“Gerilyawan
harus terus bergerak layaknya ikan yang tanpa henti berenang di lautan.” -
Mao Zedong
“Pertempuran
gerilya ialah perlawanan rakyat, suatu upaya untuk menerapkan taktik semacam
ini tanpa dukungan rakyat sama saja dengan bunuh diri.”
-
Che Guava
Di zaman yang serba cepat dan canggih, informasi sudah
bukan lagi uang, melainkan emas. Ungkapan Information
is Gold nampaknya tidak hanya diterapkan di dunia bisnis dan ekonomi semata,
melainkan juga dunia militer. Inilah sebenarnya esensi sejati dari taktik
pertempuran gerilya, dengan mendapatkan informasi atas lokasi musuh, kita mengolah
informasi tersebut dan kemudian melakukan manuver ofensif dengan lebih leluasa
berdasarkan informasi yang didapat. Taktik Guerrilla
Warfare (Pertempuran Gerilya) ini seringkali terlalu dianggap remeh oleh
Pasukan konvensional yang dimiliki oleh suatu negara, terlepas dari negara
manapun itu. Padahal bagi kelompok-kelompok militan bersenjata, entah apapun
ideologi mereka, taktik GW ini sangat menguntungkan mereka dan secara
psikologis berdampak pada penurunan moril pasukan musuh seiring dengan
berjalannya waktu dan banyaknya korban jiwa dari pihak musuh yang berjatuhan. Perang
Asimetris yang menguntungkan ini jelas sangat digemari oleh kelompok kelompok
militan kecil, walau secara politik tidak akan memberikan dampak signifikan
terhadap tuntutan atau keinginan mereka selama ini. Setidaknya hal itu dapat
mengguncang kekuatan militer dari segi jatuhnya korban jiwa secara konsisten,
walaupun tidak menjadikan kekuatan organisasi militer tersebut lemah secara
signifikan, tapi merupakan pukulan telak jika dilihat dari perspektif Psychological Warfare (Pertempuran
psikologis/moril).
Kelompok-kelompok militan bersenjata yang dicap teroris seperti
Al-Qaeda dan Taliban memakai taktik pertempuran gerilya dalam peperangan. Dalam
konflik bersenjata di Donbass, Ukraina Timur, kelompok-kelompok separatis
seperti Brigade Kalmius, Brigade Oplot, Brigade Vostok, dan milisi-milisi dari
LPR- juga memanfaatkan pengetahuan taktik gerilya mereka dalam menghadapi
superioritas kekuatan Tentara Ukraina.
Di Indonesia, ada GAM, OPM, dan kelompok MIT Santoso yang memanfaatkan taktik ini dalam pertempuran. Dan yang paling sukses belakangan ini ialah OPM yang menghajar habis-habisan Pasukan reguler TNI dalam pertempuran gerilya di Papua. Meskipun tidak dirilis oleh media dan TNI pun tidak memberikan statistik jumlah korban jiwa dari pihak TNI secara keseluruhan, namun Penulis menyakini bahwa tiap tahunnya ada sekitar 40-60 personel TNI yang tewas oleh “sergapan” gerilya kelompok OPM Papua. Itu berarti dalam 10 tahun terakhir saja ada sekitar 500-600 personel TNI yang tewas sia-sia di tangan OPM. Hal itu bukan berarti TNI kalah ataupun tidak paham cara menghadapinya, tapi lebih kepada ada banyak satuan-satuan konvensional didalam TNI yang memang memiliki kemampuan berperang, namun tidak memiliki mobilitas yang cukup tinggi untuk menangkal ancaman teror gerilya yang sangat intens. Entah TNI selama ini menganggap remeh taktik gerilya semacam ini ataukah Panglima TNI yang menahan diri karena tersandera oleh retorika politik Presiden yang menekankan kehati-hatian dari sorotan HAM dan dunia internasional? Who knows? Yang jelas, taktik seperti ini tidak bisa dilawan oleh kekuatan militer reguler/konvensional semata- terbukti dari keberhasilan kasus-kasus penyergapan dan pembunuhan OPM terhadap TNI yang ada di Papua. Dan menurut penulis, OPM sudah dengan sangat cerdik berhasil memainkan keseluruhan permainan dari Pertempuran Hybrid (Hybrid Warfare) ini.
Dan perlu pembaca pahami bahwa Penulis tidak memakai istilah "KKB" (Kelompok Kriminal Bersenjata) atau "OTK" (Orang Tak Dikenal) lantaran kedua istilah tersebut sangat bernuansa politis. Penulis merasa tidak cocok kelompok separatis OPM yang sering menebar teror dan bergerilya hanya disebut sebagai "kelompok bersenjata" yang pada akhirnya kasusnya dianggap sebagai ancaman bersenjata yang masuk ranah pidana sipil, bukannya ancaman separatis bersenjata yang memang harus melibatkan militer di garis depan. Bayangkan jika GAM hanya dianggap sebagai kelompok penjahat bersenjata biasa yang cukup polisi yang menanganinya, faktanya sama seperti OPM, GAM adalah kelompok separatis yang sejak dulu berusaha ditumpas oleh TNI. Penanganan terhadap GAM dan OPM pun cukup berbeda dimana TNI tidak segan-segan melakukan operasi militer skala besar di Aceh, sedangkan di Papua, militer dan Presiden tahu bahwa kasus OPM dan kemerdekaan papua ini sangat sensitif. Ibarat bom waktu yang dimana kita tidak benar-benar tahu kapan meledaknya, namun jika itu meledak, Jelas Papua dipertaruhkan disini. Kita jangan menanggap sepele masalah separatisme di Papua, karena kita tahu kemampuan diplomasi dan lobi-lobi internasional Indonesia cukup rendah dan tidak bisa disamakan jika dibandingkan negara-negara adidaya seperti AS dan Cina.
Terkait taktik gerilya ini, ada dua cara untuk mendapatkan
ilmu taktik pertempuran gerilya (GW) ini- yang pertama; ialah mendapatkannya
langsung dengan cara bertempur di medan konflik bersenjata (cara praktis).
Kedua, mendapatkan ilmunya dari sekolah pendidikan kemiliteran yang mengajarkan
taktik pertempuran komando dan menerapkannya dalam setiap latihan secara intens
(cara teoritis dan praktis). Kedua cara tersebut bertujuan untuk mendapatkan
hasil yang sama- tidak ada retorika soal mana metode yang paling baik.
Dan
semakin hari sejak Perang Dunia II, institusi-institusi militer di berbagai
belahan dunia mulai perlahan-lahan menerapkan ilmu mengenai pertempuran gerilya
dan serta cara menangkalnya. Amerika Serikat dengan sistem pendidikan di
sekolah pertempuran komando lanjutan SWCS mengajarkan taktik pertempuran lanjutan
Unconventional Warfare (Pertempuran
non-konvensional) ini kepada unit elite Angkatan Darat Delta Force-nya, Pasukan
elite AS lainnya Navy SEAL menempuhnya melalui pendidikan militer lanjutan Naval Special Warfare, Inggris memiliki
unit elite SAS British, Jerman dengan unit komando KSK-nya, sedangkan TNI
menyiasatinya dengan program skill upgrade
yang ada di jajaran Kostrad dengan memberikan kualifikasi Raider di jajaran
Kostrad yang memungkinkan satuan konvensional tersebut memiliki pengetahuan
taktis pertempuran gerilya (dan anti-gerilya) dan pertempuran menghadapi
ancaman teror (operasi anti-teror). Walaupun memang TNI memiliki unit-unit
elite komando non-konvensional yang sudah berpengalaman menghadapi taktik
anti-gerilya semacam itu (Kopassus, Paskhas, Kopaska). Intinya semua unit-unit
elite maupun unit konvensional militer dengan kualifikasi khusus banyak negara
di dunia sebenarnya sudah paham akan taktik semacam ini. Namun tetap saja tidak
membuat surut perlawanan dari kelompok gerilyawan tersebut.
Untuk menanggulangi kesulitan pertempuran gerilya ini, maka tiap-tiap pendidikan militer di berbagai belahan dunia membuat sesi khusus pendidikan perihal upaya mengatasi ancaman dari taktik gerilya tersebut. Bahkan unit-unit elite matra laut seperti Kopaska maupun SBS British sudah dibekali kemampuan tempur gerilya bahkan jika sejatinya mereka adalah unit-unit tempur Angkatan Laut dan sering difokuskan mengatasi ancaman laut; entah itu pembajakan kapal, ancaman bersenjata di garis pantai, dan lain-lain. Pasukan Kostrad pun di upgrade kemampuan tempurnya dengan kualifikasi radier ini, selain untuk menghadapi ancaman taktik gerilya, juga untuk memampukan mereka bertempur di medan pertempuran yang lama dan melelahkan.
Terlihat di gambar, prajurit elite Army Ranger AD AS secara seksama mengikuti arahan pelatih saat pendidikan khusus untuk menghadapi ancaman gerilya dan kelompok teroris bersenjata di sekolah kemiliteran di US Army Ranger School. Bagi Navy
SEAL, mereka berlatih di Naval Special Warfare Command. SAS British dan SBS British yang dimiliki Inggris pun lebih intens lagi perihal pemberian materi pendidikan pertempuran gerilya dan anti-gerilya semacam ini.
Tiga
poin utama yang harus dipahami dari taktik GW ini ialah; mobility (kecepatan ruang gerak), tracking (penjejakan/mencari jejak), dan survivability (kemampuan bertahan hidup). Kebanyakan unit-unit
reguler di militer hanya memiliki salah satu dari tiga poin diatas. Poin
tambahan keempat adalah power yang
mengindikasikan seberapa kuat unit ini dalam menghajar musuh. Perlu diketahui
bahwa angka-angka dibawah ini adalah korelasi atas kemampuan tempur dan
bertahan hidupnya dalam konteks Pertempuran Gerilya, bukan dalam konteks
pertempuran secara umum, aksi pembebasan sandera, maupun pertempuran kota (Urban Warfare). Sedangkan power disini ialah seberapa efektif kemampuan
unit tersebut dalam membasmi militan atau gerilyawan bersenjata.
Di
list ini saya sertakan juga satuan Brimob karena unit sipil kepolisian ini
dulunya pernah terlibat digaris depan dalam Operasi Tinombala- operasi Jungle Warfare (Pertempuran Hutan) yang
seharusnya perlu pelibatan pasukan militer berkualifikasi khusus yang paham peperangan
anti-gerilya- sekaligus bisa kita lihat dan bandingkan langsung kemampuan
tempurnya dan seberapa efektifnya unit tersebut dalam peperangan Jungle Warfare dengan unit militer lain.
Dan perlu dijelaskan disini bahwa Brimob sama sekali bukan unit militer maupun
semi-militer karena sama sekali tidak menempuh pendidikan dasar militer, tidak memahami
kemampuan navigasi hutan, maupun pertempuran taktis anti-gerilya. Setelah
Penulis mengkaji, Penulis mengkategorikan Brimob sebagai unit sipil Kepolisian.
Bahkan satuan anti-teror Densus 88 masih Penulis anggap sebagai satuan sipil Law Enforcement dalam bidang anti-teror,
bahkan bukan juga unit semi-militer. Berbeda dengan satuan Delta Force Amerika
Serikat yang walaupun ia merupakan unit anti teror layaknya Densus 88, namun
Delfa Force ini adalah unit elite militer yang memiliki pengetahuan dan
kemampuan mendalam peperangan hutan dan taktik perang gerilya. Kemampuan taktis
anti-teror Delta Force ini bahkan jauh diatas unit elite kepolisian anti-teror
sekalipun, agar pembaca tidak salah paham.
Beberapa
unit-unit militan juga saya sertakan disini.
US Delta Force:
1. Mobility : 80%
2. Tracking : 70%
3. Survivability : 75%
4. Power :
80%
5. Known
for : Anti-terror
unit
US Green Berets:
1. Mobility : 90%
2. Tracking : 90%
3. Survability : 90%
4. Power :
90%
5. Known
for : Anti-Guerrilla
Specialist
US Navy SEAL:
1. Mobility : 85%
2. Tracking : 90%
3. Survability : 85%
4. Power :
85%
5. Known
for : Desert and Naval Warfare
SAS British:
1. Mobility : 90%
2. Tracking : 80%
3. Survability : 85%
4. Power :
90%
5. Known
for : Anti-terror
unit
Operator Spetsnaz SOF Rusia
1. Mobility : 95%
2. Tracking : 85%
3. Survability : 85%
4. Power : 90%
5. Known
for : Jungle
Warfare
Kostrad Raider-Qualified (Satuan Kostrad berkualifikasi Raider)
1. Mobility : 85%
2. Tracking : 75%
3. Survability : 80%
4. Power :
85%
5. Known
for : Jungle
Warfare
Paskhas AU;
1. Mobility : 90%
2. Tracking : 85%
3. Survability : 90%
4. Power :
90%
5. Known
for : Airborne
Special Operations
Brimob POLRI
1. Mobility : 35%
2. Tracking : 30%
3. Survability : 55%
4. Power : 50%
5. Known
for : Anti-riot
special unit
OPM Papua
1. Mobility : 70%
2. Tracking : 50%
3. Survability : 70%
4. Power : 65%
5. Known
for : hit-and-run
specialist
Taliban
1. Mobility : 70%
2. Tracking : 60%
3. Survability : 70%
4. Power : 60%
5. Known
for : Aggressive
combatant