijadikan sebagai pusat pengembangan dan penelitian. Sementara untuk uji coba untuk manusia akan dibangun kamp rahasia di sepanjang sungai Pelvin, yang berjarak sekitar 20km dari Harbin. Agar tidak mengundang kecurigaan warga di sekitar lokasi, Shiro sengaja menyamarkan pabrik senjata kuman dan lokasi uji coba nya sebagai Kamo Unit atau Kadang-kadang Togo Unit. Setelah kedua fasilitas yang nantinya akan menjadi neraka bagi para tawanan Jepang itu didirikan, Shiro yang mendapat banyak sekali dukungan dari kalangan pejabat tinggi militer Jepang itu, kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel. Anggaran untuk Kamo Unit pun dinaikkan secara drastis, menjadi 200,000 Yen per-tahun nya.
Di bawah Shiro yang sangat ambisius dan berdarah dingin, program pengembangan senjata biologis di Kamo Unit berkembang pesat. Kaisar Hiroshito pun turut mendukung program pengembangan senjata biologis yang dipimpin Shiro dan memerintahkan untuk membangun dua unit lainnya. Hiroshito turut antusias karena menurut pemahamannya secara pribadi, program pengembangan senjata biologis akan mendukung tingkat kesehatan bagi warganya dan bukan digunakan untuk berperang. Unit pertama yang kemudian dibangun kemudian disamarkan sebagai wahana pencegahan penyakit dan pemurnian air untuk kepentingan militer, Epidemic Prevention and Water Purification Department of the Kuantung Army yang pada awal PD II namanya diubah menjadi Unit 731.



MENYERANG AMERIKA SERIKAT

Protes yang dilontarkan AS kepada Jepang terkait masalah penggunaan senjata biologis ternyata sama sekali tidak digubris oleh Jepang. Pasukan Jepang yang merasa kewalahan ketika Pasukan AS akhirnya diterjunkan di PD II justru membuat Jepang berencana melancarkan serangan senjata biologis, dengan sasaran tepat ke daratan Amerika Serikat. Peralatan untuk melancarkan serangan senjata biologis bahkan sudah dibuat seperti ribuan balon berisi senjata kuman yang langsung dijatuhkan di atas udara kota San Diego, Amerika Serikat. Menurut para petinggi militer Jepang, balon yang akan diterbangkan ke AS memuat peranti untuk perang biologis dan dapat memunculkan wabah anthrax di seluruh wilayah Amerika Serikat. Sesuai rencana, balon terbang yang berisi senjata biologis itu dijatuhkan di wilayah pertanian dan peternakan dan wilayah-wilayah AS yang menjadi target utama serangan. Wilayah yang membentang di sepanjang Oregon hingga Michigan. Namun dalam uji coba nya, serangan tersebut sempat membunuh 7 orang warga negara AS, dan ternyata kurang efektif sehingga pelaksanaan nya ditunda.
Sementara serangan bom kuman yang diangkut pesawat kamikaze terlebih dahulu dikapalkan menggunakan kapal selam pengangkut pesawat. Ketika perjalanan kapal selam sudah mendekati pantai AS, kapal selam muncul untuk menerbangkan pesawat pengangkut bom kuman, khususnya bakteri pes yang akan dijatuhkan di kawasan California. Serangan menggunakan kapal selam pengangkut pesawat itu sebenarnya sempat digelar oleh unit 731 dalam operasi rahasia bersandi 'Cherry Blossoms at Night' dengan target wilayah California Selatan dan San Diego. Namun ketika kapal selam sedang berlayar menuju AS, PD II ternyata telah berakhir.
Para awak kapal sendiri mendengar tentang momen penyerahan Jepang kepada sekutu melalui radio. Semula para awak kapal selam tidak percaya dan menganggap penyerahan tersebut hanyalah propaganda semata yang dilancarkan AS. Namun ketika pengumuman penyerahan Jepang kepada sekutu dibacakan langsung oleh Kaisar Hirohito, komandan kapal selam lalu memerintahkan untuk membatalkan operasi tersebut lalu kembali ke Jepang. Kapal selam tersebut kemudian berhasil dipergoki oleh patroli kapal perang AS dan selanjutnya diamankan di pangkalan Angkatan Laut Amerika yang berada di Yokohama, Jepang. Namun yang belum diketahui oleh Amerika adalah, ketika pasukan Jepang ditarik mundur dari Cina, unit 731 sempat melepaskan hewan-hewan yang pernah dijadikan kelinci percobaan dari eksperimen senjata biologis di sekitar wilayah Harbin. Akibat wabah berbagai penyakit yang menyebar dari tahun 1946 hingga 1948 itu, sebanyak 30,000 orang tewas. Wabah penyakit menular itu bahkan sempat meluas dan menyebar hingga ke wilayah Soviet.

Menyadari bahwa ancaman senjata biologis yang dimiliki Jepang demikian berbahayanya, maka sewaktu pasukan AS memutuskan mendarat di Jepang usai penyerahan diri Jepang, AS jadi bersikap sangat hati-hati. Satu minggu setelah Jepang menyerah kepada sekutu, unit Pasukan AS yang mendarat pertama kali di Jepang adalah unit yang dipimpin oleh Kolonel Sanders dan misi utama nya adalah melokalisasi pabrik pembuatan dan pengembangan senjata kuman. AS lalu menemukan Ishii Shiro yang pada akhir PD II telah berpangkat Letnan Jenderal. Sejumlah pejabat tinggi yang pernah bertugas dalam unit 731 lalu diinterogasi oleh Kolonel Sanders, namun Shiro sendiri tidak berada di dalam rombongan para petinggi militer dan ilmuwan Jepang yang ditawan AS. Kolonel Sanders sebetulnya kurang optimis dapat menemukan Shiro, mengingat banyak pejabat tinggi militer Jepang cenderung lebih memilih bunuh diri daripada ditangkap musuh hidup-hidup.

Kolonel Sanders lalu menemui Jenderal Douglas MacArthur yang saat itu menjabat sebagai penguasa militer untuk seluruh wilayah Jepang. Ketika Kolonel Sanders mengutarakan niatnya bahwa seluruh petinggi unit 731 akan bekerjasama dalam pengembangan senjata biologis asalkan tidak dikenai tuduhan sebagai penjahat perang dan dibebaskan dari pengadilan militer, ternyata Jenderal MacArthur setuju. Pada bulan September, Kolonel Sanders berhasil mengumpulkan para petinggi militer yang terlibat di dalam unit 731. semua personil unit 731 kemudian diamankan untuk kepetingan penyelidikan lebih lanjut. Setelah kurang lebih 10 minggu bertugas di Jepang dalam rangka membungkam informasi terkait unit 731, MacArthur lalu cepat-cepat memulangkan Kolonel Sanders ke Amerika. Sedangkan perwira AS yang kemudian menggantikan Kolonel Sanders untuk menyelidiki unit 731 adalah Letkol Arvo T. Thompson agar mem-fokuskan perhatiannya pada bom anthrax dan uji cobanya yang dilakukan terhadap manusia.




Ilustrasi kartun dalam gambar menunjukkan seorang dokter dalam eksperimen unit 731 membedah manusia hidup-hidup. Menurut  sejarawan, sekitar 250.000 korban eksperimen termasuk lelaki, wanita, dan anak-anak menjadi korban kekejian eksperimen yang dilakukan Jepang. Sekitar 600 orang warga Cina menjadi kelinci percobaan di laboratorium rahasia Jepang di base kamp Pingfang. Ini belum termasuk uji coba keji lainnya seperti yang dilakukan Unit 100. 




No comments:

Post a Comment