ilustrasi The Third of May karya Fransisco Goya
Eksekusi
“Firing squad” secara umum dilakukan oleh sejumlah anggota militer aktif atau
aparat penegak hukum yang berwenang. Dan biasanya, para penembak yang terdiri
dari satu grup diintruksikan untuk menembak target secara serempak, selain itu
juga untuk mencegah identifikasi dari siapa yang menembak ke target-target
vital pada tubuh korban. Sasaran yang akan ditembak biasanya ditutup matanya
dengan kain penutup, walau memang dalam beberapa kasus ada juga korban yang
tidak memakai penutup mata sehingga dapat melihat jelas grup penembak. Ada
beberapa aturan yang sering digunakan di dalam eksekusi ini, yaitu mereka harus
dieksekusi ketika waktu subuh, atau ketika cahaya pagi mulai bersinar, atau
ketika matahari mulai perlahan nampak. Ada istilah khusus untuk ini, yaitu
istilah “shot at dawn” (tembakan di waktu fajar).
Hukuman tembak di tempat biasanya merupakan hukuman yang
cocok untuk para kombatan militer daripada untuk warga sipil yang melakukan
tindakan kriminal, kasus ini banyak terjadi sewaktu berlangsungnya perhelatan
akbar PD-I dan PD-II. Namun di era modern ini, hukuman tembak di tempat bukan
hanya ditujukan untuk para kombatan militer yang tertangkap atau para penjahat
perang, melainkan juga untuk para kriminal, para penyelundup narkoba, dan teroris,
seperti kasus yang banyak terjadi di Indonesia. “Firing squad” juga merupakan metode
hukuman mati yang tidak terlalu menyiksa korbannya, hukuman tembak di tempat
secara tidak langsung juga bertujuan untuk melindungi organ-organ tubuh vital
lainnya (selain jantung), yang mungkin berguna untuk donasi organ tubuh
manusia.
Metode
hukuman Firing Squad memang sangat jarang ditemui di Amerika Serikat, oleh karena itu sulit mengatakan standar dari prosedur pelaksaan hukuman mati ini.
Namun yang jelas, dalam beberapa kasus, korban ditutup matanya dengan dua
tangan terikat ke belakang, di dudukkan di kursi dengan lima orang penembak
yang siap menembak korban. Satu dari lima orang penembak hanya menembakkan
peluru hampa alias selongsong kosong, yang mana berarti bahwa setiap penembak
berpikir bahwa hanya ada 20% kesempatan baginya untuk tidak menembak korbannya.
Tentunya standar-standar pelaksanaan tembak di tempat berbeda di setiap negara.
Penggunaan oleh Negara
Indonesia
Eksekusi “Firing squad” adalah eksekusi yang lazim dan
merupakan metode hukuman mati yang masih digunakan di Indonesia. Contohnya
Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, semuanya dieksekusi pada
2006. Penyelundup narkoba asal Nigeria Samuel Iwachekwu Okoye dan Hansen
Anthoni Nwaolisa juga dieksekusi pada 2008 di pulau Nusakambangan. Lima bulan
kemudian, tiga orang tersangka pelaku Bom Bali 2002- Amrozi, Imam Samudra dan
Ali Ghufron, semuanya dieksekusi di tempat yang sama di Nusakambangan.
Belanda
Ketika Perang Dunia II berlangsung, 3000 tawanan perang
Belanda dieksekusi oleh Jerman dengan menggunakan metode “Firing squad”.
Korbannya terkadang dihukum di pengadilan militer yang berwenang, namun
terkadang, korbannya adalah para sandera atau siapa saja yang sebelumnya tidak diadili
di pengadilan militer dan langsung dieksekusi di depan khalayak umum. Metode
tersebut untuk mengintimindasi masyarakat dan sebagai aksi balas dendam dalam melawan
pergerakan musuh. Setelah serangan yang ditujukan kepada pemimpin militer
tertinggi Jerman Rauter, sekitar 300 tawanan perang Belanda kemudian dieksekusi
Jerman di depan publik sebagai ajang balas dendam.
Filipina
Jose
Rizal dieksekusi menggunakan metode “firing squad” pada pagi hari pada 30
Desember 1896, ditempat yang sekarang dikenal sebagai Luneta Park.
Ketika
administrasi Marcos, lalu lintas perdagangan narkoba yang marak-maraknya
terjadi, mereka yang tertangkap akibat melakukan perdaganan obat-obatan
terlarang kemudian dieksekusi dengan tembak di tempat, seperti yang terjadi pada
Lim Seng. Eksekusi tembak di tempat kemudian digantikan oleh hukuman suntik
mati (Lethal injection). Pada 24 Juni 2006, Presiden Gloria Macapagal Arroyo
menghapuskan hukuman mati oleh Republic Act 9346. Dan para tahanan yang
bejumlah ribuan, hanya dihukum dengan hukuman seumur hidup daripada hukuman
tembak di tempat.
Israel
Ketika pengepungan Jerusalem oleh Yordania disepanjang
berlangsungnya Perang Arab-Israel 1948, Tentara Yordania membidik dan menembaki
posisi tentara Israel yang dianggap sebagai mata-mata yang sedang beroperasi.
Meir Tobianski, seorang pekerja Israel Electric Corporation, yang diduga
mengetahui beberapa lokasi-lokasi pabrik pembuatan senjata Israel, kemudian secara
bertahap pabrik-pabrik tersebut diluluhlantahkan oleh serangan tembakan-tembakan
Artileri Yordania. Tobianski ditangkap di Carmel Market di Tel Aviv karena
dugaan mata-mata. Hukuman sepuluh hari kemudian dibatalkan, dan dia kemudian
diinterogasi sebelum memasuki ruang pengadilan. Tobianski ditemukan bersalah
dan ia dieksekusi oleh enam orang penembak “firing squad”. Setelah dilakukan
investigasi, Tobianski kemudian divonis bebas (padahal setelah dilakukan
hukuman mati terhadapnya) dan jasadnya di bakar di Mount Herzl. Isser Be’eri,
aparat yang memerintahkan mengeksekusi Tobianski dengan tembak di tempat,
dinyatakan telah melakukan eksekusi pembunuhan yang tidak sah. Dia dinyatakan
bersalah namun dimaafkan oleh Presiden Chaim Weizmann.
Finlandia
Ketika PD II, 500 tawanan perang dieksekusi, setengah
dari mereka diduga merupakan mata-mata. Alasan hukuman mati untuk warga sipil
Finlandia adalah mereka telah melakukan pengkhianatan tingkat tinggi kepada
negara. Hampir semua kasus hukuman mati di berlakukan oleh Pengadilan militer.
Biasanya sang penembak di ambil dari kesatuan polisi militer atau pada kasus
mata-mata, dilakukan oleh polisi militer setempat. Seorang warga Finlandia,
Toivo Koljonen, dieksekusi mati untuk kejahatan sipil yang ia lakukan
(Pembunuhan enam orang). Kebanyakan eksekusi terjadi di tahun 1941 dan disepanjang
berlangsungnya Soviet Summer Offensive pada tahun 1944.
Metode hukuman mati secara luas digunakan ketika dan
setelah Perang Sipil Finlandia, sekitar 9.700 warga sipil Finlandia dan lainnya
yakni beberapa sukarelawan Rusia yang tertangkap ketika perang berlangsung,
dieksekusi mati. Kebanyakan Eksekusi dilakukan dengan metode “firing squad”
setelah hukuman diberikan oleh Pengadilan militer secara ilegal atau
semi-ilegal. Dan hanya sekitar 250 orang yang dihukum mati oleh penggunaan
otoritas legal yang berwenang.
No comments:
Post a Comment