.do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none; }

Monday 28 May 2012

Eksekusi "Firing Squad"



 ilustrasi The Third of May karya Fransisco Goya


Eksekusi “Firing squad” secara umum dilakukan oleh sejumlah anggota militer aktif atau aparat penegak hukum yang berwenang. Dan biasanya, para penembak yang terdiri dari satu grup diintruksikan untuk menembak target secara serempak, selain itu juga untuk mencegah identifikasi dari siapa yang menembak ke target-target vital pada tubuh korban. Sasaran yang akan ditembak biasanya ditutup matanya dengan kain penutup, walau memang dalam beberapa kasus ada juga korban yang tidak memakai penutup mata sehingga dapat melihat jelas grup penembak. Ada beberapa aturan yang sering digunakan di dalam eksekusi ini, yaitu mereka harus dieksekusi ketika waktu subuh, atau ketika cahaya pagi mulai bersinar, atau ketika matahari mulai perlahan nampak. Ada istilah khusus untuk ini, yaitu istilah “shot at dawn” (tembakan di waktu fajar).

            Hukuman tembak di tempat biasanya merupakan hukuman yang cocok untuk para kombatan militer daripada untuk warga sipil yang melakukan tindakan kriminal, kasus ini banyak terjadi sewaktu berlangsungnya perhelatan akbar PD-I dan PD-II. Namun di era modern ini, hukuman tembak di tempat bukan hanya ditujukan untuk para kombatan militer yang tertangkap atau para penjahat perang, melainkan juga untuk para kriminal, para penyelundup narkoba, dan teroris, seperti kasus yang banyak terjadi di Indonesia. “Firing squad” juga merupakan metode hukuman mati yang tidak terlalu menyiksa korbannya, hukuman tembak di tempat secara tidak langsung juga bertujuan untuk melindungi organ-organ tubuh vital lainnya (selain jantung), yang mungkin berguna untuk donasi organ tubuh manusia.

 Tentara Austria sedang mengeksekusi para Tawanan perang Serbia dengan 
menggunakan metode tembak di tempat (Firing Squad)


Metode hukuman Firing Squad memang sangat jarang ditemui di Amerika Serikat, oleh karena itu sulit mengatakan standar dari prosedur pelaksaan hukuman mati ini. Namun yang jelas, dalam beberapa kasus, korban ditutup matanya dengan dua tangan terikat ke belakang, di dudukkan di kursi dengan lima orang penembak yang siap menembak korban. Satu dari lima orang penembak hanya menembakkan peluru hampa alias selongsong kosong, yang mana berarti bahwa setiap penembak berpikir bahwa hanya ada 20% kesempatan baginya untuk tidak menembak korbannya. Tentunya standar-standar pelaksanaan tembak di tempat berbeda di setiap negara.



Penggunaan oleh Negara


Indonesia
            Eksekusi “Firing squad” adalah eksekusi yang lazim dan merupakan metode hukuman mati yang masih digunakan di Indonesia. Contohnya Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, semuanya dieksekusi pada 2006. Penyelundup narkoba asal Nigeria Samuel Iwachekwu Okoye dan Hansen Anthoni Nwaolisa juga dieksekusi pada 2008 di pulau Nusakambangan. Lima bulan kemudian, tiga orang tersangka pelaku Bom Bali 2002- Amrozi, Imam Samudra dan Ali Ghufron, semuanya dieksekusi di tempat yang sama di Nusakambangan.

Belanda

            Ketika Perang Dunia II berlangsung, 3000 tawanan perang Belanda dieksekusi oleh Jerman dengan menggunakan metode “Firing squad”. Korbannya terkadang dihukum di pengadilan militer yang berwenang, namun terkadang, korbannya adalah para sandera atau siapa saja yang sebelumnya tidak diadili di pengadilan militer dan langsung dieksekusi di depan khalayak umum. Metode tersebut untuk mengintimindasi masyarakat dan sebagai aksi balas dendam dalam melawan pergerakan musuh. Setelah serangan yang ditujukan kepada pemimpin militer tertinggi Jerman Rauter, sekitar 300 tawanan perang Belanda kemudian dieksekusi Jerman di depan publik sebagai ajang balas dendam.

Filipina

            Jose Rizal dieksekusi menggunakan metode “firing squad” pada pagi hari pada 30 Desember 1896, ditempat yang sekarang dikenal sebagai Luneta Park.
            Ketika administrasi Marcos, lalu lintas perdagangan narkoba yang marak-maraknya terjadi, mereka yang tertangkap akibat melakukan perdaganan obat-obatan terlarang kemudian dieksekusi dengan tembak di tempat, seperti yang terjadi pada Lim Seng. Eksekusi tembak di tempat kemudian digantikan oleh hukuman suntik mati (Lethal injection). Pada 24 Juni 2006, Presiden Gloria Macapagal Arroyo menghapuskan hukuman mati oleh Republic Act 9346. Dan para tahanan yang bejumlah ribuan, hanya dihukum dengan hukuman seumur hidup daripada hukuman tembak di tempat.

Israel

            Ketika pengepungan Jerusalem oleh Yordania disepanjang berlangsungnya Perang Arab-Israel 1948, Tentara Yordania membidik dan menembaki posisi tentara Israel yang dianggap sebagai mata-mata yang sedang beroperasi. Meir Tobianski, seorang pekerja Israel Electric Corporation, yang diduga mengetahui beberapa lokasi-lokasi pabrik pembuatan senjata Israel, kemudian secara bertahap pabrik-pabrik tersebut diluluhlantahkan oleh serangan tembakan-tembakan Artileri Yordania. Tobianski ditangkap di Carmel Market di Tel Aviv karena dugaan mata-mata. Hukuman sepuluh hari kemudian dibatalkan, dan dia kemudian diinterogasi sebelum memasuki ruang pengadilan. Tobianski ditemukan bersalah dan ia dieksekusi oleh enam orang penembak “firing squad”. Setelah dilakukan investigasi, Tobianski kemudian divonis bebas (padahal setelah dilakukan hukuman mati terhadapnya) dan jasadnya di bakar di Mount Herzl. Isser Be’eri, aparat yang memerintahkan mengeksekusi Tobianski dengan tembak di tempat, dinyatakan telah melakukan eksekusi pembunuhan yang tidak sah. Dia dinyatakan bersalah namun dimaafkan oleh Presiden Chaim Weizmann.

Finlandia

            Ketika PD II, 500 tawanan perang dieksekusi, setengah dari mereka diduga merupakan mata-mata. Alasan hukuman mati untuk warga sipil Finlandia adalah mereka telah melakukan pengkhianatan tingkat tinggi kepada negara. Hampir semua kasus hukuman mati di berlakukan oleh Pengadilan militer. Biasanya sang penembak di ambil dari kesatuan polisi militer atau pada kasus mata-mata, dilakukan oleh polisi militer setempat. Seorang warga Finlandia, Toivo Koljonen, dieksekusi mati untuk kejahatan sipil yang ia lakukan (Pembunuhan enam orang). Kebanyakan eksekusi terjadi di tahun 1941 dan disepanjang berlangsungnya Soviet Summer Offensive pada tahun 1944.
            Metode hukuman mati secara luas digunakan ketika dan setelah Perang Sipil Finlandia, sekitar 9.700 warga sipil Finlandia dan lainnya yakni beberapa sukarelawan Rusia yang tertangkap ketika perang berlangsung, dieksekusi mati. Kebanyakan Eksekusi dilakukan dengan metode “firing squad” setelah hukuman diberikan oleh Pengadilan militer secara ilegal atau semi-ilegal. Dan hanya sekitar 250 orang yang dihukum mati oleh penggunaan otoritas legal yang berwenang.

 Seorang penyusup (mata-mata) Soviet, detik-detik menjelang eksekusi 
ketika berlangsungnya Continuation War

No comments:

Post a Comment