strategic bomber
Perlombaan
teknologi dan senjata di era Perang Dingin menelurkan begitu banyak
alat utama sistem senjata dari yang taktis hingga strategis.
Alutsista strategis dimanfaatkan semaksimal mungkin sebagai alat
diplomasi. Pesan intinya hanya satu, “Kami punya ini, jadi jangan
macam-macam!"
Penggunaan
alutsista strategis sebagai diplomatic tools dimungkinkan berkat
spesifikasinya yang sangat tinggi, yaitu hanya dimiliki oleh negara
pembuatnya saja. Meski ada satu-dua alutsista yang dilepas ke sekutu
terdekat, namun sebagian besar secara ekslusif masih tetap dimiliki
negara pembuatnya. Tentu selain itu ada aspek yang lebih penting
yaitu daya rusaknya yang dahsyat serta kemampuan nya yang mumpuni.
Berakhirnya
Perang Dingin bukan berarti berakhir pula karir alutsista strategis.
Sebagian besar pun masih digunakan hingga kini. Bahkan beberapa
sempat mencicipi gelanggang mereka walau perang yang dihadapai sudah
bergeser, bukan lagi seteru semasa era Perang Dingin.
Salah satu
alutsista strategis warisan Perang Dingin yang masih eksis adalah
pesawat pembom atau strategic bomber. Terminologi itu sendiri muncul
ketika PD-II berlangsung, yang didefinisikan sebagai pesawat berdaya
jangkau jauh dan mengusung banyak muatan bom untuk menyerang sasaran
yang bernilai strategis. Target/sasaran strategis adalah aset lawan
yang mempengaruhi kemampuan dan kapasitas pihak lawan dalam
pertempuran jangka panjang. Contohnya seperti pabrik bahan baku,
pabrik pembuatan senjata dan alutsista, depo logistik, konsentrasi
pasukan (skala besar), pangkalan dan markas induk, pusat komando,
hingga kantor atau kediaman tempat para petinggi militer.
Meski PD-II
menunjukkan vitalnya peran yang dimainkan pesawat pembom strategis,
namun alutsista ini makin menemukan rohnya dalam era Perang Dingin.
Kehadiran senjata-senjata nuklir tak lepas dari peran strategic
bomber sebagai salah satu perangkat pembawa munisi maut tersebut.
Kecepatan tinggi, jangkauan jauh, dan daya angkutnya yang besar serta
kemampuan terbang (di ketinggian sangat tinggi maupun sangat rendah
menyusuri permukaan bumi), merupakan parameter penting yang
disyaratkan melekat pada setiap pembom strategis.
Perang
Dingin juga menjadi saksi munculnya pola penyerangan strategis gaya
baru, entah dengan munisi nuklir maupun konvensional. Kalau pada
PD-II bom-bom dijatuhkan dengan mengharuskan pengusungnya masuk ke
wilayah lawan, maka kehadiran peluru kendali mengubah paradigma
penyerangan strategis. Rudal berhulu ledak nuklir pun ramai-ramai
dikembangkan, dengan salah satu pengusungnya yakni pesawat pembom
strategis.
Berbekal
rudal nuklir, bomber cukup mendekati wilayah lawan (tanpa
memasukinya) untuk meluncurkan rudal nuklir bawaannya. Atau pembom
melakukan loitering, yakni patroli di area tertentu sambil menunggu
perintah kapan dan kemana rudal nuklir akan dilesatkan. Tentu saja
areanya dipilih dengan pertimbangan kedekatan dan kemudahan dalam
mencapai target. Penyerangan model loiter-attack inilah yang menjadi
salah satu standar penyerangan Soviet dalam penggelaran pembom
strategisnya.
Pasca Uni
Soviet bubar, Rusia selaku pewarisnya masih mengoperasikan tiga jenis
pesawat pembom yang berbeda sifat dan karakteristik. Yaitu Tu-95
(Julukan NATO: Bear), Tu-22M3 (NATO: Backfire-C), dan Tu-160 (NATO:
Blackjack). Bear jago dalam melakukan loitering meski berkecepatan
tidak setinggi dua sejawatnya. Backfire berkecepatan tinggi meski
tidak memiliki jangkauan terbang sejauh kedua rekannya. Sedangkan
Blackjack selain memiliki jangkauan jauh juga berkecepatan tinggi.
Di lain
pihak, Amerika juga masih tetap mengoperasikan tiga jenis pembom
strategis mereka. Yakni B-52H Stratofortness, B-1B Lancer dan bomber
siluman B-2A Spirit. Tapi perlu diingat bahwa salah satunya (B-1B)
sudah ditarik dari penugasan serangan nuklir, sehingga latihan para
awaknya kini hanya pada penerapan munisi konvensional.
Tu-160 Blackjack -(Rusia)
Tu-22M3 Backfire-C (Rusia)
Tu-95 Bear (Rusia)
Yang
menarik dari bomber-bomber strategis Rusia yang eksis sampai
sekarang, kenyataannya bahwa sejak awal ketiganya didesain untuk
memiliki kemampuan ganda, baik nuklir maupun konvensional. Beda
dengan B-1B milik AS, yang harus menjalani serangkaian modifikasi
untuk membawa bom-bom konvensional lantaran sejak awal hanya
dirancang untuk kebutuhan membawa munisi nuklir. Satu hal ironis
mengingat ujung-ujungnya bomber ini justru sekarang tidak lagi
dipersiapkan untuk misi penyerangan nuklir.
Dengan
segala kelebihan dan kekurangannya, the existing Russian strategic
bombers terus membawakan peran mereka sebagai alat diplomasi. Meski
tertatih-tatih akibat deraan krisis ekonomi yang sempat menimpa
negeri Beruang Merah tersebut, namun perlahan tapi pasti peningkatan
kemampuan pada ketiganya telah dan sedang dilakukan. Diharapkan
efektifitas trio bomber berinisial “B” (B Bomber) strategis itu
terus tergaga untuk beberapa waktu kedepan, hingga alutsista baru
sebagai pengganti pesawat bomber strategis diproduksi, hanya waktu
yang dapat menjawabnya.
Anda juga disarankan membaca artikel tentang: Pesawat Bomber B2-Spirit
Disadur
dari Majalah COMMANDO Volume VIII – Edisi No.2 Tahun 2012
No comments:
Post a Comment