Era
Tahun 1950-1968
Garuda
Indonesian Airways (GIA), yang lahir dari hasil perjuangan selama
revolusi fisik menjadi sebuah maskapai flag carrier yang mendominasi
sejarah penerbangan sipil sekaligus mendominasi bisnis penerbangan
komersil pada awal-awal perkembangan republik ini. Selain itu, peran
Merpati Nusantara juga tak kalah penting dengan GIA. Karena maskapai
yang satu ini menjadi pionir bagi penerbangan perintis, membuka
keterisolasian daerah-daerah terpencil di Nusantara.
Penerbangan
2 unit pesawat C-47 Dakota dari Maguwo ke Kemayoran itu menjadi
sebuah peristiwa yang biasa saja dan terlupakan jika tidak melihat
tanggal dan penumpang yang dibawanya. Pagi itu tanggal 28 Desember
1949- hanya berselang sehari setelah pengakuan kemerdekaan dan
kedaulatan NKRI oleh Belanda lewat perundingan KMB. Presiden
Soekarno, Ibu Fatmawati, beserta seluruh jajaran bertolak dari
ibukota perjuangan Yogyakarta menuju ibukota negara Jakarta.
Rute Penerbangan KNILM
Soekarno
menolak terbang dengan Dakota KLM-IIB (Inter Insulair Bedrijf) jika
belum dicat ulang menjadi pesawat milik Indonesia. Dan kalau
ditelusuri lebih lanjut, KLM-IIB adalah maskapai yang masih ada
hubungannya dengan Belanda- KNILM. Meskipun sudah tamat, namun banyak
dari mantan pegawainya berusaha menghidupkan kembali kejayaan KNILM.
Setelah Jepang menyerah, mereka datang kembali ke Hindia Belanda
namun dengan kondisi yang berbeda karena rakyatnya telah menyatakan
kemerdekaannya lewat proklamasi bersejarah tertanggal 17 Agustus
1945. Mantan pegawai KNILM itu datang sebagai personel Skuadron
Angkut 19 AU Australia dengan membonceng pasukan sekutu yang ingin
melucuti tentara Jepang. Dengan pendudukan kembali kota-kota besar
seperti Batavia, Surabaya, Semarang, dan Balikpapan, mereka mulai
melakukan penerbangan reguler. Perusahaan penerbangan segera dibentuk
yang dinamakan; Netherlandsh Indies Government Air Transport (NIGAT).
Salah
satu prestasi besar NIGAT adalah membuka penerbangan jarak jauh
Batavia – Los Angeles, yang dilakukan bulan November 1946 dengan
pesawat Douglas DC-4. Sayangnya akibat kondisi politik, menyebabkan
NIGAT gagal menjadi “KNILM kedua” dan menyerahkan bisnis
penerbangannya kepada KLM pada tanggal 1 Agustus 1947. Perusahaan itu
diberikan nama baru KLM- Interinsulair Bedriff, yang dipimpin oleh
Th. J. de Bruijn (Mantan Kepala Administrasi KNILM).
Lewat
KMB dan atas desakan PBB, Belanda harus menghentikan konflik dan
mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam butir-butir
perundingan itu, Belanda wajib menyerahkan seluruh kekayaan Hindia
Belanda berupa tambang, perkebunan, pabrik, dan perusahaan
transportasi udara termasuk KLM-IIB.
Royal Netherlands Indian Airways
TANTANGAN
GIA
Modal
yang begitu besar harus dikelola secara profesional. Sayangnya pihak
Indonesia belum memiliki tenaga profesional yang memadai. Hanya ada
pegawai administrasi, pramugari/pramugara, dan teknisi pesawat dengan
jumlah yang sedikit, bahkan tidak memiliki satupun penerbang (pilot).
Untuk sementara, seluruh mantan pegawai KLM-IIB baik darat maupun kru
pesawat diperbantukan untuk GIA yang tergabung dalam Assistentie
Group KLM. Diperkirakan butuh sepuluh tahun sampai GIA benar-benar
mandiri.
Untuk
mendidik penerbang, GIA dibantu Direktorat Kementerian Perhubungan
mengirim pemuda-pemuda Indonesia belajar ke sekolah penerbangan di
luar negeri, yaitu di Hamble, Inggris, dan Ypenburg, Belanda.
Sedangkan untuk pendidikan awak kabin dipercayakan kepada Bagian
Urusan Pendidikan yang berada dibawah Departemen Personalia GIA. API
(Akademi Penerbangan Indonesia) yang mulai didirikan tahun 1953
secara bertahap mulai menghasilkan penerbang, teknisi pesawat, dan
petugas lalu lintas udara sehingga tidak tergantung dari pendidikan
penerbang di luar negeri.
Pada
tahun 1954, GIA yang saat itu dipimpin oleh Dirut Ir. Soetoto mulai
berkembang mantap. Apalagi GIA telah mengangkat penerbang
berkualifikasi Captain berlatar belakang AURI (Angkatan Udara
Republik Indonesia). Dan diikuti setahun kemudian, dari lulusan
Hamble dan Ypenburg- sehingga total ada sebelas Captain yang dimiliki
GIA pada penghujung periode 1954-1957. Armada GIA juga berkembang.
Setelah mempensiunkan dini seluruh armada Catalina, GIA membeli
pesawat pertamanya. 8 unit pesawat Convair 240 (1950) diikuti de
Havilland DH. 104 Heron (1954) sebanyak 14 unit, dan ditambah lagi
dengan pembelian 8 unit Convair 340 (1954).
Selain
bertugas melayani rute-rute domestik. GIA juga melebarkan sayap
mereka dengan membuka rute penerbangan ke Singapura, Manila, dan
Bangkok. GIA juga melakukan layanan khusus penerbangan haji,
mengantar kontingen Olimpiade Melbourne, dan penerbangan Kepresidenan
dengan pesawat Dakota dan Convairliner.
Tapi
GIA mendapat tantangan baru saat perubahan politik di Indonesia
dengan menasionalisasi seluruh perusahaan yang sahamnya dimiliki
orang Belanda- termasuk GIA – sebagai buntut berlarut-larutnya
konflik Irian Barat. Pada tahun 1957 Assistentie Group KLM hengkang
dan membuat GIA- yang telah menjadi Perseroan Negara (PN) GIA,
dipaksa harus mandiri sebelum waktunya. Meskipun demikian seluruh
karyawannya baik darat maupun udara bertekad terus memajukan GIA
menjadi armada penerbangan yang mandiri.
LAHIRNYA
MERPATI
di
sela-sela tugasnya melayani penerbangan, GIA juga melakukan
kewajibannya sebagai alat Pertahanan dan Keamanan sebagai Wing
Garuda. Tugas sebagai Skuadron Angkut Cadangan Wing Garuda dimulai
saat pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta dan diikuti oleh Kampanye
Trikora.
Setelah
era Trikora berakhir, personel Wing Garuda mendapatkan tugas untuk
mengambil alih maskapai Belanda yang beroperasi di Papua, New Guinea
Luchtvaart Maatschapij (NNGLM). Dengan armada yang terdiri dari de
Havilland, Beaver Sea plane, Twin Pioneer, dan DC-3 Dakota, GIA
memiliki maskapai yang melayani rute penerbangan perintis di Papua
dengan nama Garuda Irian Barat pada tahun 1963. Pusat operasi
(Hub)-nya berada di Biak-Mokmer.
Setahun
sebelumnya pada tanggal 6 September, berdirilah maskapai perintis PN.
Yakni Merpati Nusantara dengan pusat operasinya berada di Kemayoran.
Ini merupakan wujud realisasi dari usaha membuka keterisolasian
wilayah Kalimantan yang telah dirintis AURI sejak tahun 1957. Tidak
mengherankan Direktur Utama Merpati berlatar belakang AURI, yakni
Komodor Udara Sutojo Adiputro dengan modal armada pesawat bekas pakai
AURI yaitu 4 unit de Havilland Otter dan 2 unit Dakota.
Akibat
dari embargo negara Barat saat kampanye Dwikora membuat seluruh
armada Otter milik Merpati tidak bisa diterbangkan lagi. 2 unit
Dakota yang tersisa tinggal menunggu waktu saja seperti nasib Otter.
Kekurangan armada dan mis-manajemen membuat Merpati terpuruk pada
awal-awal masa perkembangannya.
Tapi
ini hanya berlangsung sementara, karena GIA memutuskan untuk menutup
dan menyerahkan seluruh aset dan armada Garuda Irian Barat kepada
Merpati pada tahun 1964. Setahun kemudian armada Merpati bertambah
dengan kehadiran 3 unit Dornier Do-28 dan 6 unit Pilatus Porter PC-6.
Pada tahun 1966-1967, karena ditarik kembali ke AURI, Sutojo
menyerahkan kepemimpinan Merpati kepada Captain RB Wibisono. Pada
saat itu pula Merpati membeli tambahan Pilatus Porter dan memperoleh
bantuan dari PBB berupa 3 unit de Havilland DHC-6 Twin Otter. Total
ada 20 unit pesawat untuk melayani rute Merpati yang meliputi Jawa,
Sumatera Selatan, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua.
PERIODE
MONOPOLI
Periode
tahun 1950-1968 dapat disebut sebagai sebuah periode monopoli yang
dilakukan maskapai GIA dan Merpati. Tapi roda zaman kembali berputar,
Orde Lama tumbang digantikan dengan Orde Baru. Senasib dengan PN
lainnya, jika Pemerintah goyah maka goyah pula kondisi keuangannya.
Sama seperti yang terjadi pada GIA dan Merpati Nusantara.
Selain
menghadapi masalah krisis keuangan, kedua maskapai penerbangan ini
juga tidak bisa lagi menikmati periode manis era monopoli. Sekaligus
mereka menghadapi tantangan baru menghadapi maraknya kehadiran
maskapai-maskapai domestik baru lainnya yang baru saja berdiri.
Karena Orde Baru membuka izin untuk mendirikan maskapai-maskapai
kepada pihak swasta lewat kebijakan Multi Airlines System pada tahun
1968.
Disadur
dari Majalah Angkasa Edisi Koleksi- Sejarah Penerbangan Indonesia.
Edisi Koleksi No.81 Tahun 2012
No comments:
Post a Comment