Sejak dulu,
diamini bahwa barangsiapa yang mampu duluan memukul lawan dari jauh,
maka yang bersangkutanlah yang bakal memiliki keuntungan taktis.
Berabad lamanya manusia mengandalkan Artileri, alutsista yang kerap
diberi gelar “King of the Battle”, lantaran efektivitasnya
menghantam sasaran dari jarak jauh.
Meski
ditakuti lawan dan menjadi favorit setiap panglima mandala yang
melakukan serbuan, Artileri memiliki banyak kelemahan. Kendala besar
timbul jika lawan tidak diketahui posisi persisnya, atau posisi lawan
terkonsentrasi di satu area. Menghadapi kendala ini, meningkatkan
konsentrasi dan memperlebar arah sebaran gempuran Artileri menjadi
solusi yang cukup lama diadopsi, bahkan hingga saat ini.
Konsekuensinya tentu saja boros amunisi.
Perkembangan
teknologi yang lantas melahirkan peluru berpemandu yang dikenal
dengan peluru kendali atau rudal (guided missile), selanjutnya
mengubah peta penggunaan Artileri. Dipadukan dengan kemajuan
teknologi pengintaian (reconnaissance) jarak jauh baik lewat wahana
udara (pesawat berawak maupun pesawat non-awak), dan foto satelit,
tingkat kepastian lokasi target pun sangatlah tinggi. Dua poin inilah
yang memegang andil penting dalam melahirkan satu sistem senjata baru
yang dikenal dengan rudal jelajah (cruise missile).
Rudal
jelajah sendiri didefinisikan sebagai rudal berjangkauan jauh,
dilengkapi dengan hulu ledak relatif besar serta trayektori
non-balistik dan non-linear. Maksud dari istilah yang terakhir adalah
bahwa rudal jelajah merupakan sistem senjata yang jalur penerbangan
menuju sasarannya tidaklah seperti rudal-rudal pada umumnya. Rudal
jelajah dipandu menuju targetnya dengan sistem navigasi mandiri yang
sudah diprogram sebelumnya (self navigating). Untuk menghindari
deteksi musuh, trayektorinya biasanya diprogram terlebih dulu guna
menghindari hantaman situs Hanud musuh. Rudal jelajah dapat digunakan
untuk menghantam target di darat maupun di laut.
Perkembangan
teknologi yang memungkinkan wahana udara tak berawak atau UAV
(Unmanned Aerial Vehicle) memiliki fitur self navigating dan membawa
munisi, tidaklah serta merta mengaburkan batasan antara rudal jelajah
dan UAV. Ini karena UAV dari sananya memang didesain untuk sebisa
mungkin kembali ke pangkalannya setelah melakukan misi pengintaian.
Sementara itu munisi atau hulu ledak pada rudal jelajah terintegrasi
dengan sistem rudal secara keseluruhan sehingga rudal jelajah memang
bersifat seperti rudal pada umumnya, yaitu menghancurkan diri sendiri
bersama dengan targetnya.
Rudal jelajah buatan AS - Tomahawk
Salah satu
rudal jelajah fenomenal adalah Tomahawk, rudal jelajah buatan Amerika
Serikat. Rudal ini pertama kali diperkenalkan konsep desain matangnya
oleh General Dynamics pada era dekade 1970-an. Sejak awal Tomahawk
didesain mampu diluncurkan dari permukaan (kapal laut maupun peluncur
pangkal darat), dan dari kapal selam. Jujur saja, desain senjata
dengan fitur peluncuran multimoda ini hingga kini pun tak banyak
negara yang mampu melakukannya. Perancis boleh berbangga karena rudal
Anti-kapal mereka, Exocet, memiliki fitur semacam ini.
Rudal
jelajah yang namanya diambil dari nama kapak bangsa Indian ini kerap
menghiasi berbagai media Internasional lantaran keikutsertaannya
dalam hampir semua konflik dan perang yang melibatkan Amerika. Sudah
begitu, hasilnya pun tidaklah mengecewakan. Memang ada saja rudal
yang gagal, entah gagal meledak atau gagal dalam fase peluncurannya.
Secara keseluruhan, persentasenya terbilang kecil dan dirasa masih
dalam batas wajar untuk kegagalan dalam sistem senjata sekompleks
Tomahawk. Karena itulah rudal ini sangat layak di cap Battle Proven,
dengan penilaian yang sangat baik.
Tomahawk
dirilis dengan 2 varian utama, yaitu hulu ledak nuklir dan
Konvensional. Varian berhulu ledak non-Nuklir oleh AS dikategorikan
sebagai senjata taktis. Namun berkat kemampuannya menghajar target
dari jarak amat jauh (di atas 1.000 kilometer) dengan tingkat akurasi
yang sangat tinggi. Tomahawk kerap dinilai sebagai senjata berdampak
strategis kendati secara TO&E (Table of Organization and
Equipment) dikategorikan sebagai senjata taktis.
Itulah
sebabnya pembelian rudal Tomahawk dalam skala besar tentu dilahap
media sebagai santapan yang menggiurkan. Ya tentu saja, kalau bukan
hendak dipakai untuk serangan terhadap negara lain, lalu untuk apa
lagi?? meski Tomahawk memang secara rutin dibeli lantaran secara
gradual jumlah rudal dalam inventori Angkatan Laut AS berkurang
(akibat sering dipakai untuk latihan penembakan rutin), namun
pembelian penggantian tersebut tidaklah besar. Jika jumlah order
besar, tentu itu ada apa-apanya, mengingat Tomahawk merupakan senjata
andalan pembuka serangan di berbagai palagan perang dimana negeri
Paman Sam menjadi aktor utamanya.
Tomahawk
adalah rudal jelajah jarak jauh berkecepatan subsonik dan
berkemampuan beroperasi di segala medan dan cuaca, yang diluncurkan
dari kapal perang, baik di permukaan maupun di bawah permukaan (kapal
selam). Rudal ini diproduksi oleh Raytheon selaku Kontraktor
utamanya. Ini merupakan rudal fenomenal yang dimiliki AL AS.
Di antara
arsenal militer Amerika, Tomahawk merupakan salah satu cerita sukses.
Tengok saja konfik-konflik skala besar yang melibatkan negeri Paman
Sam, serangan awalnya dibuka dengan hujan rudal jelajah. Intervensi
AS dan NATO di Libya tahun 2011 lalu juga menorehkan satu lagi
catatan prestasi gemilang Tomahawk sebagai senjata pembuka serangan.
Kala itu Tomahawk didapuk untuk melumpuhkan target-target vital yang
dipandang dapat memberikan ancaman pada gelombang serangan jet-jet
tempur NATO di wilayah udara Libya. Pusat komando dan situs-situs
Hanud jadi sasaran pertama, sebelum serangan dengan munisi presisi
dari pesawat tempur yang berdatangan.
Dipilihnya
rudal Tomahawk sebagai senjata pembuka serangan tak lepas dari dua
kemampuannya yang saling terkait sekaligus membuatnya terbilang
istimewa. Pertama adalah kemampuannya dilepas (diluncurkan) dari
jarak yang amat jauh. Keuda, Tomahawk mampu menghantam target
bernilai strategis dengan menihilkan resiko kehilangan Sumber Daya
Manusia (resiko kehilangan prajurit). Target penting musuh sudah
pasti dijaga dengan sangat ketat dengan aset-aset Hanud yang
berlapis, sehingga jika disasar dengan Alutsista berawak (pesawat jet
dan semacamnya), tentu saja resiko tertembak jatuhnya cukup tinggi.
missile Tomahawk yang diluncurkan dari kapal selam
Pasca
penembakan, booster (roket bantu dorong) terus mendorong Tomahawk
hingga mencapai kecepatan optimum (mendekati kecepatan jelajah,
sehingga tidak membebani mesin jet mini nya dengan beban akselerasi).
Selanjutnya Booster terlepas dan Tomahawk pun didorong sepenuhnya
oleh mesinnya sendiri. Pada fase ini tersedia opsi bagi perencana
misi Tomahawk, apakah rudal akan di atur untuk terbang di ketinggian
jelajah (di atas 1.000 kaki, tergantung lokasi), ataukah langsung
menukik kembali untuk terbang di ketinggian rendah (di bawah 500
kaki, tergantung faktor geografis juga). Pilihan terakhir diambil
jika aset senjata pertahanan Hanud musuh dipandang cukup mumpuni
untuk mendeteksi dan bahkan merontokkan Tomahawk sebelum rudal
tersebut sempat mendekati sasarannya. Resikonya jelas, terbang rendah
menguras bahan bakar sehingga jarak jangkaunya pun menurun ketimbang
spesifikasi optimumnya. Opsi manapun yang dipilih, pada jarak
seperempat dari jarak tempuh targetnya, Tomahawk diset untuk terbang
di ketinggian rendah hingga sampai pada sasaran yang dituju.
Sumber:
Majalah Commando Volume VIII / Edisi No.5 / Tahun 2012
No comments:
Post a Comment