.do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none; }

Wednesday, 29 December 2021

Pentingnya kemampuan tempur gerilya

 

“Gerilyawan harus terus bergerak layaknya ikan yang tanpa henti berenang di lautan.”             - Mao Zedong

 

“Pertempuran gerilya ialah perlawanan rakyat, suatu upaya untuk menerapkan taktik semacam ini tanpa dukungan rakyat sama saja dengan bunuh diri.”

- Che Guava

 

 

          Di zaman yang serba cepat dan canggih, informasi sudah bukan lagi uang, melainkan emas. Ungkapan Information is Gold nampaknya tidak hanya diterapkan di dunia bisnis dan ekonomi semata, melainkan juga dunia militer. Inilah sebenarnya esensi sejati dari taktik pertempuran gerilya, dengan mendapatkan informasi atas lokasi musuh, kita mengolah informasi tersebut dan kemudian melakukan manuver ofensif dengan lebih leluasa berdasarkan informasi yang didapat. Taktik Guerrilla Warfare (Pertempuran Gerilya) ini seringkali terlalu dianggap remeh oleh Pasukan konvensional yang dimiliki oleh suatu negara, terlepas dari negara manapun itu. Padahal bagi kelompok-kelompok militan bersenjata, entah apapun ideologi mereka, taktik GW ini sangat menguntungkan mereka dan secara psikologis berdampak pada penurunan moril pasukan musuh seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya korban jiwa dari pihak musuh yang berjatuhan. Perang Asimetris yang menguntungkan ini jelas sangat digemari oleh kelompok kelompok militan kecil, walau secara politik tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap tuntutan atau keinginan mereka selama ini. Setidaknya hal itu dapat mengguncang kekuatan militer dari segi jatuhnya korban jiwa secara konsisten, walaupun tidak menjadikan kekuatan organisasi militer tersebut lemah secara signifikan, tapi merupakan pukulan telak jika dilihat dari perspektif Psychological Warfare (Pertempuran psikologis/moril).  

          Kelompok-kelompok militan bersenjata yang dicap teroris seperti Al-Qaeda dan Taliban memakai taktik pertempuran gerilya dalam peperangan. Dalam konflik bersenjata di Donbass, Ukraina Timur, kelompok-kelompok separatis seperti Brigade Kalmius, Brigade Oplot, Brigade Vostok, dan milisi-milisi dari LPR- juga memanfaatkan pengetahuan taktik gerilya mereka dalam menghadapi superioritas kekuatan Tentara Ukraina.

Di Indonesia, ada GAM, OPM, dan kelompok MIT Santoso yang memanfaatkan taktik ini dalam pertempuran. Dan yang paling sukses belakangan ini ialah OPM yang menghajar habis-habisan Pasukan reguler TNI dalam pertempuran gerilya di Papua. Meskipun tidak dirilis oleh media dan TNI pun tidak memberikan statistik jumlah korban jiwa dari pihak TNI secara keseluruhan, namun Penulis menyakini bahwa tiap tahunnya ada sekitar 40-60 personel TNI yang tewas oleh “sergapan” gerilya kelompok OPM Papua. Itu berarti dalam 10 tahun terakhir saja ada sekitar 500-600 personel TNI yang tewas sia-sia di tangan OPM. Hal itu bukan berarti TNI kalah ataupun tidak paham cara menghadapinya, tapi lebih kepada ada banyak satuan-satuan konvensional didalam TNI yang memang memiliki kemampuan berperang, namun tidak memiliki mobilitas yang cukup tinggi untuk menangkal ancaman teror gerilya yang sangat intens. Entah TNI selama ini menganggap remeh taktik gerilya semacam ini ataukah Panglima TNI yang menahan diri karena tersandera oleh retorika politik Presiden yang menekankan kehati-hatian dari sorotan HAM dan dunia internasional? Who knows?  Yang jelas, taktik seperti ini tidak bisa dilawan oleh kekuatan militer reguler/konvensional semata- terbukti dari keberhasilan kasus-kasus penyergapan dan pembunuhan OPM terhadap TNI yang ada di Papua. Dan menurut penulis, OPM sudah dengan sangat cerdik berhasil memainkan keseluruhan permainan dari Pertempuran Hybrid (Hybrid Warfare) ini. 

Dan perlu pembaca pahami bahwa Penulis tidak memakai istilah "KKB" (Kelompok Kriminal Bersenjata) atau "OTK" (Orang Tak Dikenal) lantaran kedua istilah tersebut sangat bernuansa politis. Penulis merasa tidak cocok kelompok separatis OPM yang sering menebar teror dan bergerilya hanya disebut sebagai "kelompok bersenjata" yang pada akhirnya kasusnya dianggap sebagai ancaman bersenjata yang masuk ranah pidana sipil, bukannya ancaman separatis bersenjata yang memang harus melibatkan militer di garis depan. Bayangkan jika GAM hanya dianggap sebagai kelompok penjahat bersenjata biasa yang cukup polisi yang menanganinya, faktanya sama seperti OPM, GAM adalah kelompok separatis yang sejak dulu berusaha ditumpas oleh TNI. Penanganan terhadap GAM dan OPM pun cukup berbeda dimana TNI tidak segan-segan melakukan operasi militer skala besar di Aceh, sedangkan di Papua, militer dan Presiden tahu bahwa kasus OPM dan kemerdekaan papua ini sangat sensitif. Ibarat bom waktu yang dimana kita tidak benar-benar tahu kapan meledaknya, namun jika itu meledak, Jelas Papua dipertaruhkan disini. Kita jangan menanggap sepele masalah separatisme di Papua, karena kita tahu kemampuan diplomasi dan lobi-lobi internasional Indonesia cukup rendah dan tidak bisa disamakan jika dibandingkan negara-negara adidaya seperti AS dan Cina.

          Terkait taktik gerilya ini, ada dua cara untuk mendapatkan ilmu taktik pertempuran gerilya (GW) ini- yang pertama; ialah mendapatkannya langsung dengan cara bertempur di medan konflik bersenjata (cara praktis). Kedua, mendapatkan ilmunya dari sekolah pendidikan kemiliteran yang mengajarkan taktik pertempuran komando dan menerapkannya dalam setiap latihan secara intens (cara teoritis dan praktis). Kedua cara tersebut bertujuan untuk mendapatkan hasil yang sama- tidak ada retorika soal mana metode yang paling baik.

Dan semakin hari sejak Perang Dunia II, institusi-institusi militer di berbagai belahan dunia mulai perlahan-lahan menerapkan ilmu mengenai pertempuran gerilya dan serta cara menangkalnya. Amerika Serikat dengan sistem pendidikan di sekolah pertempuran komando lanjutan SWCS mengajarkan taktik pertempuran lanjutan Unconventional Warfare (Pertempuran non-konvensional) ini kepada unit elite Angkatan Darat Delta Force-nya, Pasukan elite AS lainnya Navy SEAL menempuhnya melalui pendidikan militer lanjutan Naval Special Warfare, Inggris memiliki unit elite SAS British, Jerman dengan unit komando KSK-nya, sedangkan TNI menyiasatinya dengan program skill upgrade yang ada di jajaran Kostrad dengan memberikan kualifikasi Raider di jajaran Kostrad yang memungkinkan satuan konvensional tersebut memiliki pengetahuan taktis pertempuran gerilya (dan anti-gerilya) dan pertempuran menghadapi ancaman teror (operasi anti-teror). Walaupun memang TNI memiliki unit-unit elite komando non-konvensional yang sudah berpengalaman menghadapi taktik anti-gerilya semacam itu (Kopassus, Paskhas, Kopaska). Intinya semua unit-unit elite maupun unit konvensional militer dengan kualifikasi khusus banyak negara di dunia sebenarnya sudah paham akan taktik semacam ini. Namun tetap saja tidak membuat surut perlawanan dari kelompok gerilyawan tersebut.

Untuk menanggulangi kesulitan pertempuran gerilya ini, maka tiap-tiap pendidikan militer di berbagai belahan dunia membuat sesi khusus pendidikan perihal upaya mengatasi ancaman dari taktik gerilya tersebut. Bahkan unit-unit elite matra laut seperti Kopaska maupun SBS British sudah dibekali kemampuan tempur gerilya bahkan jika sejatinya mereka adalah unit-unit tempur Angkatan Laut dan sering difokuskan mengatasi ancaman laut; entah itu pembajakan kapal, ancaman bersenjata di garis pantai, dan lain-lain. Pasukan Kostrad pun di upgrade kemampuan tempurnya dengan kualifikasi radier ini, selain untuk menghadapi ancaman taktik gerilya, juga untuk memampukan mereka bertempur di medan pertempuran yang lama dan melelahkan.



Jika anda memperhatikan dengan cermat, penggelaran pasukan Brimob dalam Operasi Tinombala adalah salah sasaran jika dilihat dari perspektif ancaman militer. TNI yang selama ini tersandera dengan retorika politik “kehati-hatian” agar isu OPM tidak mencuat liar kemana-mana, mau tidak mau harus terus berada dibelakang Polri dalam menumpas ancaman terorisme dan separatisme. Menurut Penulis, upaya Kapolri dalam 15 tahun terakhir untuk terus menempatkan Densus 88 dan Brimob di garis depan lebih bernuansa politis ketimbang mempertimbangkan aspek-aspek militeristik dalam pertempuran, khususnya dalam menghadapi ancaman gerilyawan bersenjata. Seperti yang kita tahu, Brimob kewalahan dengan lebatnya hutan di Poso dan butuh berbulan-bulan bagi unit sipil tersebut untuk mendapatkan hasil optimal. Ditambah lagi, Brimob yang tidak familiar dengan medan pertempuran karena tidak dibekali kemampuan Jungle Warfare and Survival ala militer, melakukan blunder disana-sini, bahkan menembak prajurit kopassus yang saat itu sedang melakukan perburuan senyap ke jantung sarang teroris MIT di Poso. Ketika satuan anti-gerilya Kostrad raider dari Batalyon infanteri 515 diturunkan dengan operasi senyap Alfa-29, hanya butuh 2-3 minggu saja untuk dapat melacak dan membunuh Santoso. Jelas ada perbedaan pengetahuan militer diantara kedua unit tersebut. Moto satuan Batalion Kostrad 515 tersebut ialah "Cepat, Senyap, Tepat". Menggambarkan betapa fleksibel dan optimalnya unit tersebut dalam menghadapi taktik gerilya teroris




Terlihat di gambar, prajurit elite Army Ranger AD AS secara seksama mengikuti arahan pelatih saat pendidikan khusus untuk menghadapi ancaman gerilya dan kelompok teroris bersenjata di sekolah kemiliteran di US Army Ranger School. Bagi Navy SEAL, mereka berlatih di Naval Special Warfare Command. SAS British dan SBS British yang dimiliki Inggris pun lebih intens lagi perihal pemberian materi pendidikan pertempuran gerilya dan anti-gerilya semacam ini.



Tiga poin utama yang harus dipahami dari taktik GW ini ialah; mobility (kecepatan ruang gerak), tracking (penjejakan/mencari jejak), dan survivability (kemampuan bertahan hidup). Kebanyakan unit-unit reguler di militer hanya memiliki salah satu dari tiga poin diatas. Poin tambahan keempat adalah power yang mengindikasikan seberapa kuat unit ini dalam menghajar musuh. Perlu diketahui bahwa angka-angka dibawah ini adalah korelasi atas kemampuan tempur dan bertahan hidupnya dalam konteks Pertempuran Gerilya, bukan dalam konteks pertempuran secara umum, aksi pembebasan sandera, maupun pertempuran kota (Urban Warfare). Sedangkan power disini ialah seberapa efektif kemampuan unit tersebut dalam membasmi militan atau gerilyawan bersenjata.

Di list ini saya sertakan juga satuan Brimob karena unit sipil kepolisian ini dulunya pernah terlibat digaris depan dalam Operasi Tinombala- operasi Jungle Warfare (Pertempuran Hutan) yang seharusnya perlu pelibatan pasukan militer berkualifikasi khusus yang paham peperangan anti-gerilya- sekaligus bisa kita lihat dan bandingkan langsung kemampuan tempurnya dan seberapa efektifnya unit tersebut dalam peperangan Jungle Warfare dengan unit militer lain. Dan perlu dijelaskan disini bahwa Brimob sama sekali bukan unit militer maupun semi-militer karena sama sekali tidak menempuh pendidikan dasar militer, tidak memahami kemampuan navigasi hutan, maupun pertempuran taktis anti-gerilya. Setelah Penulis mengkaji, Penulis mengkategorikan Brimob sebagai unit sipil Kepolisian. Bahkan satuan anti-teror Densus 88 masih Penulis anggap sebagai satuan sipil Law Enforcement dalam bidang anti-teror, bahkan bukan juga unit semi-militer. Berbeda dengan satuan Delta Force Amerika Serikat yang walaupun ia merupakan unit anti teror layaknya Densus 88, namun Delfa Force ini adalah unit elite militer yang memiliki pengetahuan dan kemampuan mendalam peperangan hutan dan taktik perang gerilya. Kemampuan taktis anti-teror Delta Force ini bahkan jauh diatas unit elite kepolisian anti-teror sekalipun, agar pembaca tidak salah paham.

Beberapa unit-unit militan juga saya sertakan disini.

 

US Delta Force:

1.      Mobility       : 80%

2.      Tracking      : 70%

3.      Survivability : 75%

4.      Power           : 80%

5.      Known for  : Anti-terror unit

 

US Green Berets:

1.      Mobility       : 90%

2.      Tracking      : 90%

3.      Survability    : 90%

4.      Power           : 90%

5.      Known for  : Anti-Guerrilla Specialist

 

US Navy SEAL:

1.      Mobility       : 85%

2.      Tracking      : 90%

3.      Survability    : 85%

4.      Power           : 85%

5.      Known for  : Desert and Naval Warfare

 

SAS British:

1.      Mobility       : 90%

2.      Tracking      : 80%

3.      Survability    : 85%

4.      Power           : 90%

5.      Known for  : Anti-terror unit

 

Operator Spetsnaz SOF Rusia

1.      Mobility       : 95%

2.      Tracking      : 85%

3.      Survability    : 85%

4.      Power           : 90%

5.      Known for  : Jungle Warfare

 

Kostrad Raider-Qualified (Satuan Kostrad berkualifikasi Raider)

1.      Mobility       : 85%

2.      Tracking      : 75%

3.      Survability    : 80%

4.      Power           : 85%

5.      Known for  : Jungle Warfare

 

Paskhas AU;

1.      Mobility       : 90%

2.      Tracking      : 85%

3.      Survability    : 90%

4.      Power           : 90%

5.      Known for  : Airborne Special Operations

 

Brimob POLRI

1.      Mobility       : 35%

2.      Tracking      : 30%

3.      Survability    : 55%

4.      Power           : 50%

5.      Known for  : Anti-riot special unit

 

OPM Papua

1.      Mobility       : 70%

2.      Tracking      : 50%

3.      Survability    : 70%

4.      Power           : 65%

5.      Known for  : hit-and-run specialist

 

Taliban

1.      Mobility       : 70%

2.      Tracking      : 60%

3.      Survability    : 70%

4.      Power           : 60%

5.      Known for  : Aggressive combatant

 

 

Friday, 24 December 2021

Operasi Barbarossa (Invasi Nazi atas wilayah Soviet)

 

 “Andai saja saya tahu jumlah persis kekuatan Tank Soviet di tahun 1941, maka saya tidak akan berani menyerang Soviet.”  - Adolf Hitler



Operasi Barbarossa adalah operasi militer Nazi Jerman yang dilakukan pada 22 Juni 1941 terhadap wilayah Uni Soviet. Tujuan utama invasi militer Nazi ini ialah menegaskan kembali ideologi Nazi Jerman dalam menyebarkan konsep ideologi ras Arya-nya yang sangat rasis dan ekstrem ke seantero Eropa. Dengan adanya invasi atas Uni Soviet, Nazi berharap dapat menduduki sepenuhnya Uni Soviet dan kemudian menggantikan populasinya dengan populasi warga Jerman. Hitler juga memiliki rencana terhadap Uni Soviet yang bernama Generalplan Ost- sebuah rencana yang bertujuan untuk memperbudak mereka (baik para tawanan perang atau warga sipil Uni Soviet), menjadikan mereka sebagai budak pekerja yang rencananya dipekerjakan demi kepentingan Nazi di lahan-lahan pertanian yang ada di berbagai wilayah Soviet. Istilah “Jermanisasi” (Germanization) adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan ambisi besar Hitler soal kejayaan ras Arya bukan hanya terhadap wilayah Uni Soviet, melainkan terhadap seluruh wilayah jajahannya di Eropa. Ambisi besar ini tentunya harus segera diwujudkan Hitler melalui operasi militer besar-besaran dengan jumlah tentara yang sangat besar dan berbagai perhitungan strategi perang yang matang.  

Sebelum invasi terjadi, Jerman dan Uni Soviet sebenarnya sudah lama saling curiga. Antara keduanya sudah tidak ada rasa saling percaya. Soviet sendiri melanggar pakta non-agresi yang disepakati dengan Jerman saat Soviet menginvasi Bukovina di tahun 1940. Setelah Jerman menjadi bagian dari Kekuatan Axis dengan Jepang dan italia, Jerman sebenarnya ingin memasukkan Soviet ke dalam aliansi Axis tersebut. Ketika selangkah lagi Jerman sudah benar-benar akan menjalin hubungan pertemanan dengan Soviet, Soviet membalas rencana tersebut dengan mengirimkan surat proposal yang mengatakan bahwa Soviet akan bergabung dengan aliansi Axis hanya ketika Jerman setuju untuk menjauh dari wilayah-wilayah jajahan Soviet dan tidak ikut campur dengan urusan luar negeri Soviet atas negara-negara jajahan yang memiliki pengaruh Soviet di Eropa. Jerman pun tidak membalas surat proposal tersebut- menandakan bahwa Jerman sudah memiliki rencana besarnya sendiri terhadap Uni Soviet. 

          Sebelum Hitler melancarkan invasi militer besar-besaran atas Uni Soviet, sebenarnya para petinggi militer Red Army (sebutan bagi Tentara Soviet saat itu), serta Stalin sendiri sebenarnya sudah mengetahui mengenai adanya rencana invasi tersebut. Namun Stalin sendiri masih berada di zona nyamannya dan bersikeras mengatakan bahwa jangan terlalu mudah percaya rumor yang berkembang, dengan sesumbar mengatakan bahwa Nazi akan butuh 4 tahun lagi sebagai persiapan untuk benar-benar mempersiapkan dan melancarkan Invasi tersebut. Apalagi Jerman dan Soviet sendiri telah menyepakati suatu perjanjian non-agresi dibelakang layar di tahun 1939 (Molotov-Ribbentrop Pact)- yang intinya adalah suatu kesepakatan bagi Jerman dan Soviet untuk menghargai dan membatasi manuver politik dan militer masing-masing agar tidak ada salah paham perihal wilayah jajahan tertentu. Stalin sangat berharap adanya pakta non-agresi itu akan menunda invasi militer Jerman setidaknya dalam kurun waktu 5 tahun. Saat itu, Stalin sendiri sebenarnya masih sibuk dengan berbagai retorika dan manuver politiknya didalam pemerintahan. Stalin nampaknya sedang melakukan “bersih-bersih” dengan darah di tangannya sendiri. Suatu periode yang dikenal dengan istilah Great Purge (Pembersihan/Pemusnahan Besar).




Adolf Hitler- ditengah- sedang menganalisa peta wilayah Rusia bersama Jenderal Lapangan Marshal Von Brauchitsch, bersama Jenderal lainnya, pada 7 Agustus 1941.

 


    Ketika Nazi melakukan invasi atas Soviet pada 22 Juni 1941, pemusnahan bermotif politik itu masih terjadi. Stalin membantai para jenderal dan petinggi militer Soviet yang tidak loyal kepadanya. Total ada sekitar 30.000 tentara Red Army dibantai oleh Stalin; itu sudah termasuk Jenderal-Jenderal dan komandan korps-nya sendiri. Setelah pembantaian terjadi, Stalin mengisi pos-pos yang kosong di jajaran struktural tertinggi militer Soviet dengan jenderal-jenderal yang sayangnya tidak berpengalaman perihal taktik peperangan atau tidak pernah terjun langsung ke medan pertempuran. Ironisnya, Stalin mengabaikannya dan justru membentuk Komite Politik didalam jajaran militer yang bertujuan untuk memonitor loyalitas politik para jenderal didalam kemiliteran. Stalin ingin memastikan bahwa seluruh elemen yang ada dalam jajaran Red Army loyal terhadapnya, sekaligus mengawasi jika masih ada “tikus-tikus” lainnya yang harus dibantai. Karena kesibukan politiknya itulah, nantinya harus benar-benar dibayar mahal oleh Stalin di awal-awal pertempurannya melawan tentara Nazi yang membuat Red Army sangat kewalahan dan mengalami kekalahan di banyak front pertempuran.

Di mata Hitler, reputasi global Stalin yang telah dicap buruk oleh dunia sebagai pemimpin diktator yang brutal meneguhkan kembali ambisi besar Nazi atas rencana invasi mereka. Hitler paham bahwa setelah pembantaian yang terjadi di internal militer Soviet, kemampuan taktis militer Soviet jelas akan berkurang di medan perang nantinya. Apalagi adanya perombakan besar-besaran dan pembentukan Komite Politik didalamnya. Nazi bahkan meluncurkan banyak propaganda politik yang memperingatkan kembali kebrutalan pemimpin Soviet Stalin dan rencana mereka atas invasi terhadap wilayah Jerman. Untuk itulah, Nazi menegaskan kembali bahwa invasi Nazi atas Soviet menjadi satu-satunya solusi yang dapat menghentikan kebrutalan sang diktator tersebut, sekaligus sejalan dengan agenda besar Jermanisasi Nazi di Eropa serta ambisi pribadi Hitler dalam menguasai seluruh wilayah Soviet. Sekarang hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum rencana invasi tersebut dijalankan. Nampaknya tidak ada satu orangpun didunia yang dapat menghentikan ambisi besar Hitler tersebut.

Jerman mempersiapkan satu regimen independen, satu brigade motor terpisah serta 153 divisi untuk Operasi Barbarossa- didalamnya termasuk 104 Divisi infanteri, 19 Divisi panser, 15 Divisi infanteri motor yang dibagi ke dalam 3 grup Army, dan 9 Divisi independen terpisah untuk menguasai wilayah-wilayah yang telah diduduki, 4 Divisi tambahan di Finlandia, dan 2 Divisi cadangan dibawah naungan OKH (Komando Tertinggi Nazi). Di sisi lain, Uni Soviet merespon rencana tersebut dengan cara yang berbeda. Sebelum invasi, Banyak agen intelijen asing yang memberitahukan rencana Hitler tersebut kepada Stalin. Intelijen Inggris menginformasikan Stalin perihal rencana Jerman untuk menginvasi Soviet hanya seminggu setelah Hitler menyetujui rencana Operasi Barbarossa. Namun ketidakpercayaan Stalin kepada Inggris membuatnya masih saja meragukan laporan intelijen Inggris tersebut dengan mengatakan bahwa informasi intelijen tersebut dibuat oleh Inggris untuk mengelabuhi Stalin agar Uni Soviet nantinya berpihak kepada Inggris. Di bulan-bulan awal tahun 1941, agen intelijen Stalin serta intelijen Amerika Serikat juga melaporkan informasi yang sama perihal rencana invasi Nazi ke Soviet. Mata-mata Soviet Richard Sorge juga memberikan Stalin informasi terkait tanggal pasti invasi Barbarossa. Stalin pun kemudian mengakui adanya kemungkinan invasi tersebut, namun ia memilih saat itu untuk tidak memprovokasi Hitler lebih lanjut untuk menghindari kemungkinan terburuk terwujudnya invasi tersebut.

          Di awal-awal pecahnya perang, Soviet masih belum memahami skala perang sangat masif yang sedang dilakukan Jerman. Serangan militer Nazi melalui darat dan udara menghancurkan banyak fasilitas militer Soviet dalam waktu beberapa jam saja. Hal itu membuat efektivitas komunikasi dan rantai komando dari platon infanteri serta jajaran Komando Tertinggi Soviet di Moskow lumpuh. Moskow tidak hanya buta terhadap skala masif invasi Nazi tapi respon Stalin terhadap invasi awal itu sangat mengejutkan. Kendati pasukan Nazi sudah menerobos masuk perbatasan dan bergerak cepat menduduki wilayah-wilayah Soviet, Stalin masih saja berpikir bahwa mobilisasi Nazi tersebut dilakukan tanpa izin dan komando Hitler. Unit-unit pesawat Luftwaffe menyapu bersih konsentrasi Pasukan darat Soviet, unit-unit Luftwaffe lainnya menghancurkan markas militer dan komando Soviet. Meski demikian, instruksi Stalin terhadap pasukan unit Artileri yang berjaga di perbatasan membuat banyak pasukan geleng-geleng kepala. Stalin menyuruh unit-unit Artileri di perbatasan untuk tidak menembak karena takut akan membuat Hitler lebih marah lagi. Setelah dalam sekejap saja banyak wilayah Soviet diduduki Nazi, barulah Soviet sadar betapa masifnya skala serangan militer Nazi ini. Luftwaffe Nazi saat itu telah menghancurkan 1.489 pesawat-pesawat Soviet yang ada di darat, serta menghancurkan 3.000 lainnya dalam kurun waktu 3 hari saja.



Seorang prajuri Jerman berjalan ke arah jasad pasukan Soviet saat awal-awal Operasi Barbarossa dilancarkan di tahun 1941. Terlihat juga Light Tank BT-7 yang rusak dan terbakar. 



 Terlihat seorang prajurit Nazi sedang menaiki kendaraan lapis baja ringan Sd. Kfz-250 half-track. Sedangkan dibelakang terlihat beberapa tank-tank Jerman bersiap untuk melanjutkan serangan ke arah barat.

 


        Sebenarnya pada saat invasi terjadi, kekuatan militer Soviet tidak begitu buruk. Memang ada perombakan besar-besaran di jajaran struktur internal militer Soviet, banyak kendaraan lapis baja dan Tank yang rusak dan terbengkalai, minimnya kemampuan komando para perwira Soviet, banyak tentara-tentara baru yang masih awam dan minim pengalaman terjun ke medan perang,  masalah hambatan transportasi Alutsista dan mobilisasi pasukan, korupsi di jajaran pemerintahan, dan lain-lain. Namun Sebenarnya Uni Soviet sudah memiliki tentara utama yang berjumlah sekitar 5 juta personel yang telah disiapkan. Dan tiap bulan jumlahnya meningkat sehingga Soviet memiliki sekitar 14 juta pasukan cadangan. Red Army memiliki 33.000 Artileri medan, jumlah yang jauh melebihi total artileri yang dimiliki Nazi. Soviet juga memiliki 23.000 Tank, yang mana hanya 14.700 Tank saja yang tersedia dan siap untuk ke medan laga. Sekitar 11.000 Tank Soviet ditempatkan disepanjang lokasi-lokasi di Distrik-distrik Barat yang langsung menghadap ke arah Jerman. Hitler, setelah melancarkan invasi dan mengetahui total jumlah Tank yang dimiliki Soviet saat itu- berkata; “Andai saja saya tahu jumlah persis kekuatan Tank Soviet di tahun 1941, maka saya tidak akan berani menyerang Soviet.”

          Untuk hantaman terakhir Nazi ke Leningrad, dilakukan oleh 4th Panzer Group dari Army Group Center. Pada 8 Agustus, Tank-tank Nazi bergerak menerobos pertahanan Soviet. Di Akhir bulan Agustus, Grup Panzer berhasil bergerak sejauh 48km ke arah Leningrad. Nazi menyerang Leningrad pada Agustus 1941. Pada saat serangan terjadi, para penduduk lokal Leningrad saat itu tengah membangun pertahanan kota untuk menghalau serangan, sementara 160.000 penduduk lokal lainnya langsung bergabung dengan Red Army dan bertempur melawan Nazi. Setelah Divisi Motor 20th Nazi berhasil menguasai Shlisselburg dan memotong akses jalan ke Leningrad, Hitler melakukan arahan komando untuk segera menghancurkan Leningrad, membunuh semua orang tanpa menyisakan satupun tawanan perang. Namun diluar kendali Hitler, serangan terakhir 10km ke Leningrad itu melambat dan pasukan Nazi juga mengalami banyak korban jiwa. Hitler yang tidak sabar memerintahkan pasukan untuk tidak menyerang Leningrad secara langsung karena resiko korban jiwa tambahan tetapi menyuruh pasukannya untuk membuat penduduk kotanya menyerah. Karena instruksi dadakan itu, Grup Panzer Jerman tidak melanjutkan invasinya tetapi dalam posisi tak bergerak sembari memikirkan solusi untuk membuat mereka menyerah, namun di sisi lain grup Panzer dan pasukan Nazi mendapatkan gempuran artileri yang intens dari pasukan Soviet di Leningrad. Secara spesifik, dalam serangan ofensif Nazi- Yelnya Offensive, Jerman mengalami kelahanan besar pertamanya sejak kali pertama invasi Barbarossa dilakukan. Kemenangan pertama Red Army atas Nazi ini secara signifikan meningkatkan moril para prajurit dilapangan. Serangan-serangan balik Soviet ini memaksa Hitler untuk lebih fokus kepada peperangan di front tengah. Jerman akhirnya bergerak dengan unit Panzer Army ke-3 dan ke-4 untuk segera menghancurkan pertahanan kota Leningrad dan segera bergerak ke Moskow.

          Singkatnya, setelah Nazi berhasil menguasai Leningrad dan fokus ke Moskow. Pertempuran menjadi sangat brutal. Pasukan Nazi dari berbagai unit akhirnya mengepung Pasukan Soviet di Moskow. Pertahanan Moskow pun runtuh. Pasukan Soviet di Moskow hanya berjumlah 90.000 prajurit dan 150 tank saja untuk mempertahankan kota dari segala arah. Tampaknya tinggal menunggu waktu saja sebelum Nazi benar-benar menduduki Moskow dan memenangkan pertempuran. Pada 13 Oktober ketika Panzer Group ke-3 Nazi berhasil bergerak sejauh 140km ke arah ibukota Moskow. Moskow dengan segera memberlakukan Darurat Militer. Ketika serangan terus berlanjut, cuaca pun menjadi sangat buruk dan berdampak pada penundaan manuver Nazi. Salju lebat pun turun dibarengi dengan hujan. Hal itu pun membuat pasukan Nazi dan tank-tank nya kesulitan bermanuver dan bergerak dengan lambat karena menghadapi hambatan tanah yang berair, berlumpur, dan dipenuhi salju yang tebal. Saat itu Nazi segera menunda Operasi terakhir untuk menduduki Moskow karena cuaca buruk tersebut. Saat mobilisasi Nazi berhenti sementara, pasukan Soviet dengan segera memanfaatkan waktu mereka untuk mengumpulkan kekuatan dan menyiapkan serangan untuk menyerang balik. Dalam kurun waktu sebulan sejak operasi Nazi ditunda, Soviet sekarang memiliki 8 unit pasukan darat yang berisi 30 Divisi pasukan Siberia. Pasukan ini dikirimkan untuk fokus ke Moskow, unit intelijen Soviet memastikan Stalin bahwa pasukan ini sengaja digerakkan ke Moskow setelah intelijen memastikan bahwa tidak akan ada ancaman lagi dari Jepang di front Timur Jauh. Pada November 1941, ada lebih dari 1.000 tank dan 1.000 pesawat yang datang bersama Pasukan Siberia untuk bersama-sama mempertahankan kota Moskow.

          Walaupun cuaca masih buruk dan Nazi saat itu sangat bersikeras untuk menduduki Moskow. Mobilisasi pasukan dan tank pun dilakukan di tengah cuaca buruk. Dalam kurun waktu 2 minggu pertempuran di tengah kondisi cuaca buruk, pasukan Nazi dari Panzer Group terlihat kewalahan akibat serangan balik Soviet. Terlebih mereka mengalami banyak hambatan cuaca dan kekurangan logistik amunisi dan bahan bakar untuk tank-tank mereka. Ketika Panzer Group hanya sejengkal lagi berhasil menguasai Moskow. Situasi pun berbalik. Pada 2 Desember 1941, blizzard (badai salju lebat) pun terjadi. Meskipun unit recon Nazi berhasil menguasai kota Khimki, hanya berjarak 8km dari Mokow dan mereka juga berhasil menguasai Jembatan Moskow-Volga, pasukan Wehrmarcht tetap saja tidak mampu melawan cuaca badai salju yang cukup ganas. Pasukan Wehrmarcht sejak awal tidak siap menghadapi cuaca buruk ini karena pakaian mereka tidak disiapkan untuk menghadapi ancaman cuaca dingin dan bersalju. Banyak tank-tank dan kendaraan lapis baja mereka pun terkubur salju. Banyak pasukan Wehrmarcht pun mati sia-sia ditengah ganasnya badai salju yang menerjang. Winter Warfare (Pertempuran di medan salju) terbukti menjadi momok menakutkan bagi Pasukan Nazi yang sebelumnya sudah terlalu percaya diri bakal merebut Moskow dalam sekejap.  Badai salju yang lebat juga membuat unit-unit Luftwaffe Nazi tidak dapat mengudara membuat Nazi harus menunda operasi serangan udara atas Moskow. Di saat yang sama, unit-unit Soviet baru berdatangan ke Moskow dalam membantu pertahanan Moskow dan jumlahnya diperkirakan berjumlah 500.000 pasukan. Pada 5 Desember, pasukan Soviet melancarkan serangan balik atas posisi-posisi pasukan Nazi yang saat itu sangat kewalahan menghadapi hambatan cuaca buruk. Pasukan Soviet saat itu menyiasati cuaca buruk itu dengan mengenakan winter clothing (pakaian hangat yang tahan cuaca dingin). Setelah Soviet menyerang balik Nazi bertubi-tubi, serangan balik dari gabungan pasukan darat dan Artileri itu berhasil memukul mundur Nazi sejauh 250km ke belakang. Wehrmacht tampaknya harus mengakui kekalahan mereka dalam peperangan Moskow. Mereka pun kehilangan sekitar 830.000 prajurit di medan perang. 



Pada akhir Oktober 1941, kombinasi dari hujan lebat, salju, kabut, dan lumpur membuat mobilisasi unit-unit Jerman tidak dapat dilakukan. Tampak jelas bahwa unit-unit militer Jerman saat itu kalah superior dari Alutsista militer Soviet dalam hal menghadapi tantangan cuaca dan medan yang buruk. Terlihat beberapa tentara memaksakan kendaraannya untuk berjalan ditengah salju yang lebat. 

            









Di awal tahun 1942, beberapa Pasukan Soviet bersiap untuk melakukan serangan balik. Pasukan Nazi mengalami banyak hambatan dalam peperangan diantaranya adalah cuaca buruk serta masalah pasokan logistik yang menghambat mobilisasi kendaraan-kendaraan lapis bajanya. Disaat Jerman sedang bersiap memproduksi pakaian untuk Winter Warfare, pasukan Soviet sudah siap dan merangsek maju ke lokasi-lokasi wilayah yang diduduki Nazi dan langsung memukul mundur mereka.



    Nazi dipaksa mengakui kekalahan di Moskow. Dengan kekalahan itu, mereka terpaksa harus merancang ulang taktik perang mereka. Serangan balik Soviet pada Desember 1941 merupakan kekalahan yang memakan korban jiwa besar dipihak Jerman. Tidak hanya korban jiwa, tetapi serangan balik itu membuat Jerman mundur ratusan km dari posisi Moskow. Wehrmacht, ketika Operasi Barbarossa dilancarkan, memiliki kekuatan 209 Divisi, dimana hanya 163 Divisi saja yang siap untuk bertempur. Namun pada 31 Maret 1942, kurang dari setahun, mereka hanya memiliki kekuatan 58 Divisi saja yang bisa dipakai bertempur, sisanya hancur luluh lantah oleh serangan balik Soviet. Stalin yang terpukau dengan keberhasilan ini tidak puas begitu saja. Ia lantas menyuruh pasukannya untuk tidak hanya mempertahankan Moskow saja, tapi juga memukul mundur Nazi di front-front lain di front pertempuran di Selatan dan Utara. Hitler yang mengetahui kegagalan ini menjadi sangat marah dan memecat perwira jerman Walther Von Brauchitsch. Walaupun Soviet juga mengalami korban jiwa yang besar dan kehilangan banyak wilayahnya, namun moril prajurit mereka kini sedang tinggi-tingginya dan mereka berhasil memukul mundur Nazi di banyak front pertempuran. Kendati Hitler kembali memerintahkan pasukannya untuk bertahan dan menyerang balik, Hitler pun sadar bahwa mobilisasi Nazi terkendala oleh hambatan cuaca dan kekurangan logistik. Meskipun begitu Hitler tetap bersikeras ingin mengalahkan Soviet. Pada bulan Februari 1943, Jerman kembali mengalami kekalahan dalam Pertempuran Stalingrad.

       Di tahun 1943, industri Soviet membaik dan industri-industrinya mampu memproduksi Alutsista dalam jumlah besar dan dengan segera tank-tank baru itupun dikirim ke medan pertempuran. Serangan Jerman terakhir terjadi pada periode Juli-Agustus tahun 1943. Sekitar 1 juta pasukan Nazi bertempur melawan 2.5 juta pasukan Soviet. Soviet melancarkan Operasi Kutuzov, yakni operasi serangan balik yang melibatkan 6 juta pasukan yang membuat Jerman kelawahan dan mundur. Setelah Jerman mengalami banyak kekalahan serupa di tahun 1943 di banyak front, pada akhirnya Jerman memilih menyerah karena moril prajuritnya yang sangat rendah dan kemampuan Alutsistanya yang tidak mampu lagi dipakai akibat tidak tersedianya pasokan logistik. Pada Januari 1945 Soviet akhirnya bergerak ke Berlin dengan ambisi ingin menaklukkan ibukota Jerman tersebut dan mendudukinya. Perang berakhir dengan kalahnya Nazi pada Mei 1945 setelah Berlin akhirnya jatuh ke tangan Pasukan Red Army.

          Operasi Barbarossa merupakan invasi militer terbesar dalam sejarah- melibatkan banyak pasukan, tank, senjata, artileri, dan pesawat. Invasi itu membuka banyak pertempuran di front Timur. Membunuh lebih dari 26 juta penduduk Soviet, termasuk 8 juta korban jiwa dari pasukan Red Army. Pertempuran di Front Timur antara Nazi dan Red Army menghancurkan ekonomi keduabelah pihak. Nazi berhasil meluluhlantahkan 1.710 kota-kota Soviet dan 70.000 desa-desanya dihancurkan. Operasi Barbarossa dan kekalahan Jerman akhirnya mengubah peta politik di Eropa, akhirnya membagi dunia kedalam dua blok- Blok Timur dan Barat.


Monday, 20 December 2021

Refleksi Singkat Aneksasi Crimea

 

 

          Perang Sipil Ukraina yang berkecamuk saat ini merupakan Perang Saudara hasil dari drama sebuah pergulatan di panggung politik yang dimainkan oleh dua kubu politik yang berbeda. Di satu sisi ada kelompok Pro Kiev yang tergila-gila dengan Barat dengan sistem demokrasinya, disatu sisi terdapat kelompok politik konservatif yang terang-terangan menginginkan kembalinya Ukraina ke pangkuan Rusia seperti masa kejayaan Uni Soviet terdahulu. Dilihat dari peta geopolitik keseluruhan wilayah Ukraina, diperkirakan sekitar 65% populasi Ukraina condong ke Barat, sedangkan 35% sisanya menginginkan Ukraina agar lebih dekat ke Rusia. Perlu diingat bahwa rasio 65% - 35% adalah murni merupakan kesimpulan Penulis dari persentase total populasi masyarakat Ukraina dilihat dari peta populasi yang menggambarkan apakah penduduk Ukraina berbahasa ibu Rusia atau tidak.  Karena seseorang yang memakai bahasa Rusia di Ukraina sebenarnya masih sangat erat kaitannya dengan Rusia (Uni Soviet), atau bisa jadi merupakan warga Rusia itu sendiri yang berada di wilayah Ukraina namun setelah bubarnya Uni Soviet, mereka yang berbahasa Rusia itu pun terpaksa menduduki wilayah pecahannya dengan status kewarganegaraan baru yang berstatus warga negara Ukraina. Namun kita tidak akan membahas secara detail mengenai topik perhitungan populasi ini dan keterkaitan historis mereka atas Rusia, namun lebih fokus kepada Perang Sipil itu sendiri yang terjadi di dua wilayah dengan konsentrasi pertempuran terpadat- Luhanks dan Donetsk.

           Dua wilayah yang disebutkan tadi- Luhanks dan Donetsk, merupakan wilayah terseksi bagi kedua belah pihak dalam melancarkan pertempuran bersenjata. Intensitas pertempuran di dua wilayah ini berawal dari yang sekedar pergulatan politik semata, kemudian dengan cepat beralih ke konflik bersenjata yang militeristik. Rusia nampaknya cukup paham bahwa dua wilayah ini tidak boleh jatuh ke tangan rezim berkuasa Kiev, namun pertanyaan selanjutnya adalah seberapa pentingkah sebenarnya kedua wilayah ini?   

          Ada beberapa alasan mengapa Rusia tidak ingin melepaskan kedua wilayah ini. Pertama, baik Luhanks dan Donetsk merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Rusia. Hal itu membuat Putin dengan mudah menyuplai berbagai logistik seperti senjata, peluru, kendaraan lapis baja dan Tank ke banyak kelompok milisi lokal yang bertempur secara tidak langsung demi kepentingan nasional Rusia. Kedua, populasi di Luhanks dan Donetsk merupakan populasi dimana hampir 90% masyarakatnya berbahasa Rusia, secara historis merasa dekat ke Rusia, atau setidaknya menginginkan Luhanks dan Donetsk menjadi daerah otonom lepas dari pengaruh rezim Kiev yang pro Barat. Otomatis secara politik hal itu sangat menguntungkan Putin dengan agenda besarnya menyatukan kembali Ukraina ke dalam pangkuan Rusia.  Ketiga, dari perspektif logika militer, jelas suatu invasi militer darat harus terlebih dahulu bisa merebut dan menguasai daerah-daerah di perbatasan, kemudian perlahan-lahan mulai menginvasi daerah-daerah selanjutnya hingga ke dalam wilayah musuh. Memang bisa secara langsung militer Rusia melakukan serangan udara ke jantung pemerintahan Kiev tanpa menyentuh daerah-daerah pinggiran, namun jelas akan sangat beresiko mengingat semakin masuk ke dalam- terutama di wilayah-wilayah seperti Odessa, Mykolaiv, dan Dnipropertrovsk, maka sistem pertahanan udara Ukraina dan keberadaan pasukan daratnya jelas akan menjadi ancaman tersendiri, terutama bagi kekuatan kelompok-kelompok milisi lokal. Keempat, kedua wilayah ini merupakan pintu masuk bagi kekuatan kelompok milisi asing pro-Rusia yang sengaja disusupkan melalui jalur darat di perbatasan. Kekuatan separatis asing yang terbentuk di wilayah ini diantaranya berasal dari milisi Chechnya, Yunani, Polandia, Hungaria, Serbia, Latvia, Armenia, dan negara-negara lain yang sengaja masuk ke medan pertempuran dengan membawa sejarah pengalaman perang mereka di masa lalu.


DPR Forces adalah istilah yang dialamatkan kepada milisi lokal Donbass. Milisi ini terbentuk dari elemen warga sipil, yang kemudian terpaksa mengangkat senjata dan bertempur melawan militer Ukraina di wilayah Ukraina Timur, Donbass. Pemerintah dan militer Ukraina terang-terangan menyebut unit-unit lokal ini sebagai kelompok teroris yang secara intens mendapatkan dukungan logistik dari Rusia. DPR ini berada dibawah payung Angkatan Bersenjata Novorossiya, dimana AB Novorossiya ini memiliki unit-unit militan lain yang bertempur secara gerilya seperti Batalion Sparta, Batalion Somalia, dan Batalion Vostok. Bersama dengan Pasukan elite Rusia yang secara langsung melatih mereka sekaligus menjadi unit recon (intai), milisi-milisi lokal ini sering bertempur secara direct digaris depan. 


Atas fakta-fakta diatas, maka sudah lazim bagi Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mempertimbangkan kedua wilayah tadi, sebagai wilayah strategis yang harus diduduki dan ditaklukkan secara militer secepatnya. Langkah pertama yang dilakukan untuk mewujudkan ambisi besar tersebut ialah upaya Aneksasi Rusia yang dilakukan atas wilayah Crimea, Ukraina, pada 2014 silam. Aneksasi Putin terhadap Crimea dilakukan tanpa perlawanan dan pertumpahan darah sedikitpun, meski demikian, aneksasi tersebut membawa konsekuensi politik yang besar bagi Rusia itu sendiri. Konsekuensi politik itu datang dari banyak kelompok yang sudah sejak lama berseberangan dengan Rusia- negara-negara Barat, negara aliansi NATO, dan negara-negara Baltik yang bersimpati dengan Barat. Belum lagi konsekusensi lanjutan berupa konflik bersenjata yang berlarut-larut yang sampai sekarang sudah memakan lebih dari 14.000 korban jiwa warga sipil.

          Aneksasi tersebut membuat Benua Eropa tersentak kaget. Negara-negara Eropa yang diibaratkan sedang tertidur pulas, tiba-tiba dibangunkan oleh Rusia atas insiden tersebut. Para pengamat militer mengatakan bahwa Aneksasi Crimea itu merupakan aksi pengambil-alihan dan pendudukan wilayah terbesar yang pertama kali dilakukan di Benua Eropa sejak Perang Dunia II. Putin secara cerdik melihat banyak faktor sebelum melakan Aneksasi itu- diantaranya faktor geopolitik, historis, serta kekuatan diplomatik Ukraina di kancah internasional. Putin mencermati bahwa Ukraina terlalu lemah baik dalam diplomasi internasional, pengaruh diplomatik regional, maupun dalam hal kekuatan militer. Belum lagi korupsi menggurita di kubu pemerintahan dan militer Ukraina itu sendiri. Hal itu benar-benar dimanfaatkan secara maksimal oleh Putin- dengan realisasi berupa Aneksasi tersebut.

          Walaupun Ukraina sesumbar mengatakan bahwa Crimea akan segera balik ke pangkuan Kiev, namun banyak pengamat yang meragukannya. Mereka menganggap bahwa sangat sulit bagi Ukraina untuk mengambil kembali Crimea dilihat dari perspektif manapun mengingat kekuatan Ukraina sangat lemah baik dalam hal diplomatik, ekonomi, maupun militer. Ukraina juga masih sangat bergantung kepada Rusia secara ekonomi. Dan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan dan penangguran juga cukup besar di Crimea dan menjadi suatu pertimbangan tersendiri. Meskipun terlihat mustahil, namun Ukraina terus mendapatkan dukungan diplomatik dan politik baik dari negara-negara UE, NATO dan Amerika Serikat. Walaupun banyak pengamat yang mengatakan bahwa keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO tidak bisa diwujudkan secepatnya. Perlu pertimbangan dan analisis geopolitik yang mendalam bagi NATO agar memampukannya untuk menerima Ukraina sebagai anggota tetapnya. NATO juga tidak mau begitu saja menerima Ukraina hanya karena Ukraina ingin segera mencari perlindungan militer NATO atas konflik bersenjatanya dengan Rusia, tanpa Ukraina membawa kontribusi positif yang signifikan bagi organisasi NATO itu sendiri, baik kontribusi geopolitik, diplomatik, maupun dari perspektif kekuatan militer. Itulah mengapa Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan bahwa NATO akan tetap menjadi partner bagi Ukraina, NATO mendukung model pemerintahan demokrasi yang ada di Ukraina, namun  tidak menjanjikan dengan gegabah bahwa Ukraina akan menjadi anggota tetap NATO dikemudian hari. Sikap kehati-hatian atas rekrutmen anggota tetap NATO itu menjadi suatu keharusan meskipun NATO paham betul bahwa kemungkinan besar invasi militer Rusia atas seluruh wilayah Ukraina akan terwujud, setidaknya itulah yang ditakutkan banyak pihak. Nampaknya NATO memiliki taktiknya sendiri dalam menghadapi ancaman Rusia tersebut, yakni memperkuat kekuatan pasukan militer dan sistem pertahanan di negara-negara NATO yang berdekatan dengan wilayah Ukraina dan Rusia. Dengan begitu NATO akan mampu terus mengawasi dari dekat perkembangan peta kekuatan militer Rusia di kawasan regional.

          Yang jelas, setelah Aneksasi berhasil diwujudkan. Putin kini menuntut agar NATO menjauh dari negara-negara Balkan, Eropa Timur, dan negara-negara bekas Uni Soviet, terutama Ukraina. Hal itu termasuk tuntutan agar NATO segera menjauhkan sistem pertahanan udara dan konsentrasi pasukan darat NATO di negara-negara Eropa Timur, termasuk latihan militer rutin yang sering dilakukan NATO. Rusia menuntut NATO untuk tidak lagi memberikan status keanggotaan tetap bagi negara-negara bekas Uni Soviet, namun tuntutan itu ditertawakan NATO. NATO beralasan bahwa setiap negara memiliki potensi untuk menjadi anggota NATO dan NATO menghargai upaya mereka untuk menjadi bagian dari NATO. Rusia juga menuntut agar AS dan NATO untuk menaati himbauan untuk segera menjauh dari wilayah-wilayah pinggiran Rusia yang sangat menjadi prioritas utama Rusia terkait stabilitas keamanan dan pertahanan diwilayah tersebut. Dilihat dari mau kemana arah kebijakan Putin atas Ukraina, bisa tercermin dari seberapa geram dan khawatirnya Putin atas keberadaan kekuatan NATO di kawasan regional. Begitu gusarnya hingga Putin menempatkan konsentrasi banyak kekuatan militernya di perbatasan- diperkirakan berjumlah 100.000 pasukan darat beserta Alutsista militernya.


Gambar diambil dari geoawesomeness.com- negara-negara biru tua merupakan anggota tetap NATO yang memiliki status FIU (Force Integration Units)- diantaranya Estonia, Latvia, Lithuania, Polandia, Slovakia, Hungaria, Romania dan Bulgaria. Dengan status FIU tersebut, itu berarti kedelapan negara itu mampu menggelar pasukan NATO dengan jumlah banyak dalam kurun waktu kurang dari 24 jam ke titik-titik hot zone (zona perang). Sedangkan negara-negara berwarna biru muda merupakan anggota NATO tetap tapi tidak memiliki kemampuan penggelaran pasukan gerak cepat. Sedangkan warna merah merupakan konsentrasi pasukan Rusia. Sedangkan lingkaran-lingkaran kecil biru-merah, merupakan lokasi latihan militer baik yang dilakukan NATO maupun Rusia. Dan konsentrasi latihan militer intens yang sering dilakukan NATO berada di Estonia, Latvia, dan Lithuania yang sangat dekat dengan wilayah Rusia, nampaknya hal itu yang membuat Putin marah besar. 


        

  Apa yang sebenarnya terjadi di Ukraina? Benarkah ini merupakan konflik yang tak akan bisa diselesaikan? Dan kemana arah kebijakan Putin selanjutnya- apakah bersikeras dengan retorika-retorika politik-historisnya yang jelas-jelas mengancam stabilitas keamanan negara-negara Eropa? Tunggu tulisan-tulisan mendalam selanjutnya,