SNIPER
Pada bulan Juni 1914,
putera mahkota kekaisaran Austro Hungaria (Austria) Pangeran Franz
Ferdinand tewas setelah ditembak oleh sniper saat berkunjung ke
Sarajevo, Bosnia. Tembakan jitu yang dilepaskan oleh pemberontak
Serbia, Gavrilo Princip, tak hanya membunuh Pangeran Ferdinand, namun
juga membawa efek lainnya. Dengan cepat segera memicu Perang Dunia I
yang memakan korban jiwa 40 juta jiwa. PD I sendiri kemudian menjadi
ajang duel para sniper, khususnya para sniper Jerman yang terlatih
sehingga menimbulkan banyak korban berjatuhan di pihak Inggris.
Belajar dari keunggulan
sniper Jerman di era PD I, Inggris lalu dengan cepat mengejar
ketertinggalannya dengan mendirikan sekolah khusus sniper formal di
Perancis (1915). Sekolah sniper Inggris yang didirikan oleh Mayor
Hesketh Pricard itu dalam waktu yang singkat berhasil mencetak para
prajurit penembak jitu yang terlatih. Dan sukses menandingi kemampuan
sniper Jerman. Mayor Pricard yang kemudian menulis buku panduan
pendidikan sniper. Sniping In France, bahkan menjadi tokoh
populer dan bukunya masih menjadi acuan utama bagi pembelajaran
sekolah sniper di era terkini. Salah satu teknik sniper yang menjadi
doktrin Pricard adalah penggunaan teleskop pemdidik dan tim sniper
yang terdiri dari dua orang, yakni; sniper dan spotter.
Ketika Perang Dunia II
meletus, para sniper sekutu, khususnya Inggris dan Perancis, kembali
menunjukkan kemampuan mereka dalam pertempuran di Perancis. Sniper
Inggris-Perancis berhasil menghambat pergerakan pasukan infanteri
Jerman yang terus merangsek masuk kedepan. Peran sniper di era PD II
kemudian menjadi sangat penting dan bahkan bisa menjadi penentu dalam
jalannya pertempuran.
Pasukan Rusia yang
pernah kewalahan ketika menghadapi sniper Jerman di Front Eropa Timur
pada PD I, baru mulai melatih para penembak jitu mereka di tahun 1930
dan menjadi sekolah sniper satu-satunya yang memiliki fasilitas
sniper lengkap yang mirip dengan medan perang sesungguhnya di kala
itu. Akan tetapi peran sniper Rusia seakan pudar ketika pecah Perang
musim dingin (Winter War) antara Rusia dan Finlandia. Seorang
penembak jitu handal asal Finlandia, Simo Hayla, kala itu berhasil
membunuh sekitar 505 prajurit Rusia, ironisnya, ia menggunakan
senjata sniper buatan Rusia, Mosin Nagant.
Front PD II yang makin
meluas setelah pasukan Nazi Jerman menyerbu Rusia di bulan Juni 1914
dalam Operation Barbarossa. Dalam operasi militer tersebut,
tentu menjadi pelajaran tersendiri bagi para sniper Rusia. Hancurnya
sejumlah kota Rusia akibat dibombardir oleh serangan pesawat udara
dan juga oleh serangan darat Jerman, ternyata membawa keuntungan
tersendiri bagi para sniper Rusia yang sebelumnya terbiasa berlatih
di sekolah sniper yang dibuat mirip dengan medan perang sesungguhnya.
Vassili Zaitzev
Dalam perang sengit yang
mempertahankan kota terpenting Rusia, Stalingrad, Sniper Rusia
Vassili Zaitzev bahkan sukses menaikkan moril para prajurit tempur
Rusia dan sekaligus menciutkan moril pasukan Nazi Jerman setelah
berhasil mengeliminasi 225 personel Jerman. Ketika PD II, Zaitzev
serta murid-muridnya setidaknya telah berhasil membunuh 3000 pasukan
musuh dan menjadi pahlawan nasional Rusia. Kegemilangan Zaitzev itu
sekaligus membuat perasaan inferior para sniper Rusia yang pernah
sebelumnya dipermalukan prestasi sniper Simo Hayha (sniper Finlandia)
pada era Winter War. Rusia yang kemudian mengalami demam
sniper (1942), bahkan mendidik para sniper mereka hingga mencapai
angka ratusan ribu prajurit penembak jitu, termasuk para sniper
wanita yang semuanya berjumlah 55.000 prajurit penembak jitu. Dan
sniper wanita asal Rusia yang tersohor pun berhasil dicetak oleh
Lyudmila Pavlichenko.
Lyudmila Pavlichenko
Disadur
dari; Majalah Angkasa Edisi Koleksi; The Great Stories of Sniper.
Edisi Koleksi No.78- Februari 2012
No comments:
Post a Comment