Perang Sipil Ukraina yang berkecamuk saat ini merupakan
Perang Saudara hasil dari drama sebuah pergulatan di panggung politik yang
dimainkan oleh dua kubu politik yang berbeda. Di satu sisi ada kelompok Pro
Kiev yang tergila-gila dengan Barat dengan sistem demokrasinya, disatu sisi
terdapat kelompok politik konservatif yang terang-terangan menginginkan
kembalinya Ukraina ke pangkuan Rusia seperti masa kejayaan Uni Soviet
terdahulu. Dilihat dari peta geopolitik keseluruhan wilayah Ukraina,
diperkirakan sekitar 65% populasi Ukraina condong ke Barat, sedangkan 35%
sisanya menginginkan Ukraina agar lebih dekat ke Rusia. Perlu diingat bahwa
rasio 65% - 35% adalah murni merupakan kesimpulan Penulis dari persentase total
populasi masyarakat Ukraina dilihat dari peta populasi yang menggambarkan
apakah penduduk Ukraina berbahasa ibu Rusia atau tidak. Karena seseorang yang memakai bahasa Rusia di
Ukraina sebenarnya masih sangat erat kaitannya dengan Rusia (Uni Soviet), atau
bisa jadi merupakan warga Rusia itu sendiri yang berada di wilayah Ukraina namun
setelah bubarnya Uni Soviet, mereka yang berbahasa Rusia itu pun terpaksa
menduduki wilayah pecahannya dengan status kewarganegaraan baru yang berstatus
warga negara Ukraina. Namun kita tidak akan membahas secara detail mengenai
topik perhitungan populasi ini dan keterkaitan historis mereka atas Rusia,
namun lebih fokus kepada Perang Sipil itu sendiri yang terjadi di dua wilayah
dengan konsentrasi pertempuran terpadat- Luhanks dan Donetsk.
Dua wilayah yang
disebutkan tadi- Luhanks dan Donetsk, merupakan wilayah terseksi bagi kedua
belah pihak dalam melancarkan pertempuran bersenjata. Intensitas pertempuran di
dua wilayah ini berawal dari yang sekedar pergulatan politik semata, kemudian
dengan cepat beralih ke konflik bersenjata yang militeristik. Rusia nampaknya
cukup paham bahwa dua wilayah ini tidak boleh jatuh ke tangan rezim berkuasa
Kiev, namun pertanyaan selanjutnya adalah seberapa pentingkah sebenarnya kedua
wilayah ini?
Ada beberapa alasan mengapa Rusia tidak ingin melepaskan
kedua wilayah ini. Pertama, baik Luhanks dan Donetsk merupakan wilayah yang
berbatasan langsung dengan Rusia. Hal itu membuat Putin dengan mudah menyuplai
berbagai logistik seperti senjata, peluru, kendaraan lapis baja dan Tank ke
banyak kelompok milisi lokal yang bertempur secara tidak langsung demi
kepentingan nasional Rusia. Kedua, populasi di Luhanks dan Donetsk merupakan
populasi dimana hampir 90% masyarakatnya berbahasa Rusia, secara historis
merasa dekat ke Rusia, atau setidaknya menginginkan Luhanks dan Donetsk menjadi
daerah otonom lepas dari pengaruh rezim Kiev yang pro Barat. Otomatis secara
politik hal itu sangat menguntungkan Putin dengan agenda besarnya menyatukan
kembali Ukraina ke dalam pangkuan Rusia.
Ketiga, dari perspektif logika militer, jelas suatu invasi militer darat
harus terlebih dahulu bisa merebut dan menguasai daerah-daerah di perbatasan, kemudian
perlahan-lahan mulai menginvasi daerah-daerah selanjutnya hingga ke dalam
wilayah musuh. Memang bisa secara langsung militer Rusia melakukan serangan
udara ke jantung pemerintahan Kiev tanpa menyentuh daerah-daerah pinggiran,
namun jelas akan sangat beresiko mengingat semakin masuk ke dalam- terutama di
wilayah-wilayah seperti Odessa, Mykolaiv, dan Dnipropertrovsk, maka sistem
pertahanan udara Ukraina dan keberadaan pasukan daratnya jelas akan menjadi
ancaman tersendiri, terutama bagi kekuatan kelompok-kelompok milisi lokal. Keempat,
kedua wilayah ini merupakan pintu masuk bagi kekuatan kelompok milisi asing
pro-Rusia yang sengaja disusupkan melalui jalur darat di perbatasan. Kekuatan
separatis asing yang terbentuk di wilayah ini diantaranya berasal dari milisi
Chechnya, Yunani, Polandia, Hungaria, Serbia, Latvia, Armenia, dan
negara-negara lain yang sengaja masuk ke medan pertempuran dengan membawa sejarah
pengalaman perang mereka di masa lalu.
DPR
Forces adalah istilah yang dialamatkan kepada milisi lokal Donbass. Milisi ini
terbentuk dari elemen warga sipil, yang kemudian terpaksa mengangkat senjata
dan bertempur melawan militer Ukraina di wilayah Ukraina Timur, Donbass.
Pemerintah dan militer Ukraina terang-terangan menyebut unit-unit lokal ini
sebagai kelompok teroris yang secara intens mendapatkan dukungan logistik dari
Rusia. DPR ini berada dibawah payung Angkatan Bersenjata Novorossiya, dimana AB
Novorossiya ini memiliki unit-unit militan lain yang bertempur secara gerilya
seperti Batalion Sparta, Batalion Somalia, dan Batalion Vostok. Bersama dengan
Pasukan elite Rusia yang secara langsung melatih mereka sekaligus menjadi unit recon (intai), milisi-milisi lokal ini sering bertempur secara direct
digaris depan.
Atas fakta-fakta diatas, maka
sudah lazim bagi Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mempertimbangkan kedua
wilayah tadi, sebagai wilayah strategis yang harus diduduki dan ditaklukkan
secara militer secepatnya. Langkah pertama yang dilakukan untuk mewujudkan
ambisi besar tersebut ialah upaya Aneksasi Rusia yang dilakukan atas wilayah
Crimea, Ukraina, pada 2014 silam. Aneksasi Putin terhadap Crimea dilakukan
tanpa perlawanan dan pertumpahan darah sedikitpun, meski demikian, aneksasi
tersebut membawa konsekuensi politik yang besar bagi Rusia itu sendiri. Konsekuensi
politik itu datang dari banyak kelompok yang sudah sejak lama berseberangan
dengan Rusia- negara-negara Barat, negara aliansi NATO, dan negara-negara
Baltik yang bersimpati dengan Barat. Belum lagi konsekusensi lanjutan berupa
konflik bersenjata yang berlarut-larut yang sampai sekarang sudah memakan lebih
dari 14.000 korban jiwa warga sipil.
Aneksasi tersebut membuat Benua Eropa tersentak kaget.
Negara-negara Eropa yang diibaratkan sedang tertidur pulas, tiba-tiba
dibangunkan oleh Rusia atas insiden tersebut. Para pengamat militer mengatakan
bahwa Aneksasi Crimea itu merupakan aksi pengambil-alihan dan pendudukan
wilayah terbesar yang pertama kali dilakukan di Benua Eropa sejak Perang Dunia
II. Putin secara cerdik melihat banyak faktor sebelum melakan Aneksasi itu-
diantaranya faktor geopolitik, historis, serta kekuatan diplomatik Ukraina di
kancah internasional. Putin mencermati bahwa Ukraina terlalu lemah baik dalam
diplomasi internasional, pengaruh diplomatik regional, maupun dalam hal kekuatan
militer. Belum lagi korupsi menggurita di kubu pemerintahan dan militer Ukraina
itu sendiri. Hal itu benar-benar dimanfaatkan secara maksimal oleh Putin-
dengan realisasi berupa Aneksasi tersebut.
Walaupun Ukraina sesumbar mengatakan bahwa Crimea akan
segera balik ke pangkuan Kiev, namun banyak pengamat yang meragukannya. Mereka
menganggap bahwa sangat sulit bagi Ukraina untuk mengambil kembali Crimea
dilihat dari perspektif manapun mengingat kekuatan Ukraina sangat lemah baik
dalam hal diplomatik, ekonomi, maupun militer. Ukraina juga masih sangat
bergantung kepada Rusia secara ekonomi. Dan masalah-masalah sosial seperti
kemiskinan dan penangguran juga cukup besar di Crimea dan menjadi suatu pertimbangan
tersendiri. Meskipun terlihat mustahil, namun Ukraina terus mendapatkan
dukungan diplomatik dan politik baik dari negara-negara UE, NATO dan Amerika
Serikat. Walaupun banyak pengamat yang mengatakan bahwa keinginan Ukraina untuk
bergabung dengan NATO tidak bisa diwujudkan secepatnya. Perlu pertimbangan dan
analisis geopolitik yang mendalam bagi NATO agar memampukannya untuk menerima Ukraina
sebagai anggota tetapnya. NATO juga tidak mau begitu saja menerima Ukraina
hanya karena Ukraina ingin segera mencari perlindungan militer NATO atas
konflik bersenjatanya dengan Rusia, tanpa Ukraina membawa kontribusi positif
yang signifikan bagi organisasi NATO itu sendiri, baik kontribusi geopolitik,
diplomatik, maupun dari perspektif kekuatan militer. Itulah mengapa Sekretaris
Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan bahwa NATO akan tetap menjadi partner
bagi Ukraina, NATO mendukung model pemerintahan demokrasi yang ada di Ukraina,
namun tidak menjanjikan dengan gegabah bahwa
Ukraina akan menjadi anggota tetap NATO dikemudian hari. Sikap kehati-hatian atas
rekrutmen anggota tetap NATO itu menjadi suatu keharusan meskipun NATO paham
betul bahwa kemungkinan besar invasi militer Rusia atas seluruh wilayah Ukraina
akan terwujud, setidaknya itulah yang ditakutkan banyak pihak. Nampaknya NATO
memiliki taktiknya sendiri dalam menghadapi ancaman Rusia tersebut, yakni memperkuat
kekuatan pasukan militer dan sistem pertahanan di negara-negara NATO yang
berdekatan dengan wilayah Ukraina dan Rusia. Dengan begitu NATO akan mampu
terus mengawasi dari dekat perkembangan peta kekuatan militer Rusia di kawasan
regional.
Yang jelas, setelah Aneksasi berhasil diwujudkan. Putin
kini menuntut agar NATO menjauh dari negara-negara Balkan, Eropa Timur, dan
negara-negara bekas Uni Soviet, terutama Ukraina. Hal itu termasuk tuntutan agar
NATO segera menjauhkan sistem pertahanan udara dan konsentrasi pasukan darat NATO
di negara-negara Eropa Timur, termasuk latihan militer rutin yang sering
dilakukan NATO. Rusia menuntut NATO untuk tidak lagi memberikan status
keanggotaan tetap bagi negara-negara bekas Uni Soviet, namun tuntutan itu
ditertawakan NATO. NATO beralasan bahwa setiap negara memiliki potensi untuk
menjadi anggota NATO dan NATO menghargai upaya mereka untuk menjadi bagian dari
NATO. Rusia juga menuntut agar AS dan NATO untuk menaati himbauan untuk segera
menjauh dari wilayah-wilayah pinggiran Rusia yang sangat menjadi prioritas
utama Rusia terkait stabilitas keamanan dan pertahanan diwilayah tersebut.
Dilihat dari mau kemana arah kebijakan Putin atas Ukraina, bisa tercermin dari
seberapa geram dan khawatirnya Putin atas keberadaan kekuatan NATO di kawasan
regional. Begitu gusarnya hingga Putin menempatkan konsentrasi banyak kekuatan
militernya di perbatasan- diperkirakan berjumlah 100.000 pasukan darat beserta
Alutsista militernya.
Gambar
diambil dari geoawesomeness.com- negara-negara biru tua merupakan anggota tetap
NATO yang memiliki status FIU (Force Integration Units)- diantaranya Estonia, Latvia,
Lithuania, Polandia, Slovakia, Hungaria, Romania dan Bulgaria. Dengan status
FIU tersebut, itu berarti kedelapan negara itu mampu menggelar pasukan NATO dengan jumlah banyak dalam kurun waktu kurang dari 24 jam ke titik-titik hot
zone (zona perang). Sedangkan negara-negara berwarna biru muda merupakan
anggota NATO tetap tapi tidak memiliki kemampuan penggelaran pasukan gerak
cepat. Sedangkan warna merah merupakan konsentrasi pasukan Rusia. Sedangkan
lingkaran-lingkaran kecil biru-merah, merupakan lokasi latihan militer baik
yang dilakukan NATO maupun Rusia. Dan konsentrasi latihan militer intens yang
sering dilakukan NATO berada di Estonia, Latvia, dan Lithuania yang sangat
dekat dengan wilayah Rusia, nampaknya hal itu yang membuat Putin marah besar.
Apa yang sebenarnya terjadi di Ukraina? Benarkah ini
merupakan konflik yang tak akan bisa diselesaikan? Dan kemana arah kebijakan
Putin selanjutnya- apakah bersikeras dengan retorika-retorika politik-historisnya
yang jelas-jelas mengancam stabilitas keamanan negara-negara Eropa? Tunggu tulisan-tulisan mendalam selanjutnya,
No comments:
Post a Comment